Rojali. Bukan tokoh sinetron, tapi ini adalah nickname dari fenomena yang ditemukan di perkotaan saat ini, yaitu Rombongan Jarang Beli. Ya, mereka yang ke mall rame-rame, masuk tenant satu, keluar dengan tangan kosong.Â
Rojali, duduk di foodcourt bawa minum sendiri. Foto-foto depan H&M tapi beli sendal jepit di minimarket. Duduk ngadep kolam ikan depan mall sambil main HP.
Fenomena ini viral dan jadi perbincangan di media sosial, bahkan Kompasiana sampai bikin topik bahasan khusus. Tapi, alih-alih ikut-ikutan menghakimi Rojali, saya justru ingin bilang, "Hei, mereka nggak salah apa-apa, say. Justru mereka itu representasi realita urban Indonesia hari ini."
Mall Lebih Banyak dari Ruang Hijau? Ya Kita Ke Mall Lah!
Pertanyaannya bukan "Kenapa sih banyak Rojali di mall?" Tapi lebih ke, "Kenapa sih di kota besar kita lebih banyak mall ketimbang ruang terbuka hijau (RTH)?"
Coba kamu cari taman kota di Jakarta yang adem, gratis, ramah keluarga, gampang dijangkau tanpa kendaraan pribadi. Lumayan susah, kan? Sementara mall? Keluar stasiun mana pun di Jabodetabek, hampir pasti ada mall menanti di tikungan.
Jakarta saja punya lebih dari 200 mall. Tapi RTH? Masih di bawah target ideal 30% dari total wilayah. Itu baru Jakarta. Bekasi, Tangerang, Depok, Surabaya, Medan? Mirip-mirip.
Lalu ketika masyarakat ke mall sekadar ngadem, cuci mata, numpang Wi-Fi, dan duduk cantik di sofa food court, tiba-tiba mereka dilabeli "Rojali" seolah salah karena tidak belanja banyak di sana.
Padahal... ya gimana, di mana lagi mereka bisa cari hiburan gratis yang sejuk dan aman selain mall?
Mall Itu Ruang Publik yang Diprivatisasi
Yang sering lupa kita sadari, mall "in this economy" bukan cuma pusat belanja. Mall adalah taman kota pengganti yang "diprivatisasi". Di sinilah kita bawa anak-anak kita main karena taman main di RW kompleks penuh semut dan hancur.
Di sinilah kita ketemuan sama teman lama karena jalan protokol terlalu panas buat ngobrol. Di sinilah kita ngabuburit nunggu buka puasa karena masjid udah penuh. Di sinilah kita cari Wi-Fi gratis karena kuota abis. Dan, di sinilah kita nonton gratisan influencer nge-vlog di atrium.
Rojali bukan pemalas, bukan pengangguran. Mereka adalah rakyat kota yang mencoba survive dengan cara paling manusiawi, yaitu berinteraksi dan merasa hidup.
Rojali, Simbol Kota yang Gagal Berfungsi.
Di banyak kota dunia yang sehat, ruang publik itu gratis, nyaman, dan dinikmati tanpa keharusan transaksi. Lihat Singapura dengan East Coast Park-nya. Lihat Seoul dengan Cheonggyecheon Stream. Lihat Kuala Lumpur dengan taman kota besar macam KLCC Park.
Sekarang lihat Jakarta...
Bagaimana taman kotanya? Sebagian dijadikan gedung.
Bagaimana hutan kotanya? Yang masih eksis bisa dihitung jari.
Trotoar nyaman nggak? Lebih sering jadi parkiran motor.
Lapangan bermain? Sudah diganti jadi ruko cluster full furnished
Dalam kondisi seperti ini, wajar saja dong kalau mall akhirnya jadi "taman instan." AC dingin, ada toilet bersih, bisa bawa anak. Tapi karena ini ruang privat, ya jangan harap bisa duduk tanpa digeser satpam kalau kelamaan atau nggak belanja.
Pemerintah Terus-terusan Izinin Mall, Lupa Nambah RTH.
Pernah nggak sih kamu berpikir, kenapa mall baru terus muncul, tapi taman kota atau hutan kota terasa kayak unicorn, banyak disebut, tapi jarang kelihatan? Yuk kita bongkar satu-satu lewat fakta yang ada.
1. Jumlah Mall Terus Naik, RTH Stagnan atau Turun.
Di Jabodetabek, khususnya Jakarta, terdapat lebih dari 96 pusat perbelanjaan, menurut data Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) per 2023. Jumlah tersebut terdiri dari 76 mall dan 20 pusat perdagangan (trade center).
Luas DKI Jakarta sendiri 661.5 km. Artinya, secara rata-rata, setiap 6,8 km ada satu pusat perbelanjaan. Atau lebih gampangnya, setiap 15 menit kamu naik motor di ibu kota, kamu pasti ketemu satu mall.
Bandingkan dengan RTH Jakarta sekitar 34,451 juta meter persegi atau baru mencapai 5,356% dari total luas wilayah per 2023 (DKI Jakarta dalam Angka). Padahal idealnya menurut UU No. 26 Tahun 2007 harus 30%. Artinya, yang naik itu jumlah eskalator dan AC mall, bukan pohon rindang atau taman buat piknik sama anak.
2. Izin Bangun Mall Bisa Keluar Dalam Hitungan Minggu, Taman? Tunggu RPJMD
Banyak proyek mall besar dapat izin dalam hitungan bulan, karena dianggap prioritas ekonomi lokal. Sementara taman kota atau hutan kota?
"Masih dikaji, Bu. Masuk RPJMD 2025-2030."
Artinya, kamu mungkin sudah pensiun duluan sebelum taman impianmu dibangun.
3. PAD dari Mall Jadi Dewa, RTH Cuma Jadi Catatan Pinggiran.
Pemerintah daerah makin rajin kasih izin mall karena kontribusi ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi, yaitu pajak hiburan, parkir, reklame, dan IMB.
Sementara taman kota? Nggak bisa disewain. Nggak bisa dikenai pajak. Nggak bisa dijadikan spot endorse. Jadinya, taman kalah pamor. Mall menang karena bisa kasih "cuan langsung."
4. Pengembang Wajib Bangun RTH? Banyak yang Abai
Aturan tentang kewajiban pengembang properti menyediakan 10--30% lahan untuk RTH seringkali diakali atau diabaikan. Realitanya di lapangan, mereka cuma bangun taman mini 5x5 meter dan diberi papan nama "Ruang Terbuka Hijau." Luasan segitu mah cuma cukup buat satu tiang bendera dan dua bangku kayu.
5. Trotoar yang Harusnya Untuk Pejalan Kaki, Jadi Parkiran & Booth Jualan.
Di Surabaya, Bandung, Medan, hingga Jakarta, trotoar kadang diubah jadi tempat parkir atau booth jualan sementara. Jalur pedestrian yang seharusnya aman buat lansia, anak kecil, atau difabel... malah bikin orang lebih memilih jalan di aspal.
Ini bukti bahwa desain kota masih fokus ke kendaraan dan transaksi, bukan manusia dan relaksasi.
6. Pusat Perbelanjaan Punya Fasilitas Lebih Baik dari Perpustakaan Daerah
Di banyak kota, mall punya eskalator, AC, ruang laktasi, charging station, Wi-Fi cepat, spot duduk nyaman. Tapi coba masuk perpustakaan umum di kotamu.
Kursinya mungkin keras, Wi-Fi lemot, nggak ada stop kontak, kadang bahkan AC-nya mati. Gimana warga mau betah membaca atau belajar?
7. Rakyat Udah Move On ke Mall, tapi Pemerintah Belum Move In ke Solusi.
Masyarakat sudah menyesuaikan diri. Mereka numpang duduk di mall, ngaso di food court, jalan kaki di dalam Transmart. Tapi pemerintah masih sibuk kasih izin bangun mall yang katanya 'bawa lapangan kerja' tapi lupa menciptakan ruang aman dan sehat untuk warganya berinteraksi gratis tanpa tekanan belanja.
Lucunya Kita Tetap Mau Ke Mall.
Dan ya, walau kita sadar itu mall ruang konsumsi, kita tetap datang. Kenapa?
Karena di rumah sumpek. Kamar petak, anak dua, AC rusak, kipas rebutan. Belum lagi di luar panasnya kayak neraka bocor. Saya saja jalan kaki di Bekasi 500 meter rasanya kayak ikut Spartan Race.
Makanya kita tetap mau ke mall karena kita manusia, butuh melihat dunia luar. Bukan buat pamer, bukan biar FYP, tapi biar waras. Kadang, ke mall itu semacam bentuk perlawanan pasif kita, ya nggak sih?
"Aku pengen bahagia, tapi dompetku belum bahagia. Jadi aku numpang senang dulu ya, Bang."
Rojali di mall itu kreatif. Buat mereka, mall bukan cuma tempat belanja, tapi juga tempat jalan 10.000 langkah tanpa keringatan, tempat foto OOTD biar feed Instagram tetap aktif, tempat ngadem sambil bahas utang kuliah.
Mall tempat kencan hemat (beli satu es krim berdua), tempat mabar sambil colokan HP di pojok food court.Â
Kalau mall menyediakan fasilitas yang membuat masyarakat datang, tapi tidak membeli, mungkin bukan salah masyarakat. Bisa jadi, itu tanda bahwa fungsinya sebagai ruang sosial lebih kuat dari fungsinya sebagai tempat jualan.
Nah, rojali itu sudah adaptasi sebaik mungkin. Kita maklumi taman kota minim, kita cari alternatif healing yang masih bisa dijangkau.
Tapi pemerintah bagaimana? Mereka masih terus kasih izin mall baru. Masih sibuk bangun jalan tol buat akses mall. Masih anggap taman kota itu bonus, bukan kebutuhan dasar warga. Mau sampai kapan? Sampai Rojali jadi gerakan nasional?
Ada baiknya kita ubah makna Rojali. Bukan Rombongan Jarang Beli, tapi: Rakyat Ogah Jajan Tapi Ingin Leluasa Interaksi.
Karena kita juga ingin hidup. Ingin nongkrong tanpa diminta struk belanja. Ingin duduk tanpa digusur. Ingin ketawa bareng anak dan pasangan tanpa harus beli waffle seharga nasi padang.
Solusinya Jangan Larang Rojali, Tapi Bikin Alternatifnya!
Masyarakat kita tidak salah karena suka ke mall, bahkan kalau mereka nggak belanja sekalipun. Yang keliru justru adalah ketika kota tidak menyediakan ruang alternatif yang sehat dan gratis untuk kegiatan publik.
Melarang atau menyalahkan Rojali hanya karena mereka "nongkrong doang di mall" itu kayak nyalahin burung karena nggak bisa berenang. Toh, mereka cuma menyesuaikan diri dengan habitat yang tersedia, ya kan? Maka kalau pemerintah ingin "mengurangi Rojali," solusinya bukan memperbanyak etalase diskon, tapi memperbanyak ruang hidup yang tidak berbasis konsumsi.
1. Bangun Taman Interaktif di Tiap Kecamatan
Bayangkan kalau setiap kecamatan di Indonesia punya taman kota yang rindang dan luas. Ada jogging track, taman bermain anak, kursi baca, bahkan zona tenang untuk meditasi
Singapore punya lebih dari 350 taman dan "Neighbourhood Green Spaces" yang bisa dijangkau warga dalam radius 10 menit jalan kaki. Mereka menargetkan setiap warga bisa ke taman tanpa harus naik kendaraan.
Kita bisa tiru ini. Di Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Surabaya, banyak lahan kecil milik pemda yang terbengkalai. Alih-alih dibiarin jadi tempat numpuk bangunan liar atau iklan caleg, kenapa tidak diubah jadi taman mini interaktif?
2. Buat Zona Wi-Fi Gratis di Ruang Publik Terbuka
Fakta hari ini, Wi-Fi gratis lebih menarik daripada es krim diskon. Di mall, Wi-Fi gratis disediakan karena orang diharapkan lama-lama belanja. Tapi kenapa di taman kota, di alun-alun, di halte besar, fasilitas Wi-Fi sering tak tersedia atau kualitasnya payah?
Contoh bagus datang dari Tallinn, Estonia. Kota ini menyediakan akses Wi-Fi gratis di hampir seluruh ruang publik terbuka, termasuk taman dan pinggir sungai. Anak muda, orang tua, pelajar, semuanya bisa tetap produktif tanpa harus masuk cafe.
3. Ciptakan Event Publik Gratis di Alun-Alun Setiap Minggu
Di banyak kota, alun-alun hanya ramai saat malam minggu atau malam tahun baru. Sisanya? Sepi dan penuh debu. Padahal, ini bisa jadi pusat aktivitas komunitas.
Bayangkan kalau setiap minggu ada pentas seni lokal, pasar barang bekas, workshop menanam, diskusi buku outdoor, yoga massal bareng komunitas, dan banyak lagi.
Model ini sukses besar di Seoul (South Korea) lewat program "Seoul Culture Nights" yang menyulap alun-alun kota jadi panggung budaya interaktif tiap akhir pekan. GRATIS!
4. Berdayakan Lahan Kosong Jadi Taman Komunitas
Alih-alih nunggu izin panjang dan anggaran besar, pemda bisa kerja bareng komunitas lokal untuk mengubah lahan tidur jadi taman bersama. Tanami sayuran, sediakan kompos, bangun saung, dan adakan kelas lingkungan.
Model ini berhasil di New York City, lewat "GreenThumb Program." Pemerintah menyediakan dukungan legal dan teknis untuk komunitas yang ingin merawat lahan kosong jadi taman produktif.Â
Di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta pun sebenarnya sudah mulai muncul gerakan serupa tapi perlu lebih banyak dorongan dari pemerintah.
5. Wajibkan Pengembang Mall Ikut Bangun RTH
Ini hal paling konkret dan paling masuk akal. Kalau pengembang bisa bangun mall megah, kenapa tidak diwajibkan juga membangun taman kota?
Skema yang bisa diterapkan, misalnya setiap izin mall baru, pengembang wajib bangun RTH minimal 10% dari luas area. Taman tersebut harus akses publik, bukan hanya hiasan depan lobi. Pemerintah bisa jadikan syarat ini sebagai kompensasi lingkungan dan CSR
Di Tokyo, banyak gedung tinggi diwajibkan menyediakan green rooftop atau taman vertikal yang bisa diakses publik. Di Barcelona, ruang hijau kota ditingkatkan lewat aturan Green Infrastructure Plan yang mengikat pembangunan swasta.
Kenapa lima solusi yang saya tulis di atas itu layak? Karena faktanya healing gratis itu lebih menggoda daripada diskon belanja.
Orang datang ke ruang hijau bukan untuk konsumsi, tapi untuk koneksi dengan diri sendiri, keluarga, atau alam. Itu kebutuhan manusia paling dasar.
Saat kota menyediakan taman rimbun buat anak bermain, zona Wi-Fi buat pelajar nongkrong dan belajar, lapangan luas buat komunitas senam pagi, event gratis buat hiburan rakyat, dengan sendirinya masyarakat tak perlu cari angin di mall.Â
Mereka akan ke ruang-ruang itu. Mereka akan membentuk komunitas. Mereka akan merasa memiliki kotanya sendiri.
Dan hei, bisa jadi nih ya... mall pun sekarang jadi lebih sepi itu bukan krisis. Itu justru tanda kota sedang pulih. Karena warga akhirnya punya opsi lain untuk bahagia.
Biarin Aja Rojali, Tapi Tambahin Ruang Hidupnya.
Fenomena Rojali bukan masalah. Rojali adalah indikator kota yang haus ruang sosial, yang minim tempat nongkrong gratis, yang kelebihan etalase tapi kekurangan interaksi.
Selama negara belum bisa menyediakan ruang publik yang cukup, ya jangan heran kalau rakyat mencari pengganti. Dan selama mall jadi satu-satunya ruang yang "terbuka" ya jangan salahkan kami, para Rojali ini, lebih sering datang tapi nggak belanja.
Karena sejujurnya, kami bukan pelit. Kami hanya warga biasa yang butuh tempat untuk sekadar... bernafas dengan tenang.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI