Ada kelegaan yang tak bisa dihitung dengan angka. Rasanya seperti menyentuh kembali akar kehidupan: saat kita memberi pada orang yang paling dulu mencintai kita tanpa syarat.
Jujur saja, topik pilihan Kompasiana kali ini terasa seperti tamparan lembut. Saya jadi ingat, bulan ini belum memberi uang ke Mamah. Bulan lalu juga belum. Bukan karena tak ada niat, tapi karena terus menunggu "momen yang pas"yang seringnya tak pernah benar-benar datang. Menunggu waktu senggang. Menunggu sisa uang lebih. Menunggu hari gajian berikutnya. Begitu terus, sampai waktu melupakan niat baik itu.
Padahal bukan jumlahnya yang penting. Saya tahu betul, Mamah tidak pernah meminta. Tapi saya juga tahu: berbagi kepada orang tua bukan sekadar soal kewajiban melainkan bentuk cinta paling nyata. Terutama sejak Bapak wafat beberapa tahun lalu. Kini, Mamah tinggal sendiri di rumah kecil kami, dan mengisi harinya dengan berbagai kegiatan di gereja: bermain angklung, melayani sebagai petugas koor, tim tata laksana, dan anggota tim bunga. Meski sudah tak bekerja, ia tetap aktif dan mandiri menjalani masa tuanya dengan sukacita dan pelayanan.
Momen-momen seperti inilah yang sering mengingatkan saya akan nilai-nilai yang sejak kecil ditanamkan dalam keluarga. Tentang menghormati orang tua, bukan hanya saat mereka kuat, tapi justru ketika mereka mulai menua dan membutuhkan kehadiran kita.
"Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu."
(Keluaran 20:12)
Memberi Bukan Diam-diam, Tapi Juga Bukan Harus Minta Izin
Saya biasanya langsung saja memberi uang ke Mamah, tanpa diskusi panjang dengan suami. Bukan karena ingin menyembunyikan. Tapi karena suami tahu, ini adalah hal yang sudah saya lakukan sejak dulu. Sejak sebelum kami menikah. Ia paham bahwa ini bagian dari nilai hidup saya. Bahwa saya akan merasa bersalah jika tak bisa berbagi, walau sedikit, kepada orang yang dulu selalu memastikan saya tidak kekurangan.
Kadang, ia ikut menambahkan. Kadang tidak. Tapi yang membuat saya bersyukur adalah: ia tidak mempermasalahkan. Ia menghargai. Ia memahami bahwa relasi anak dan orang tua bukan putus setelah ijab kabul atau pemberkatan. Justru semakin kuat.
Di sinilah saya sadar: komunikasi yang sehat dalam rumah tangga bukan tentang seberapa sering kita minta izin, tapi seberapa dalam saling pengertian itu tumbuh. Semua itu dimulai dari rasa percaya.
Berapa Nominal yang Ideal? Apakah Harus Sama Rata?
Soal nominal? Saya tidak pernah punya angka pasti. Tidak ada angka saklek. Kadang 300 ribu, kadang 500 ribu. Kadang hanya 100 ribu. Kadang cuma bisa mengirim makanan atau oleh-oleh. Tapi prinsip saya sederhana: kalau saya bisa jajan kopi mahal, langganan beberapa platform streaming, atau beli skincare terbaru, maka saya juga harus bisa menyisihkan untuk ibu saya meski kecil.
Menurut hasil survei Katadata Insight Center pada 2021, lebih dari 60% generasi milenial di Indonesia masih rutin memberi uang pada orang tua setelah menikah. Artinya, kebutuhan akan berbagi ini bukan hanya soal budaya, tapi soal nilai kolektif yang terus dijaga lintas generasi.