Tapi Ibu tetap tak menoleh. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya.
Beberapa saat kemudian, pintu depan terbuka.
Ayah.
Aku menoleh cepat. Ada harapan kecil yang menyelinap di dada. Tapi melihat wajah Ayah yang lelah dan langkahnya yang berat, harapan itu kembali padam. Saat Ayah duduk tanpa kata, Ibu menggeser kursinya dan mulai berbicara dengan nada yang familiar.
"Kamu datang juga akhirnya. Numpang lewat atau numpang marah?" katanya pelan, tapi tajam.
Ayah menghela napas panjang. "Kalau kamu mau mulai, silakan. Aku sudah cukup capek."
"Kamu pikir aku nggak capek? Tiap tahun begini terus!"
"Apa hubungannya dengan ulang tahun anak kita? Kamu yang belum bisa ikhlas, jangan tarik-tarik dia ke dalamnya!"
Aku diam di dapur. Genggamanku di piring menguat. Roti-roti itu sudah dingin. Sama seperti isi rumah ini.
Di kamar, aku membuka kotak kecil berisi kertas-kertas yang kutulis sejak usia tujuh tahun. Isinya surat-surat yang tak pernah kukirim. Satu per satu kubaca. Tanganku bergetar saat membaca surat tahun lalu:
"Ibu, Ayah... kalau memang aku salah lahir, tolong bilang. Biar aku nggak berharap lagi."