Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah memang militer harus kembali menjadi pilihan kepemimpinan nasional, tentu tergantung dari sejumlah parameter. Situasi geopolitik internasional yang gencar membasmi kelompok teroris, tak terlalu hirau dengan perbedaan "sipil atau militer" dalam menjamin stabilitas politik suatu kawasan. Sekalipun lembaga survey seperti Freedom House masih tetap menjadi acuan untuk mengukur kadar demokrasi suatu negara, tetap saja kepentingan pragmatis untuk menjamin investasi dan laju pertumbuhan ekonomi dunia menjadi pilihan. Tentu hal ini tak bisa dipisahkan dari semakin tak populernya persoalan kesenjangan Utara-Selatan, kesenjangan Timur-Barat, bahkan pengelompokan ideologis Sosialis-Liberal yang menjadi ikon kerjasama antar negara dalam abad 20.

Kegagalan sipil tak bisa lepas dari prakondisi lahirnya kepemimpinan sipil. Beralihnya kepemimpinan militer ketangan sipil pasca Soeharto lebih merupakan historical disaster, ketimbang usaha serius menumbuh-kembangkan kepemimpinan sipil oleh masyarakat sipil (lebih luas: civil society) sendiri.  Pemicu utamanya berangkat dari pandangan sipil yang melihat peralihan kepemimpinan sebagai persoalan simbolis, ketimbang organis. Hal itu ditandai dengan jabatan presiden atau Menteri Pertahanan oleh sipil. Kalaupun kebijakan atau school of thought kalangan sipil itu tetap militeristik, sepertinya bukan persoalan.

***

Belajar dari pengalaman Uni Sovyet, ternyata bubarnya Sovyet lebih disebabkan oleh pasifnya kalangan militer dalam menanggapi glasnost dan perestroika-nya Gorbachev. Militer juga tidak mempunyai cukup dana untuk menyatukan angkatan perangnya. Hubungan sipil-militer relatif buruk dalam menanggulangi persoalan dalam negeri, yang berbanding terbalik dengan kekompakan mereka ketika menghadapi perang dingin melawan Amerika. Ketika militer kembali aktif, misalnya dalam kasus Chechnya, upaya-upaya damai di meja perundingan yang dirintis kalangan politisi sipil justru ditentang oleh kalangan militer (Michael C. Desch: 2000, hal 38).

Di Indonesia, dukungan militer atas perjanjian Malino I (Poso) dan Malino II (Maluku) dapat dilihat sebagai langkah serius militer untuk menjadi state guardian sekaligus back-up bagi  kalangan sipil yang memprakarsainya. Sebaliknya dukungan sipil atas kebijakan militer juga nyaris tanpa reserve, antara lain dalam pembentukan Kodam Iskandar Muda di Aceh. Tapi hubungan simbiosis mutualisma ini belum menyentuh level grassroot, sehingga yang terjadi lebih pada kompromi elite sipil dengan elite militer.

Politisi sipil juga kurang punya inisiatif membangun masa depan berbasiskan civil supremacy.  FEER menulis: "Civilian supremacy in Indonesia has always depended on progress toward establishing a strong civil society. But since Suharto fell, lawlessness, political infighting and widening corruption has pushed reform into the background. Indeed, the absence of fully fledged civilian institutions, including a credible justice system and a representative party structure, is the reason why politicians feel compelled to drag the military back into its historic power-broking role."

Keadaan ini ditambah dengan hubungan sipil-militer yang semakin buruk akibat gencarnya kampanye pengungkapan kejahatan HAM yang dilakukan oleh unsur masa lalu militer, tanpa diikuti dengan penyelesaian lebih kurang 10 UU menyangkut militer. Institusi sipil, seperti DPR -- dengan asumsi Fraksi TNI/Polri hanya bertahan sampai 2004 -- juga tak tegas, bahkan cenderung tak punya kepercayaan diri untuk menggunakan momentum perubahan ini memperbaiki dirinya sendiri. Adanya politisi dadakan yang kurang dikenal buah pikirannya, selain hanya statement-statement politik base on isu-isu temporal, dan bukan platform visioner jangka panjang, semakin memperlihatkan bergelayutannya cacing-cacing politik yang membuat wajah sipil kian pucat-pasi. 

Sebaliknya militer seakan sudah sampai pada kesimpulan bahwa civil supremacy berarti menempatkan militer sebagai warga negara kelas dua, dan bukan hubungan yang berdasarkan kesetaraan berdasarkan profesionalisme, atau hubungan yang bersifat kelembagaan dalam institusi demokrasi. Minimnya proses dialog untuk menjembatani perbedaan ini, ditambah dengan situasi yang mengarah kepada darurat ekonomi, memunculkan letupan kasus-kasus yang mestinya bermuara di pengadilan seperti pemanggilan para jenderal oleh KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Keniscayaan sejarah bagi militer untuk membersihkan dirinya dari  pilihan masa lalu sebagai bagian kekuatan politik, semakin pudar.

***

Lack of communication ini mestinya dipecahkan, antara lain dengan membenahi kelembagaan politik sipil. Pembenahan itu bagian awal dari konsolidasi demokrasi untuk memberi peluang sama kepada semua pihak berpartisipasi dalam mengatur negara ini, terutama di level eksekutif dan legislatif. Tertatanya institusi politik, sehingga tidak lagi menjadi salah satu sumber konflik yang menularkan the circle of violence ketengah-tengah masyarakat, adalah prasyarat penting konsolidasi demokrasi. Saling intervensi, bahkan konflik sipil-militer, dengan sendirinya berlangsung dalam katup penyelamat yang jelas, kredibel, dan dapat diukur dan diantisipasi.

Untuk itu perlu perubahan UU Politik agar sosialisasinya berjalan sempurna. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tinggal mengaplikasikannya dalam menyiapkan infrastruktur organisasi penyelenggaraan Pemilu 2004. Siapapun yang terpilih nanti tidak akan lagi dianggap sebagai historical disaster, karena semuanya berlangsung by design and by political management yang transparan dan konstitusional. Pemilu 2004 dapat disebut sebagai taruhan terakhir kepemimpinan sipil, mengingat reformasi sudah berjalan empat tahun, dan belum jelas berakhir kapan dengan sederetan kekecewaan, konflik, dan luka-luka baru yang menyengsarakan rakyat miskin. Belum lagi pola serangan atas komponen sipil, seperti yang terjadi atas Urban Poor Consorcium (UPC) Kamis (28/03) ini di halaman Komnas HAM yang tak disikapi oleh pemimpin-pemimpin sipil dan militer.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun