“Aku selalu suka bagaimana Raden Saleh menggunakan cahaya,” kata Gading pelan, berharap bisa memulai percakapan yang lebih hangat.
“Wajah Diponegoro ini, bayangan dan sorot matanya… seperti ada dua sisi yang saling bertarung di dalam dirinya.”
Eboni hanya menatap lukisan itu dengan pandangan kosong.
“Ya,” jawabnya tanpa banyak antusiasme.
Gading menelan ludah. Ia mencoba melanjutkan, tapi mulutnya kering, dan pikirannya terlalu penuh oleh kecemasan. Ia ingin bertanya, ingin tahu kenapa Eboni tampak semakin jauh darinya, meskipun hanya beberapa langkah di sebelahnya. Tapi ia takut. Takut bahwa pertanyaan-pertanyaan itu akan memecahkan sesuatu yang tak bisa lagi diperbaiki.
**
Museum itu sunyi, kecuali suara langkah kaki mereka yang bergema di lantai marmer. Bau cat minyak dan kayu tua menguar di udara, menciptakan aroma yang unik dan agak menyesakkan. Di sudut ruangan, lampu-lampu kecil memancarkan cahaya kuning yang lembut, memberikan kesan dramatis pada lukisan-lukisan yang terpajang.
Di galeri Affandi, mereka berhenti di depan lukisan “Potret Diri.” Warna-warna yang ekspresif, goresan kuas yang liar, dan ekspresi wajah yang penuh dengan emosi membuat Gading merasa seperti sedang melihat cermin dari jiwa manusia. Ia memperhatikan bagaimana warna-warna gelap dan terang bercampur, menciptakan kompleksitas yang sulit dipahami.
Di depan mereka, sepasang kekasih berdiri, tangan mereka saling menggenggam, tak peduli dengan orang-orang di sekitar. Mereka berciuman, mulut mereka menyatu di tengah keheningan museum, seolah-olah museum itu hanya milik mereka berdua.
“Lucu ya,” kata Eboni tiba-tiba, suaranya sedikit lebih lembut sekarang.
“Mereka kayak nggak peduli sama apa pun.”