Beberapa hari lalu, aku mengirim pesan pribadi kepada Novia Respati---kawan sesama penulis di Kompasiana. Isinya sederhana: ucapan terima kasih karena telah mengizinkan namanya kugunakan untuk sebuah karakter.
Kenapa? Karena tokoh "Novia" dalam novel keempatku, De Oud Ziel, sukses memberi warna yang tak tergantikan. Ia hadir sebagai sosok jenaka, impulsif, dan---jujur saja---super galau. Tapi justru itu yang membuat cerita terasa hidup dan membumi.
Ini bukan kali pertama aku "meminjam" nama dan karakter teman. Dalam tiga novel sebelumnya, aku pun sering melakukannya. Trik ini membantuku menulis tokoh yang lebih konsisten dan nyata---karena begitu cerita berkembang (aku ini tipe planters), sosok mereka seolah muncul sendiri di kepalaku, lengkap dengan cara bicara, ekspresi, bahkan selera humor mereka.
Begitu benih De Oud Ziel tumbuh, sosok Novia langsung terbayang. Ia bukan tokoh dengan kekuatan supranatural, tapi keberaniannya paling membumi. Karakter yang sempurna untuk mendampingi Metta dan Pastor Boon dalam menghadapi konflik spiritual dan sejarah yang lebih besar dari apa pun yang pernah mereka hadapi.
Dan di sinilah perjalanan De Oud Ziel dimulai---novel keempat dari semesta Berdansa dengan Kematian, sekaligus spin-off dari Petabhumi,  Novel ketigaku,
Tokoh utamanya adalah Metta de Witt, gadis blasteran keturunan paranormal paling legendaris di masa Hindia Belanda, Henry de Witt. Metta bukan manusia biasa. Ia disebut De Oud Ziel---jiwa tua---karena darahnya memuat dua kutub yang saling bertolak belakang: Santo Rafael dan Iblis Amodeus.
Dalam Petabhumi, Metta muncul sebagai karakter pendukung. Ia adalah murid dari Suhu Yong-min yang kerap hadir di saat genting dengan solusi tepat. Kemampuannya berkomunikasi dengan arwah-arwah Belanda legendaris, ditambah penguasaan mantra-mantra dalam bahasa Belanda Kuno, menjadikannya sosok yang tak hanya menarik, tetapi juga unik.
Namun, kali ini, Metta tak lagi hanya sekadar karakter pendukung. Ia berdiri di garis depan, terseret dalam nubuat kiamat yang melibatkan pembunuhan tujuh malaikat agung, kesurupan massal, dan simbol-simbol antikristus yang muncul di rumah-rumah ibadah. Bersama Pastor Boon yang gugup tapi berhati tulus, serta Novia---si rasional tapi galau---mereka dibawa ke jantung kekacauan spiritual yang melanda Indonesia, bahkan dunia.
Dari Bandung hingga Jakarta, dari ordo rahasia Custodes Lux hingga kasus-kasus metafisik yang ditangani Iptu Laura Anastasia, kisah ini membawa pembaca menelusuri jejak konspirasi akhir zaman, warisan sejarah kolonial, dan pertarungan antara terang dan gelap yang tak sesederhana kelihatannya.
**