Aku harus mengakui, ada beberapa hal yang langsung membuatku gentar saat memulai menulis novel ini.
Pertama, karena kisahnya berada di luar zona nyamanku---biasanya aku menulis cerita yang berakar pada budaya Tionghoa dan ajaran leluhur. Namun kali ini, karena Metta adalah keturunan Belanda, aku harus mengalihkan fokus ke budaya Hollands Spreken dan ajaran Kristen, yang jujur saja belum sepenuhnya aku pahami.
Selain itu, aku menantang diriku dengan menaikkan taruhannya. Jika sebelumnya bencana dalam novelku hanya berdampak pada keluarga atau komunitas tertentu, kini kisahnya mengguncang seluruh Indonesia, bahkan dunia, melalui bencana Megathrust yang memisahkan Pulau Jawa menjadi dua.
Untuk membuat terornya terasa nyata, aku memulai cerita dengan sebuah ramalan: Nubuat Pemusnahan Agung, yang mengisahkan genosida tujuh malaikat agung di bumi sebagai simbol runtuhnya harapan sebelum kebangkitan baru. Nubuat ini kemudian memicu kemunculan tujuh tanda kiamat, yang sebagian cukup mengejutkan, seperti kerasukan massal saat misa, dan pastor-pastor yang mati suri lalu bangkit menghina Kristus.
Itu semua baru permulaan. Konflik memuncak di Keuskupan Agung, di mana pihak konservatif bersitegang dengan Uskup Agung Yusuf Hadisiswanto dan Vikjen Monsinyur Alex, yang diam-diam berusaha melindungi Metta, anak dari terang dan kegelapan. Demi menjaga keselamatan Metta, aturan gereja pun harus dilanggar, sehingga mereka menghadapi pertentangan iman, dogma, dan ancaman dari dalam tubuh gereja sendiri.
Salah satu plot menarik adalah kerusuhan massal di depan keuskupan, antara pihak konservatif yang ingin menjaga keutuhan gereja, dan pihak yang mendukung penggunaan eksorsisme sebagai jalan singkat menyelesaikan masalah.
Ditambah lagi, Metta sendiri yang merupakan keturunan iblis yang sudah dimurnikan, menjalankan eksorsisme dengan cara tak lazim---menggunakan salib terbalik dan air kencing kuda yang ia manifestasikan sebagai air suci.
Untungnya, aku sadar diri dan menghubungi seorang pastor Katolik, sahabatku, untuk berdiskusi. Jawabannya cukup menenangkan. Ia bilang,Â
beberapa adegan memang kontroversial jika dibaca sepintas, tapi yang penting adalah refleksi kemanusiaan yang bisa diambil pembaca dari kisah ini.
Berbekal saran tersebut, aku pun menyunting bagian-bagian kontroversial, dan menambahkan penutup yang aku harapkan mampu meneduhkan.
Dalam wawancara dengan Uskup Agung, ia merangkum hiruk-pikuk novel ini dengan pernyataan yang dalam:Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!