TRANSPORTASI umum merupakan moda angkutan bertarif untuk bepindah dari satu daerah ke daerah berbeda. Barangkali tempat yang dianggap jauh, berhubung jaraknya terlalu panjang bila ditempuh dengan berjalan kaki.
Naik kendaraan bagi orang banyak itu mendatangkan pengalaman menarik, kadang kurang menyenangkan. Terdapat suka duka saat menumpang angkutan umum.Â
Sebagian pengalaman saya menaiki angkutan umum telah dibagikan di Kompasiana. Mungkin ada cerita tercecer tentang perilaku penumpang di transportasi umum.Â
Saya akan menyusun kepingan-kepingan ingatan tersebut dalam mosaik kisah. Semoga pembaca berkenan membacanya.
Dulu saya melakukan mobilitas geografis dengan sepeda motor atau mobil. Cepat, bebas bergerak, dan bersifat privat. Sesekali saja menaiki transportasi umum seperti angkot, kereta, bus antar kota, hingga pesawat udara.
Namun, sejak sebagian fungsi motorik tubuh tak maksimal, saya tidak berani menggunakan kendaraan bermotor. Takut tak mampu memutar tuas gas motor, atau tidak cukup keras menginjak pedal rem mobil.
Lebih baik menggunakan angkutan umum. Paling pol, ditemani seseorang jika melakukan perjalanan ke lain kota dan tetap menggunakan transportasi umum.
Menggunakan kendaraan umum berarti mesti berbagi ruang dengan yang lainnya. Nah, dalam keadaan itu saya beberapa kali menemukan sementara penumpang tidak menerapkan Etika di Transportasi Umum.
Satu ketika, dari Nanggewer Kabupaten Bogor menaiki Miniarta. Bus tanggung dari Kampung Rambutan Jakarta ke Baranangsiang Bogor, dikaroseri dari sasis truk tiga perempat. Kondisinya tidak baik-baik saja, usang dan sepertinya minim perawatan.
Jalannya terseok-seok. Sering berhenti demi menaikkan penumpang yang bahkan hanya untuk tujuan pendek. Dibanding angkot Cibinong-Pasar Anyar Bogor, ongkosnya murah. Saya lupa berapa.