Kenapa Bisnis Keluarga Butuh Aturan Jelas?
Ada satu pepatah populer yang mostly terbukti benar di banyak bisnis keluarga. Katanya, "Kalau udah urusan duit, saudara bisa jadi orang lain."
Di banyak keluarga Indonesia, membangun bisnis bareng saudara adalah impian yang terasa masuk akal dan penuh harapan. Siapa yang lebih bisa dipercaya selain saudara sedarah? Siapa lagi yang akan setia dalam suka dan duka kalau bukan orang yang tumbuh besar bersama kita?
Itulah yang terjadi pada, saya ambil contoh kasus (bukan nama sebenarnya), keluarga Wijaya di Bekasi. Tiga bersaudara, Rini (anak pertama), Dodi (anak kedua), dan Lisa (anak bungsu), memutuskan untuk membuka usaha kopi kekinian, "Kopi Nusa." Modal patungan dari uang pensiun ayah mereka, uang tabungan Rini, dan sedikit pinjaman dari bank.
Mereka pun berbagi peran. Rini mengurus keuangan dan legalitas, Dodi bagian produksi dan logistik, Lisa yang paling gaul bertugas marketing dan media sosial. Lokasi mereka strategis di pinggir kampus swasta di Bekasi. Di tahun pertama, omset naik dua kali lipat dari target.
Keluarga rukun. Foto keluarga dengan latar belakang caf jadi unggahan kebanggaan di media sosial. Sampai pada akhirnya... omset mulai turun, pelanggan setia mulai hilang, dan aroma kopi digantikan aroma konflik.
Ketika Darah Tidak Lagi Menjamin Kepercayaan
Masalah pertama muncul ketika Dodi mulai memakai uang kas untuk urusan pribadi. Awalnya kecil, cuma buat beli bensin, beli rokok, makan siang.Â
Alasannya: "Toh ini usaha kita juga, uangnya nanti balik lagi." Tapi lama-lama, tanpa sistem pembukuan yang jelas, uang yang keluar makin tak terkontrol.Â
Lisa mulai curiga karena suplai bahan mentah makin lama datangnya, tapi Dodi bersikeras semuanya aman. Rini yang memegang pembukuan coba menegur, tapi Dodi marah. "Lo curiga sama saudara sendiri? Parah!"
Konflik mulai memanas. Lisa yang tadinya paling netral akhirnya ikut emosi karena banyak program marketingnya gagal akibat dana operasional yang telat. Mereka bertiga mulai saling menyalahkan.Â