Alih-alih nunggu izin panjang dan anggaran besar, pemda bisa kerja bareng komunitas lokal untuk mengubah lahan tidur jadi taman bersama. Tanami sayuran, sediakan kompos, bangun saung, dan adakan kelas lingkungan.
Model ini berhasil di New York City, lewat "GreenThumb Program." Pemerintah menyediakan dukungan legal dan teknis untuk komunitas yang ingin merawat lahan kosong jadi taman produktif.Â
Di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta pun sebenarnya sudah mulai muncul gerakan serupa tapi perlu lebih banyak dorongan dari pemerintah.
5. Wajibkan Pengembang Mall Ikut Bangun RTH
Ini hal paling konkret dan paling masuk akal. Kalau pengembang bisa bangun mall megah, kenapa tidak diwajibkan juga membangun taman kota?
Skema yang bisa diterapkan, misalnya setiap izin mall baru, pengembang wajib bangun RTH minimal 10% dari luas area. Taman tersebut harus akses publik, bukan hanya hiasan depan lobi. Pemerintah bisa jadikan syarat ini sebagai kompensasi lingkungan dan CSR
Di Tokyo, banyak gedung tinggi diwajibkan menyediakan green rooftop atau taman vertikal yang bisa diakses publik. Di Barcelona, ruang hijau kota ditingkatkan lewat aturan Green Infrastructure Plan yang mengikat pembangunan swasta.
Kenapa lima solusi yang saya tulis di atas itu layak? Karena faktanya healing gratis itu lebih menggoda daripada diskon belanja.
Orang datang ke ruang hijau bukan untuk konsumsi, tapi untuk koneksi dengan diri sendiri, keluarga, atau alam. Itu kebutuhan manusia paling dasar.
Saat kota menyediakan taman rimbun buat anak bermain, zona Wi-Fi buat pelajar nongkrong dan belajar, lapangan luas buat komunitas senam pagi, event gratis buat hiburan rakyat, dengan sendirinya masyarakat tak perlu cari angin di mall.Â
Mereka akan ke ruang-ruang itu. Mereka akan membentuk komunitas. Mereka akan merasa memiliki kotanya sendiri.
Dan hei, bisa jadi nih ya... mall pun sekarang jadi lebih sepi itu bukan krisis. Itu justru tanda kota sedang pulih. Karena warga akhirnya punya opsi lain untuk bahagia.