“Kalau kamu nggak tahu apa yang salah, kenapa kita harus di sini?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lelah. “Kenapa kita harus datang ke tempat ini kalau kamu nggak mau bicara?”
Eboni menunduk, rambutnya jatuh menutupi wajahnya.
“Mungkin… mungkin karena aku ingin tahu,” katanya pelan.
“Aku ingin tahu apakah kita masih bisa melihat hal-hal yang sama seperti dulu.”
*
Mereka masuk ke dalam museum tanpa bicara lagi. Udara dingin dari AC langsung menyelimuti tubuh mereka, membuat Gading bergidik. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan suasana baru ini—lantai marmer yang mengkilap, dinding putih yang bersih, lukisan-lukisan yang terpajang di setiap sudut ruangan. Tapi pikirannya tetap kacau, dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
“Galeri Raden Saleh ada di sebelah kiri,” kata Gading akhirnya, mencoba memecah keheningan. Suaranya terdengar aneh di telinganya sendiri, seperti suara orang asing.
Eboni mengangguk tanpa menatapnya.
“Terserah,” katanya pendek.
Gading menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Eboni sedang menutup diri, seperti biasa. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap. Ia ingin bertanya, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ia juga takut. Takut bahwa pertanyaan-pertanyaan itu akan memperparah retakan yang sudah ada di antara mereka.
Mereka sampai di depan lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" karya Raden Saleh. Gading berdiri di sana, memandangi lukisan itu dengan intensitas yang hampir menyakitkan. Sosok Pangeran Diponegoro tampak begitu hidup, matanya penuh dengan kemarahan dan keteguhan. Gading merasa seolah-olah lukisan itu berbicara padanya, menceritakan tentang perjuangan, tentang pengkhianatan, tentang kehilangan.