Perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-80 tahun menjadi momentum refleksi tentang capaian pembangunan, terutama di desa. Data terbaru SDGs Desa dari Kementerian Desa (sid.kemendesa.go.id) membuka gambaran kompleks, menunjukkan capaian sekaligus ketertinggalan yang masih harus diatasi dalam perjalanan menuju 2045.
Dengan total penduduk lebih dari 201 juta jiwa, data menunjukkan baru separuh yang terdata secara detail. Dari 63 juta keluarga, sekitar 49,84 persen sudah terpetakan melalui kuesioner SDGs Desa. Artinya, masih ada ruang besar dalam memperkuat basis data pembangunan nasional.
Skor SDGs Desa nasional berada pada angka 46,81, relatif moderat. Beberapa indikator menonjol, seperti energi bersih dengan skor 98,43 dan desa damai berkeadilan sebesar 75,60. Namun, indikator lingkungan masih memprihatinkan, khususnya konsumsi sadar lingkungan dengan skor hanya 8,95.
Ketimpangan antarindikator menunjukkan bahwa pembangunan desa belum berjalan merata. Ada dimensi yang sangat maju, tetapi ada pula yang jauh tertinggal. Situasi ini memberi sinyal bahwa perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 membutuhkan strategi konvergensi pembangunan lintas sektor.
Potret Kesejahteraan dan Bantuan Sosial
Kesejahteraan warga desa masih ditopang bantuan sosial dalam skala besar. Dari 31,5 juta keluarga yang terdata, lebih dari 13 juta menerima bantuan dalam berbagai bentuk, mulai dari BLT Dana Desa, PKH, hingga bantuan pendidikan untuk anak-anak sekolah.
Data penerima bantuan menunjukkan wajah ambivalen. Di satu sisi, program ini menjadi penyangga kehidupan jutaan keluarga desa. Namun, di sisi lain, ketergantungan yang besar juga mencerminkan rapuhnya fondasi ekonomi rumah tangga desa yang belum sepenuhnya mandiri.
Kondisi rumah tangga desa pun menggambarkan variasi sosial-ekonomi. Sekitar 16 juta keluarga sudah menggunakan lantai keramik, namun lebih dari 8 juta masih memakai lantai semen atau bata merah. Bahkan ada 2,1 juta keluarga yang hidup di rumah dengan lantai kayu kualitas rendah.