Rojali bukan pemalas, bukan pengangguran. Mereka adalah rakyat kota yang mencoba survive dengan cara paling manusiawi, yaitu berinteraksi dan merasa hidup.
Rojali, Simbol Kota yang Gagal Berfungsi.
Di banyak kota dunia yang sehat, ruang publik itu gratis, nyaman, dan dinikmati tanpa keharusan transaksi. Lihat Singapura dengan East Coast Park-nya. Lihat Seoul dengan Cheonggyecheon Stream. Lihat Kuala Lumpur dengan taman kota besar macam KLCC Park.
Sekarang lihat Jakarta...
Bagaimana taman kotanya? Sebagian dijadikan gedung.
Bagaimana hutan kotanya? Yang masih eksis bisa dihitung jari.
Trotoar nyaman nggak? Lebih sering jadi parkiran motor.
Lapangan bermain? Sudah diganti jadi ruko cluster full furnished
Dalam kondisi seperti ini, wajar saja dong kalau mall akhirnya jadi "taman instan." AC dingin, ada toilet bersih, bisa bawa anak. Tapi karena ini ruang privat, ya jangan harap bisa duduk tanpa digeser satpam kalau kelamaan atau nggak belanja.
Pemerintah Terus-terusan Izinin Mall, Lupa Nambah RTH.
Pernah nggak sih kamu berpikir, kenapa mall baru terus muncul, tapi taman kota atau hutan kota terasa kayak unicorn, banyak disebut, tapi jarang kelihatan? Yuk kita bongkar satu-satu lewat fakta yang ada.
1. Jumlah Mall Terus Naik, RTH Stagnan atau Turun.
Di Jabodetabek, khususnya Jakarta, terdapat lebih dari 96 pusat perbelanjaan, menurut data Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) per 2023. Jumlah tersebut terdiri dari 76 mall dan 20 pusat perdagangan (trade center).
Luas DKI Jakarta sendiri 661.5 km. Artinya, secara rata-rata, setiap 6,8 km ada satu pusat perbelanjaan. Atau lebih gampangnya, setiap 15 menit kamu naik motor di ibu kota, kamu pasti ketemu satu mall.