Namaku Rana. Hari ini aku genap dua belas tahun.
Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena hujan turun sejak subuh, tapi karena suara yang paling kutunggu---tak pernah datang.
Tak ada ucapan "selamat ulang tahun" dari Ibu. Tak ada senyum kecil dari Ayah. Bahkan aroma masakan spesial pun tak tercium dari dapur.
Yang ada hanya sunyi yang sudah seperti teman lama. Sunyi yang tahu persis betapa ulang tahun bagiku bukan tentang bertambah usia, tapi tentang bertambah luka.
Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Bukan karena semangat, tapi karena takut.
Takut kalau pagi datang terlalu cepat dan semua akan mulai lagi: pertengkaran, bentakan, piring yang dibanting, pintu yang ditutup keras. Semuanya berulang setiap tanggal 5 Juni. Setiap hari lahirku.
Aku menatap langit-langit kamar yang mulai disinari cahaya samar. Dalam hati aku berkata,
"Selamat ulang tahun, Rana. Maaf, ya. Cuma aku yang mengucapkan."
Ayah belum pulang semalam. Katanya masih ada pekerjaan. Aku tidak tahu apakah itu benar atau hanya alasan. Ibu sudah bangun, tapi hanya duduk diam di ruang makan, menatap kosong ke luar jendela.
Aku memberanikan diri membuat roti bakar. Tiga potong. Satu untuk Ibu. Satu untuk Ayah. Satu untukku.
Kutata di piring dengan rapi. Kusisipkan lilin kecil dari tahun lalu. Tak kupasang. Aku hanya ingin mencoba membuat pagi ini sedikit berbeda. Sedikit lebih baik.