Mohon tunggu...
Lili Mulyani
Lili Mulyani Mohon Tunggu... Ibu empat orang anak, ASN Pemkot, Guru Inspirator aktiv literasi FIM Banten 2023.

Menulis bukanlah hobi, tetapi nafas kehidupan yang bukan hanya sebagai terapi jiwa namun sekaligus mampu untuk mengenali diri serta berdialog dengan masa depan. Dengan menulis berati kita menciptakan jalan pulang yang nikmat sekaligus indah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari Ulang Tahunku Tak Pernah Jadi Milikku

5 Juni 2025   10:28 Diperbarui: 5 Juni 2025   10:28 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Rana. Hari ini aku genap dua belas tahun.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena hujan turun sejak subuh, tapi karena suara yang paling kutunggu---tak pernah datang.

Tak ada ucapan "selamat ulang tahun" dari Ibu. Tak ada senyum kecil dari Ayah. Bahkan aroma masakan spesial pun tak tercium dari dapur.

Yang ada hanya sunyi yang sudah seperti teman lama. Sunyi yang tahu persis betapa ulang tahun bagiku bukan tentang bertambah usia, tapi tentang bertambah luka.

Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Bukan karena semangat, tapi karena takut.

Takut kalau pagi datang terlalu cepat dan semua akan mulai lagi: pertengkaran, bentakan, piring yang dibanting, pintu yang ditutup keras. Semuanya berulang setiap tanggal 5 Juni. Setiap hari lahirku.

Aku menatap langit-langit kamar yang mulai disinari cahaya samar. Dalam hati aku berkata,

"Selamat ulang tahun, Rana. Maaf, ya. Cuma aku yang mengucapkan."

Ayah belum pulang semalam. Katanya masih ada pekerjaan. Aku tidak tahu apakah itu benar atau hanya alasan. Ibu sudah bangun, tapi hanya duduk diam di ruang makan, menatap kosong ke luar jendela.

Aku memberanikan diri membuat roti bakar. Tiga potong. Satu untuk Ibu. Satu untuk Ayah. Satu untukku.

Kutata di piring dengan rapi. Kusisipkan lilin kecil dari tahun lalu. Tak kupasang. Aku hanya ingin mencoba membuat pagi ini sedikit berbeda. Sedikit lebih baik.

Tapi Ibu tetap tak menoleh. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

Beberapa saat kemudian, pintu depan terbuka.

Ayah.

Aku menoleh cepat. Ada harapan kecil yang menyelinap di dada. Tapi melihat wajah Ayah yang lelah dan langkahnya yang berat, harapan itu kembali padam. Saat Ayah duduk tanpa kata, Ibu menggeser kursinya dan mulai berbicara dengan nada yang familiar.

"Kamu datang juga akhirnya. Numpang lewat atau numpang marah?" katanya pelan, tapi tajam.

Ayah menghela napas panjang. "Kalau kamu mau mulai, silakan. Aku sudah cukup capek."

"Kamu pikir aku nggak capek? Tiap tahun begini terus!"

"Apa hubungannya dengan ulang tahun anak kita? Kamu yang belum bisa ikhlas, jangan tarik-tarik dia ke dalamnya!"

Aku diam di dapur. Genggamanku di piring menguat. Roti-roti itu sudah dingin. Sama seperti isi rumah ini.

Di kamar, aku membuka kotak kecil berisi kertas-kertas yang kutulis sejak usia tujuh tahun. Isinya surat-surat yang tak pernah kukirim. Satu per satu kubaca. Tanganku bergetar saat membaca surat tahun lalu:

"Ibu, Ayah... kalau memang aku salah lahir, tolong bilang. Biar aku nggak berharap lagi."

Tahun ini, aku menulis satu lagi:

"Hari ini ulang tahunku. Tapi rasanya aku seperti peringatan dari masa lalu yang kalian benci. Apa aku seburuk itu?"

Kututup kotak itu. Kudekap sebentar, lalu kuletakkan kembali di bawah tempat tidur.

Malam datang bersama gerimis. Udara makin dingin. Tapi yang lebih dingin adalah suasana hati. Lebih dari itu---yang terasa adalah hampa. Bukan karena tak ada hadiah, tapi karena aku merasa tak pernah benar-benar hadir di dalam hari yang seharusnya menjadi milikku.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, suara-suara kembali pecah.

"Aku nggak bisa bahagia di tanggal ini!" Ibu akhirnya menangis. "Aku kehilangan anak pertamaku di hari ini, kamu tahu itu!"

Ayah masih mencoba tenang. "Tapi kita punya Rana. Dia anak kita juga. Dia hidup. Dia berhak bahagia hari ini."

"Setiap kali aku lihat dia, aku ingat yang hilang..."

Aku keluar dari kamar. Berdiri di depan mereka.

Dan untuk pertama kalinya aku bicara:

"Aku tahu aku bukan anak pertama. Tapi aku anak yang masih ada di sini. Yang tiap tahun berharap hari ini jadi sedikit lebih baik. Tapi kalian selalu memilih kenangan yang hilang... dan lupa kalau aku ini nyata."

Mereka terdiam. Dan aku kembali ke kamar. Tak menunggu jawaban.

Malam semakin larut. Aku memejamkan mata, berpura-pura tidur.

Pintu kamarku terbuka pelan. Langkah kaki masuk mendekat. Ibu.

Ia duduk di pinggir ranjang. Tangannya menyentuh rambutku. Lembut. Hangat.

Lalu ia berbisik, nyaris tak terdengar:

"Maaf, Nak... Ibu belum selesai dengan luka Ibu sendiri. Tapi kamu... kamu satu-satunya alasan Ibu masih bertahan."

Ia mencium keningku perlahan. Lama. Lalu pergi.

Air mataku jatuh, pelan. Tapi malam ini, rasanya berbeda.

Aku menulis di jurnal kecilku:

"Hari ini masih sepi. Masih dingin. Tapi satu kalimat itu hangat. Mungkin, untuk pertama kalinya, hari ulang tahunku benar-benar menjadi milikku."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun