Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rojali Itu Cara Masyarakat Beradaptasi karena Kota Gagal Kasih Ruang Hidup!

29 Juli 2025   15:21 Diperbarui: 5 Agustus 2025   18:05 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) di perkotaan (Foto: Freepik)

Karena kita juga ingin hidup. Ingin nongkrong tanpa diminta struk belanja. Ingin duduk tanpa digusur. Ingin ketawa bareng anak dan pasangan tanpa harus beli waffle seharga nasi padang.

Solusinya Jangan Larang Rojali, Tapi Bikin Alternatifnya!

Masyarakat kita tidak salah karena suka ke mall, bahkan kalau mereka nggak belanja sekalipun. Yang keliru justru adalah ketika kota tidak menyediakan ruang alternatif yang sehat dan gratis untuk kegiatan publik.

Melarang atau menyalahkan Rojali hanya karena mereka "nongkrong doang di mall" itu kayak nyalahin burung karena nggak bisa berenang. Toh, mereka cuma menyesuaikan diri dengan habitat yang tersedia, ya kan? Maka kalau pemerintah ingin "mengurangi Rojali," solusinya bukan memperbanyak etalase diskon, tapi memperbanyak ruang hidup yang tidak berbasis konsumsi.

1. Bangun Taman Interaktif di Tiap Kecamatan

Bayangkan kalau setiap kecamatan di Indonesia punya taman kota yang rindang dan luas. Ada jogging track, taman bermain anak, kursi baca, bahkan zona tenang untuk meditasi

Singapore punya lebih dari 350 taman dan "Neighbourhood Green Spaces" yang bisa dijangkau warga dalam radius 10 menit jalan kaki. Mereka menargetkan setiap warga bisa ke taman tanpa harus naik kendaraan.

Kita bisa tiru ini. Di Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Surabaya, banyak lahan kecil milik pemda yang terbengkalai. Alih-alih dibiarin jadi tempat numpuk bangunan liar atau iklan caleg, kenapa tidak diubah jadi taman mini interaktif?

2. Buat Zona Wi-Fi Gratis di Ruang Publik Terbuka

Fakta hari ini, Wi-Fi gratis lebih menarik daripada es krim diskon. Di mall, Wi-Fi gratis disediakan karena orang diharapkan lama-lama belanja. Tapi kenapa di taman kota, di alun-alun, di halte besar, fasilitas Wi-Fi sering tak tersedia atau kualitasnya payah?

Contoh bagus datang dari Tallinn, Estonia. Kota ini menyediakan akses Wi-Fi gratis di hampir seluruh ruang publik terbuka, termasuk taman dan pinggir sungai. Anak muda, orang tua, pelajar, semuanya bisa tetap produktif tanpa harus masuk cafe.

3. Ciptakan Event Publik Gratis di Alun-Alun Setiap Minggu

Di banyak kota, alun-alun hanya ramai saat malam minggu atau malam tahun baru. Sisanya? Sepi dan penuh debu. Padahal, ini bisa jadi pusat aktivitas komunitas.

Bayangkan kalau setiap minggu ada pentas seni lokal, pasar barang bekas, workshop menanam, diskusi buku outdoor, yoga massal bareng komunitas, dan banyak lagi.

Model ini sukses besar di Seoul (South Korea) lewat program "Seoul Culture Nights" yang menyulap alun-alun kota jadi panggung budaya interaktif tiap akhir pekan. GRATIS!

4. Berdayakan Lahan Kosong Jadi Taman Komunitas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun