Mohon tunggu...
Luisa Devika
Luisa Devika Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - -

-

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Analisis Novel Atheis dengan Pendekatan Objektif

28 Februari 2022   21:15 Diperbarui: 28 Februari 2022   21:17 11376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

ANALISIS NOVEL ATHEIS DENGAN TEKNIK PENDEKATAN OBJEKTIF

  1. Sinopsis

    Novel "Atheis" yang ditulis oleh Achdiat Karta Mihardja dan dipublikasikan pada tahun 1949 menceritakan tentang seorang pemuda bernama Hasan yang merupakan pensiunan mantri guru. Ia tinggal di kampung Panyeredan, Garut. Keluarganya adalah keluarga yang saleh dan taat menjalankan ajaran agama Islam penganut tarekat. Sejak kecil Hasan sudah mendapat didikan agama secara mendalam. Ia tumbuh menjadi anak yang patuh kepada orang tua dan taat menjalankan ajaran agama. Hingga pada suatu hari ia bertemu dengan teman lamanya yaitu Rusli. Dari situ, mulai terlihat adanya perubahan diri Hasan akan kepercayaannya terhadap agama.  (Mihardja, 1949)

 

Hasan dibesarkan ditengah keluarga yang menganut tarekat. Setelah dewasa, ia mengikuti tarekat seperti yang dilaksanakan oleh kedua orangtuanya. Meski sesungguhnya keterlibatannya dalam tarekat itu adalah hasil kekecewaannya karena harus kehilangan kekasihnya, yaitu Rukmini. Salah satu cara yang Hasan lakukan untuk bisa menghilangkan pikiran tentang Rukmini adalah dengan mengikuti aliran tarekat dan ia pun menjadi orang yang semakin teguh akan imannya. Tetapi hidupnya berubah ketika dia bertemu teman lamanya, yaitu Rusli yang datang bersama seorang wanita bernama Kartini yang ternyata merupakan seorang janda. Hasan bertekad untuk menyadarkan mereka akan agama. Namun, Rusli yang memiliki pemikiran rasional dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai materialis, menyebabkan niat Hasan semakin hancur. Keyakinannya semakin goyah ketika dia dipertemukan dengan teman Rusli yaitu Anwar. Hasan semakin tersesat dari agama dan pergaulannya semakin bebas. Suatu hari, ia pulang ke rumah di kampungnya bersama Anwar untuk bertemu ayahnya yang sakit. Ayahnya melihat perubahan pada diri Hasan. Orang tuanya berharap Hasan menikah dengan Fatimah, saudara angkatnya. Namun Hasan membulatkan tekad untuk menikahi Kartini. (Mihardja, 1949)

Pernikahan Hasan dan Kartini ternyata tidak membuahkan kebahagiaan. Seiring berjalannya waktu, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Hasan cemburu karena hubungan Kartini dengan Anwar semakin dekat. Kemarahan Hasan memuncak, ia memukuli istrinya itu. Kartini memutuskan untuk pergi dari rumah dan pergi tanpa tujuan. Di jalan, Kartini bertemu dengan Anwar dan mereka bermalam di suatu hotel bersama Karena Anwar berusaha untuk memperkosanya, Kartini segera melarikan dari penginapan itu dan meneruskan perjalanannya. Hasan sungguh menyesal dan merasa sangat berdosa atas apa yang telah diperbuat selama ia mulai menjauh dari Allah .Mendengar kabar bahwa ayahnya sedang sakit parah, Hasan memutuskan untuk pulang menjenguknya. Menjelang ajalnya, Hasan meminta maaf kepada ayahnya. Tetapi, ayahnya tetap bersikeras untuk tidak memaafkan anaknya sendiri, bahkan sampai ajal menjemputnya. Ketika pulang ke Bandung, terjadilah kusukeiho. Hasan terpaksa untuk mencari tempat berlindung di suatu bunker dan di tempat tersebut, terngiang-ngianglah suara ayahnya di hatinya, menasehati, memarahi, mengutuk,-ngutuk perbuatannya yang telah menyimpang dari ajaran agama Islam. Penyakit TBC yang menyerang Hasan kambuh. Ia memutuskan untuk mencari tempat penginapan. Setelah sampai, dilihatlah nama Kartini dan Anwar pada daftar tamu. Setelah mendapatkan penjelasan dari pelayan hotel, Hasan semakin yakin bahwa Kartini memiliki hubungan gelap dengan Anwar. Amarah Hasan tidak bisa dipadamkan. Ia memutuskan untuk lari keluar dari tempat penginapannya pada malam gelap untuk membunuh Anwar. Namun, belum sempat Hasan menemukan Anwar, ia tertembak peluru di paha kirinya kemudian terjatuh dan bersimbah darah, tetapi sebelum menemui ajalnya ia masih sempat mengingat Allah dan berkali-kali menyebut nama-Nya. (Mihardja, 1949)

  1. Analisis

  1. Tema

Tema adalah sebuah gagasan yang menjadi dasar dari suatu karya sastra. Tema sendiri memiliki sifat yang abstrak dan implisit. Secara implisit berarti tema dalam suatu cerita bisa terlihat melalui unsur-unsur intrinsiknya. Secara umum, tema terbagi menjadi lima jenis, yaitu, jasmaniah, organik, sosial, egoik, dan ketuhanan.  Sesuai dengan judulnya yaitu "Atheist" buku ini mengangkat tema jasmaniah dan sosial.  Tema jasmaniah adalah tema yang berfokus pada diri manusia itu sendiri. Biasa menyangkut hal pertemanan dan percintaan. Tema sosial adalah tema yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat. Walaupun atheis seringkali dihubungkan dengan ketuhanan dan kepercayaan, tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan arti tema ketuhanan, yakni, tema yang berhubungan erat dengan kekuasaan Tuhan pada hidup manusia, seperti mukjizat. Menurut saya, dalam novel ini, penulis ingin lebih memfokuskan bagaimana Hasan menjadi pribadi yang baru (menjadi seorang atheis) yang diakibatkan oleh pergaulannya dengan orang disekitarnya.  Bukti kalimat  :

  • Pada usia lima tahun aku sudah dididik dalam agama. Aku sudah mulai diajari mengaji dan sembahyang. (Mihardja, 1949, hal. 15)

  • Sebelum tidur, ibuku sudah biasa menyuruh aku menghafal ayat-ayat atau surat-surat dari Alquran. Sahadat, selawat dan kulhu, begitu juga alfatihah aku sudah hafal dari masa itu. Juga nyanyi puji-puji kepada Tuhan dan Nabi. (Mihardja, 1949, hal 15)

  • Agak heran melihat tingkah lakunya itu. Sangat bebas. Terlalu bebas , menurut ukuranku. (Mihardja, 1949, hal. 37)

  • Belum pernah aku menonton bersama-sama dengan seorang perempuan, atau diajak oleh seorang perempuan. Apalagi oleh seorang perempuan asing yang baru saja ku kenal seperti Kartini itu. (Mihardja, 1949, hal. 41)

  • Makin banyak aku mencurahkan perhatian kepada soal-soal baru, yang dikemukakan oleh Rusli, makin kurang aku menaruh perhatian kepada soal-soal agama dan mistik, yang sebetulnya memang tidak pernah menjadi soal bagiku. Dari mulai kecil, aku menjalankan agama dengan tidak pernah bersoal-soal. (Mihardja, 1949, hal. 111)

  • Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding dengan dulu. Dulu, artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku selalu kusesuaikan dengan "pendapat umum", terutama dengan pendapat para alim-ulama. Aku selalu berhati-hati, jangan sampai menjadi noda dalam pandangan umum, alias "klas alim-ulama itu. (Mihardja, 1949, hal. 112)

  • Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini. Sekarang aku sudah tidak malu lagi berjalan-jalan dengan Kartini, bahkan ke pasar, ke restoran, dan pernah pula berapa kali pergi nonton bioskop. (Mihardja, 1949, hal. 112)

  • Takkan heran rasanya, kalau banyak di antara kenalan-kenalanku yang geleng-geleng kepala, kenapa aku yang alim dan saleh itu tiba-tiba bisa berubah demikian. (Mihardja, 1949, hal. 113)

Dua kalimat awal adalah bukti bahwa Hasan adalah orang yang sangat religius akibat dari didikan orang tuanya. Lalu, kedua kalimat berikutnya tersebut muncul pada saat Hasan pertama kali bertemu teman lamanya, yaitu Rusli di tempat yang baru yaitu Bandung. Hasan  merasa aneh/heran dengan tingkah laku mereka karena di tempat ia dibesarkan, perilaku tersebut tidak umum, sehingga menjadi hal yang baru bagi Hasan. Munculnya kebingungan tersebut menjadi contoh adanya perbedaan kebiasaan maupun perilaku antar dua tokoh yang memiliki pengalaman di dua tempat yang berbeda. Kalimat ketiga dan seterusnya menunjukkan bahwa Hasan mengakui ada perubahan dalam dirinya. Dari kalimat-kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa a ia mulai meragukan kehadiran Tuhan dalam hidup, ia mulai menjauh dari-Nya. Kebiasaan dan kepribadian dalam hidupnya juga berubah. 

Di kampung halamannya, ia dikelilingi oleh orang-orang yang sangat taat pada ajaran agama, sehingga secara tidak langsung ia juga diharapkan menjadi seperti itu. Berbeda dengan di Bandung yang pada waktu itu juga sedang dijajah oleh Belanda dan Jepang, sehingga banyak ajaran-ajaran baru yang mulai bermunculan. Benang merah dalam kedua perbedaan tersebut adalah, kebudayaan dan kepribadian Hasan disebabkan oleh dengan siapa ia bergaul. Maka, tidak heran jika ia seolah-olah menjadi orang yang berbeda setelah lama tinggal di Bandung. Bukti-bukti itu menunjukkan bahwa novel ini dapat dikategorikan dalam tema jasmaniah dan sosial. 

  1. Tokoh dan Penokohan

    Terdapat banyak tokoh dalam novel tersebut, antara lain, Hasan, Kartini, Rusli, Anwar, Ayah dan Ibu Hasan, Haji Dahlan, Bibi, Minah, Mimi, Bung Parta, Bung Suma, Bung Gondo, Bung Bakri, Fatimah, Pak Artasan, Pak Ahim seorang kusir, Mas Karto dan Bah Kim Long. Tokoh penting yang menyebabkan adanya perubahan pada diri Hasan antara lain, Rusli dan Anwar. Walau begitu, Kartini juga memiliki peran penting dalam novel dalam pertengahan hingga akhir cerita. Berbeda dengan Rusli dan Anwar yang menjadi orang penting sejak awal cerita yang mengubah Hasan. Maka dari itu, ada keempat tokoh yang dapat dilihat perwatakannya, yaitu, Hasan sebagai tokoh utama, Rusli, Kartini dan Anwar. 

  1. Hasan.

    Hasan merupakan tokoh utama dalam novel tersebut. Sejak kecil ia sudah dididik dalam agama oleh kedua orangtuanya. Berkat didikan orang tuanya sejak kecil, ia adalah orang yang sopan dan rajin beribadah. Perilaku Hasan sendiri dapat dikatakan bahwa ia merupakan tokoh yang terus berkembang seiring jalannya cerita. Saat masih kecil, terlihat jelas bahwa ia sangat percaya pada agamanya yaitu Islam. Semua ibadah ia ikuti sesuai dengan ajarannya. Tetapi seiring-nya waktu, karena bertemu dengan teman-teman baru di lingkungan dan kebudayaan yang baru, kepercayaan tersebut mulai hilang dan ia menjadi seorang atheis. Setelah menikah, Hasan menjadi orang yang mudah marah, menjadi lebih emosional, terutama terhadap Kartini.  Ia semakin sering menggunakan kata kasar dan menggunakan menggunakan fisik kepada Kartini dan pembantunya. Walaupun begitu, ia tetap peduli dengan Kartini dan merasa ia harus menyalahkan dirinya sendiri akibat Kartini selalu pergi dari rumah. Bukti kalimat :

  • Sopan:

  • "Saya permisi pulang saja" kataku, karena merasa barangkali mengganggu mereka (mereka disini adalah Rusli dan Kartini). (Mihardja, 1949, hal.39)

  • Rajin beribadah:

  • Selesai sembahyang, aku tidak lantas ke luar, melainkan terus duduk bersila di atas lapik. Kuambil tasbih yang terletak di sampingku. Lantas berdzikirlah aku. (Mihardja, 1949, hal.44)

  • Berhenti aku dengan berzikir, lantas bertawadhu. (Mihardja, 1949, hal.44)

  • Esok harinya sehabis sembahyang Asar, aku sudah mendayung lagi ke Kebon Manggu (Mihardja, 1949, hal.54)

  • Emosional:

  • Dan entahlah, tak tahan lagi aku, kalau aku mendengar "ringkikan kuda" seperti itu. Sampai-sampai suka lupa. Kutempeleng Kartini sehingga menjerit. (Mihardja, 1949, hal. 180-181)

  • "Mimi! Mimi! Lu goblok! Tuli! Tidak dengar?!" (Mihardja, 1949, hal. 184)

  • "Salahku juga!" Bergemalah lagi seolah-olah suara hatiku itu. "Mengapa aku sekarang begitu mudah naik darah?" (Mihardja, 1949, hal. 187)

  1. Rusli

Rusli merupakan teman kecilnya Hasan dan merupakan tokoh yang cukup berpengaruh baginya. Ia sendiri tidak mempercayainya adanya Tuhan, berbeda dengan Hasan. Walaupun begitu, ia tetap menghargai temannya yang memiliki kepercayaan yaitu Islam dan tidak berusaha untuk menghasutnya menjadi seorang atheis sepertinya. Menurut saya, tokoh seperti Rusli ini adalah hal yang unik, karena ia memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat bertentangan dengan Hasan, tetapi tetap bisa menjalin hubungan baik dengan Hasan. Ia menjadi tokoh yang penting tanpa harus adanya banyak konflik dengan Hasan. Ia juga sering menyapa Hasan dan menyambutnya dirumahnya untuk berbincang bersamanya dan Kartini. Ia orang yang suka bergaul, ditunjukkan dengan ia memiliki banyak teman/kenalan. Bukti lainnya adalah ia yang memperkenalkan Hasan kepada Anwar.

Bukti kalimat :

  • Tidak percaya Tuhan:

  • "Ah mengapa saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan tidak ada, Saudara!" (kata Rusli kepada Hasan). (Mihardja, 1949, hal. 67)

  • Menghargai:

  • "O maaf Saudara, bukan sekali-kali maksud saya untuk menyinggung hati Saudara, apalagi menyinggung kepercayaan Saudara; sekali-kali itu bukanlah maksud saya." (Mihardja, 1949, hal. 68)

  • Memperkenalkan Hasan kepada Anwar:

  • "Perkenalkan dulu. Saudara Anwar, seniman anarkis dari Jakarta," kata Rusli. (Mihardja, 1949, hal. 104)

  1. Kartini

    Kartini adalah perempuan janda yang selalu dilihat bersama dengan Rusli. Kartini menjadi sering menghabiskan waktu dengan Hasan karena Rusli merupakan teman dekat dari keduanya. Pada awalnya hanya Hasan yang menyukai Kartini, tetapi seiring berjalannya waktu, Kartini juga membalas cinta Hasan dan mereka akhirnya menikah. Menurut saya pada awal cerita, Kartini tidak terlalu penting/berdampak pada diri Hasan. Perannya semakin bersinar setelah ia menikah dengan Hasa. Setelah menikah, Kartini tetap menemui Anwar secara rutin dari pagi hingga malam hari. Walaupun perilakunya terdengar seperti perselingkuhan, tetapi menurut saya, ia melakukan itu karena Hasan, suaminya, sering memarahi dan memukulnya sehingga ia butuh perlindungan dan tempat untuk bercerita. Di akhir cerita ditunjukkan bahwa ia tetap mencintai Hasan dengan tindakannya untuk kabur dari Anwar yang mencoba memperkosanya. 

  • "Kenapa kau begitu, War? Awas, aku akan menjerit minta tolong!" (Mihardja, 1949, hal. 223)

  1. Anwar

    Anwar adalah teman Rusli yang bertemu dengan Hasan pada bagian kelima dalam novel tersebut. Ia juga merupakan seorang atheis. Ia adalah orang yang suka tertawa, menceritakan pengalamannya kepada banyak orang. dan suka menjadi pusat perhatian bagi banyak orang. Ia menganggap bahwa ia sendiri adalah Tuhan. Walaupun pada awalnya ia sangat dibenci oleh Hasan, tetapi ialah yang membawa dampak paling besar kepada Hasan. Menurut saya ia juga orang yang licik, pada saat ia melihat hubungan Kartini dan Hasan semakin buruk setelah menikah, ia mengambil kesempatan untuk mendekati Kartini karena Anwar sebenarnya cinta terhadap Kartini. Jika dikaitkan dengan dunia nyata, banyak manusia yang berperilaku seperti ini, dalam kata lain, mengambil kesempitan dalam kesempatan. Perbedaannya adalah, dalam dunia nyata, perilaku tersebut dapat digunakan untuk kebaikan atau hal yang positif. 

  • Tidak percaya Tuhan :

  • "Kalau menurut saya," sambung Anwar, "Tuhan itu adalah aku sendiri (telunjuknya sendiri menusuk dadanya)". (Mihardja, 1949, hal. 108)

  • Suka menjadi perhatian:

  • Pendeknya pada malam itu pusat perhatian semua ialah Bung Parta. Rusli telah berkisar sedikit ke belakang. Bagi Anwar hal itu agaknya kurang menyenangkan hatinya. (Mihardja, 1949, hal. 120)

  1. Latar

  1. Latar tempat:

  • Kampung Panyeredan namanya. (Mihardja, 1949, hal. 10)

  • Loket bagian kawatan air dari Kotapraja tidak begitu ramai seperti biasa. (Bertemu rusli pertama kali).  (Mihardja, 1949, hal. 26)

  • Rumah Rusli di Kebon Manggu 11.  (Mihardja, 1949, hal. 29)

  • Tempat tinggal Hasan di Sasakgantung 18.  (Mihardja, 1949, hal. 28)

  • Sampai depan sebuah restoran, Rusli mengajak aku masuk. (bertemu anwar).  (Mihardja, 1949, hal. 103)

  • Rumah Kartini di Lengkong Besar 27.  (Mihardja, 1949, hal. 83)

  • "Nah ini kamarnya, Tuan," kata Amat sambil membuka pintunya, yang berangka 8 di atas daunnya yang sudah kumal dan retak-retak catnya.  (Mihardja, 1949, hal. 239)

Tempat diatas merupakan tempat yang penting dan berpengaruh bagi Hasan. Di kampung Panyeredan merupakan tempat Hasan dibesarkan hingga remaja dan juga merupakan tempat tinggal kedua orang tuanya. Tempat tersebut menjadi sanksi perubahan terhadap diri Hasan. Saat masih menjadi anak kecil dan tinggal disana, ia sangat taat pada agama, tetapi saat sudah dewasa pergi dari tempat tersebut dan mengunjunginya kembali, keyakinannya sudah berubah. Disitu juga tempat dimana ia membentak ayahnya untuk pertama kalinya. Loket menjadi tempat pertama kali ia bertemu dengan Rusli dan Kartini. Restoran menjadi tempat dimana ia bertemu dengan Anwar yang menjadi penyebab terbesar adanya perubahan dalam diri Hasan. Rumah Kartini menjadi tempat tinggal Hasan dan Kartini setelah menikah. Walaupun begitu, mereka sering berkelahi satu dengan yang lain. Kamar yang bernomor 8 menjadi tempat ia menyadari bahwa ia sangat benci Anwar dan memutuskan untuk membunuhnya. 

  1. Latar waktu

  • Malam sudah sunyi benar. (Mihardja, 1949, hal. 52)

  • Persis pukul tiga malam, saya tamat membaca naskah Hasan itu..  (Mihardja, 1949, hal. 195)

  • Hari sudah hampir pukul sebelas malam.  (Mihardja, 1949, hal. 185)

  • Bergegas setengah lari keluar hotel, ke atas trotoar, ke jalan besar dalam malam yang setengah gelap, berkeletak suara bakiak yang copot dari kakinya.  (Mihardja, 1949, hal. 247)

Latar waktu yang digunakan dalam novel ini mayoritas pada malam hari. Hal itu dikarenakan, dari pagi hingga sore hari, para tokoh bekerja dan tidak bertemu, sehingga jarang ditemukan adanya percakapan antar tokoh. Pada malam hari setelah mereka bekerja, mereka mau bertemu satu dengan yang lain. Penggunaan latar waktu yang mayoritas digunakan untuk memunculkan adanya peristiwa penting membuat novel tersebut tidak bertele-tele dan tidak terburu-buru dalam alur ceritanya. Sebaliknya, dalam penggunaan latar waktu yang sedikit itu penulis dapat lebih detail dalam menceritakan peristiwa yang sedang terjadi. 

  1. Latar suasana

  • Mengharukan:

  • Dan melalui sinar matanya itu seolah-olah mengalirlah perasaan kasih sayang yang mesra berlimpah-limpah tercurah dari hatinya ke dalam hatiku.  (Mihardja, 1949, hal. 20)

  • Air mata mendesak ke kerongkongan.  (Mihardja, 1949, hal. 20)

  • Menegangkan:

  • Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya. Tar! Tar! Kutempeleng Kartini.  (Mihardja, 1949, hal. 185)

  • Makin gencar serasa bumi berputar-putar bagi Hasan. Gelap! Gelap baginya! Ia bergegas terus. Dadanya dibakar terus oleh api amarah yang menjolak-jolak ke atas, yang menyalakan matanya, mengaburkan telinganya, mengacaukan pikirannya.  (Mihardja, 1949, hal. 247)

Kedua latar suasana tersebut hampir pada setiap bab ditemui, dalam konflik kecil maupun konflik yang besar. Dapat dikatakan bahwa latar suasana tersebut menjadinya cerita novel ini dinamis karena menunjukkan adanya interaksi-interaksi antar tokoh maupun dengan diri tokoh utama sendiri.

  1. Alur

    Alur adalah jalan cerita dalam suatu karya sastra. Alur terbagi menjadi tiga jenis dengan makna yang berbeda-beda. Alur maju atau progresif adalah alur yang diceritakan secara runtut (kronologis). Alur mundur atau regresif adalah alur yang diceritakan tidak secara kronologis. Artinya dapat dimulai dari pemunculan masalah, kemudian baru pengenalan. Alur campuran adalah gabungan dari alur maju dan mundur. Alur yang digunakan dalam novel tersebut adalah campuran, yaitu maju mundur, tetapi hampir keseluruhan novel menggunakan alur maju. Alur mundur pada novel tersebut dapat terlihat pada bagian kesatu yang diceritakan bahwa Hasan sebenarnya sudah meninggal. Bukti kalimat:

  • Alangkah mudahnya, kalau Hasan masih ada, masih hidup di sampingnya (Kartini).  (Mihardja, 1949, hal. 4)

Kalimat 'kalau Hasan masih ada, masih hidup' menandakan bahwa Hasan sebenarnya sudah tidak ada, dalam kata lain meninggal. Sedangkan, dari bagian kedua hingga selanjutnya, menceritakan kehidupan Hasan sejak ia masih anak-anak hingga ajal menjemputnya pada bagian kelima belas secara runtut. Bukti kalimat (bagian kelima belas):

  • Badan yang lemah itu berguling-guling sebentar di atas aspal, bermandi darah. Kemudian dengan bibir melepas kata "Allahu Akbar", tak bergerak lagi... (Mihardja, 1949, hal. 249)

Jika dilihat dari alur cerita tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya  hubungan yang kuat antara tokoh utama, Hasan dengan istrinya yaitu Kartini. Hasan terakhir melihat Kartini adalah pada saat Kartini kabur dari rumah tepat di depannya. Hal ini meyakini para pembaca bahwa keduanya sudah tak saling mencintai. Tapi sesungguh mereka masih mencintai satu dengan yang lain. Karena masih memiliki rasa sayang tersebut terhadap Hasan, Kartini menangis tersedu-sedu yang ditunjukan pada bagian pertama novel tersebut. Bukti kalimat:

  • Hidung terbenam dalam sapu tangan yang basah karena air mata. (Mihardja, 1949, hal.2)

  • Bercucuran air matanya. (Mihardja, 1949, hal.4)

    

  1. Sudut pandang

    Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Terdapat dua macam sudut pandang orang pertama dalam novel ini yaitu tunggal dan jamak. Sudut pandang orang ketiga dalam novel ini adalah sebagai pengamat. Terdapat dua macam sudut pandang dalam novel ini karena penulis menjadikan dirinya sebagai pemeran utama dalam cerita tersebut serta, penulis juga menampilkan ada tokoh lain yang terlibat dalam novel tersebut, sehingga digunakannya sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang pertama tunggal sebagai pelaku utama yang paling sering digunakan adalah "aku", sedangkan sudut pandang orang pertama jamak yang paling sering digunakan adalah "kami". Untuk sudut pandang orang ketiga, yang paling sering digunakan adalah menyebutkan nama tokohnya langsung, seperti Rusli, Kartini dan Anwar. Bukti kalimat :

  • Sudut pandang orang pertama tunggal sebagai pelaku utama:

  • Aku melongo saja, karena peristiwa itu begitu cepat terjadinya, sehingga seketika itu aku tidak insaf benar tentang apa yang sebetulnya telah terjadi. (Mihardja, 1949, hal.86)

  • Terasa olehku Kartini memandang aku. (Mihardja, 1949, hal.109)

  • Sudut pandang orang pertama jamak:

  • Maka kami pun lantas berjalan lagi. (Mihardja, 1949, hal.159)

  • Kami masuk ke ruang tengah. (Mihardja, 1949, hal.142)

  • Sudut pandang orang ketiga terbatas: 

  • Mendengar itu, Rusli tiba-tiba meletus dalam tertawa terbahak-bahak. (Mihardja, 1949, hal.93)

  • Bagi Anwar hal itu agaknya kurang menyenangkan hatinya. (Mihardja, 1949, hal.120)

    

"Aku" pada contoh sudut pandang orang pertama tunggal sebagai pelaku utama adalah Hasan sendiri. Hal ini disebabkan karena penulis menjadi Hasan yang merupakan tokoh utama dalam novel tersebut. "Kami" pada sudut pandang orang pertama jamak tidak selalu melibatkan tokoh utamanya yaitu Hasan, melainkan bisa hanya melibatkan tokoh sampingan. Sudut pandang orang ketiga terbatas banyak menyebutkan nama tokohnya langsung. 

  1. Gaya bahasa

Bahasa yang digunakan dalam novel tersebut adalah bahasa Indonesia. Karena novel ini ditulis pada tahun 1900-an, ada beberapa kata yang sudah jarang digunakan dalam masa sekarang ini. Walaupun begitu, bahasa yang digunakan tetap mudah dipahami oleh para pembaca. Selain itu, ada beberapa gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini, antara lain, gaya bahasa perbandingan, pertentangan dan repetisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), majas simile adalah majas yang membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda, tetapi dianggap mengandung segi yang serupa. Biasanya menggunakan kata seperti, bagaikan. Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menyatakan benda mati seolah-olah hidup seperti manusia. Majas hiperbola digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara yang dilebih-lebihkan, sehingga terkesan dramatis. Majas repetisi sering digunakan sebagai salah satu cara memperkuat makna atau dengan mengulang kata atau bagian kalimat yang hendak diperkuat maksudnya tersebut. Selain gaya bahasa tersebut, penulis juga menggunakan beberapa bahasa Belanda dan Inggris, serta istilah bahasa Jepang untuk menyesuaikan dengan suasana dan latar cerita, yaitu pada saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan Jepang. Penulis juga memberikan arti dari kata-kata tersebut di bagian pojok kiri bawah halaman. 

  1. Gaya bahasa perbandingan

  • Simile/perumpamaan: 

  • Kalau begitu sayang sekali, karena sesungguhnya Kak, beribadat dengan tidak memakai bimbingan seorang guru adalah seperti seorang penduduk desa dilepaskan di tengah-tengah keramaian kota besar seperti Jakarta atau Singapur. (Mihardja, 1949, hal.11)

  • Personifikasi

  • Semuanya kelihatan sangat lesu juga. Serupa onggokan-onggokan daging juga yang tidak berdaya apa-apa pula. (Mihardja, 1949, hal.Bagian kesatu)

  • Maka tak terdengarlah lagi dahan-dahan berderak-derak atau jeritan daun-daun yang mengiris sunyi. (Mihardja, 1949, hal.186)

  1. Gaya bahasa pertentangan

  • Hiperbola

  • Aku terbang ke kamar mandi mengambil air wudhu. (Mihardja, 1949, hal.42)

  1. Gaya bahasa penegasan

  • Repetisi:

  • "Kau seorang anak yang durhaka! Seorang anak yang berdosa! Seorang anak yang membunuh ayahnya! Ya, pembunuh! Kau pembunuh! Kau..!"  (Mihardja, 1949, hal. 231)

  • "Kau biarkan begitu saja?! Kau biarkan begitu saja? Tidakkah kau merasa terhina ?! Kau biarkan begitu saja?! Kau...Kau...Kau...?!"  (Mihardja, 1949, hal. 247)

  1. Bahasa asing

  • Bahasa Belanda

  • "Nee zeg, weg met dat mensonterende federalistisch gedoe".  (Mihardja, 1949, hal. 106)

  • "dat is toch gewoon 'badutisme', nietwaar ?"  (Mihardja, 1949, hal.106)

  • "Zeer eenvoudig! Tuhan itu madat!"  (Mihardja, 1949, hal. 107)

  • Bahasa Inggris

  • "You miss Tini, what's your opinion ? It is ridiculous, isn't it ?"  (Mihardja, 1949, hal. 106)

  • Istilah Jepang

  • Kenpeitai.  (Mihardja, 1949,  hal. 1)

  • Kusyu keiho!  (Mihardja, 1949, hal. 226)

  • keibodan.  (Mihardja, 1949,  hal.226)

Majas simile dapat dilihat dari penggunaan kata "seperti" pada contoh diatas. Majas personifikasi dapat dilihat dari kata "serupa" dan "jeritan daun-daun yang mengiris sunyi". Kata "jeritan" tersebut membuat daun-daun seolah-olah hidup seperti manusia yang bisa menjerit/berteriak mengeluarkan suara.  Untuk majas hiperbola, penulis menggunakan kata "terbang" dibandingkan dengan kata "berjalan" agar memberi kesan kepada pembaca bahwa Hasan merupakan tokoh yang tepat waktu dalam mengikuti seluruh ibadah agamanya dalam kata lain, orang yang taat pada agamanya. Untuk majas repetisi, kata "kau" dalam contoh tersebut adalah hal yang ingin ditekankan, walaupun keduanya memiliki subjek yang berbeda. "Kau" dalam contoh pertama ditujukan kepada Hasan, sedangkan "kau" pada contoh kedua ditujukan kepada Anwar. 

  1. Amanat 

    Amanat yang ingin disampaikan pada novel tersebut adalah tetap berpendirian kuat dan berpikir sebelum bertindak. Hasan yang pada awalnya sangat taat pada agamanya memiliki cita-cita yang dapat membahagiakan kedua orang tuanya. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat:

  • Pada suatu hari ketika aku dewasa dan kebetulan berpakansi ke Panyeredan, berkatalah aku kepada ayah, "Ayah, bolehkah saya turut pula memeluk ilmu yang Ayah dan Ibu anuti?". Ayah sangat riang nampaknya mendengar permintaan itu. Rupanya karena sangat terharu atau terlalu bahagia, maka beberapa jurus lamanya, ia diam saja, seolah-olah ada yang hendak diucapkan tapi tidak terlahirkan. (Mihardja, 1949, hal. 19)

Ayahnya merasa sangat bahagia karena anaknya yaitu Hasan ingin menjadi Raden sepertinya. Begitu pula dengan ibunya, karena memang sejak berumur lima tahun, Hasan sudah dididik dalam agama. Tetapi sejak pertemuan kedua antara Hasan dengan kedua orang tuanya, terjadi konflik yang besar. Pada saat itu Hasan sudah menjadi atheis sehingga memiliki pandangan yang berbeda dengan orang tuanya. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa perkelahian antar Hasan dan orang tuanya disebabkan karena Hasan menjadi atheis. Hasan menjadi atheis karena semakin sering bergaul dengan Anwar yang secara tidak sadar, perkataan-perkataan Anwar membuat keimanan Hasan menjadi semakin lemah. Penulis ingin mengajak pembaca untuk tetap memiliki pendirian yang kuat terhadap sesuatu yang dipercayainya, karena setiap orang memiliki kepercayaan yang berbeda-beda. 

    Pada akhir cerita, diketahui bahwa Hasan meninggal karena ia terburu-buru ingin balas dendam kepada Anwar, padahal situasi pada malam tersebut sedang berbahaya. Disini dapat dilihat bahwa Hasan ceroboh saat mengambil tindakan, sehingga ia mendapat imbasnya. Penulis ingin mengajak para pembaca untuk tak hanya melibatkan perasaan saat memutuskan sesuatu, tapi juga menggunakan akal sehat, begitu pula sebaliknya.

    III. Penegasan ulang

Secara keseluruhan, unsur intrinsik dalam novel "Atheis" sudah terlihat dan diceritakan dengan sangat baik. Inti dan makna dari cerita juga sudah tersampaikan dengan jelas, sehingga dapat dengan mudah diketahui apa yang penulis ingin sampaikan dalam novel tersebut. Walaupun keseluruhan cerita hanya berfokus pada Hasan, penulis dapat mengemas cerita dengan baik sehingga tetap menarik hingga akhir cerita. Tokoh Hasan, Rusli dan Kartini memiliki peran masing-masing dalam kehidupan Hasan sehingga dapat memberikan konflik yang berbeda-beda tetapi tetap berkaitan dengan satu yang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun