Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Progresifitas ST MPR 2002 tercederai atas patokan bentuk NKRI, tanpa penjelasan memadai. Bentuk final negara akan mematikan dinamika, juga semangat hidup, dari perubahan pikiran yang mungkin terjadi di kalangan generasi mendatang. Hak sejarah itulah yang direnggut MPR. Apabila terjemahan Pasal 37 ayat (5) UUD terjadi sembarangan, lewat peraturan perundangan lainnya, yang kembali hadir adalah negara yang sangat otoriter. Negara akan membatasi banyak sekali publikasi, diskusi, juga pemikiran ilmiah yang berkembang dan berproses, baik di kampus, ilmuan, juga masyarakat. Katakanlah diskusi bentuk negara federal, juga semangat desentrasisasi dan devolusi skala luas untuk menghambat sentralisasi yang mudah jatuh kepada otoritarianisme, bahkan totalitarianisme.

Apakah diskusi negara federal akan dibubarkan, juga publikasi ilmiah akan dihanguskan? 

Federalisme memang bukan jaminan bagi kedamaian, atau harapan yang lainnya. Federalisme, sebagaimana unitarianisme, hanya alat mencapai negara kesejahteraan (welfare state) dengan cara memilah-milahnya berdasarkan kebutuhan masyarakat majemuk dan plural. Nancy Bermeo menulis bahwa tidak pernah terdapat keberhasilan kekerasan gerakan separatis didalam negara demokrasi federal (Journal of Democracy: April 2002, 108).  Militer jarang menembaki warga negaranya, termasuk dalam Negara Federal Uni Sovyet sebelum bubar tahun 1989. Sovyet memang akhirnya pecah, terutama menjadi negara-negara muslim, mengingat Sovyet memiliki lebih dari 50 Juta warga muslim (Galia Colan:1990, 197). Tetapi negara-negara Asia Tengah itu bergabung dengan Uni Sovyet adalah akibat ekspansi dan kolonialisasi. Setelah pecah, negara-negara itu tenggelam dalam bentuk baru kediktatoran (FEER, 9 Mei 2002). Sebaliknya yang terjadi di negara-negara unitarian (kesatuan), dengan masifnya tingkat kekerasan aparatur negara atas rakyatnya sendiri.

***

Pembentukan KK versi MPR juga tak memberi ruang kepada rakyat untuk menjadi negarawan. Kecuali KK bekerja secara partisipatoris, transparan, dan melibatkan setiap orang dewasa yang punya hak suara dalam Pemilu untuk beraspirasi. Elitisisme amandemen UUD 1945, hendaknya tak terulang. Rakyat harus diberikan hak-haknya untuk turut menentukan hitam-putihnya negara ini. Bukan hanya kewajiban untuk membayar pajak, dan membiarkan tanah dan airnya digunakan oleh negara. Apabila elite politik tetap minta dihargai oleh rakyat, penghargaan yang lebih tinggi patut juga diberikan kepada rakyat. Salah satunya dengan melibatkan rakyat dalam proses amandemen konstitusi berikutnya, dengan cara dan saluran yang bervariasi. Idealnya semangat perubahan konstitusi adalah gelombang baru untuk menggerakkan energi positif dalam kalbu dan jiwa rakyat. Dari sinilah, patut disusun struktur organisasi, jaringan, informasi, komunikasi, juga sarana dan prasarana lain untuk mendapatkan spirit rakyat, termasuk lewat KK yang dibuat BP MPR.

Sudah saatnya rakyat disapa tentang apa yang ada dalam hati-nurani mereka, mulai dari yang tinggal di pulau-pulau terpencil, lembah-lembah dalam, juga pegunungan tinggi, bahkan korban penggusuran, konflik sosial dan pengungsi. Begitupun rakyat yang hidup dalam masyarakat dan wacana global dan kosmopolitan, yaitu ratusan ribu yang bekerja dan belajar di berbagai sekolah dan kampus di luar negeri. Mereka di internet sudah mendiskusikan UUD ideal berbulan-bulan, tapi tak ada saluran ke MPR. Andaipun konstitusi baru yang dihasilkan tidak seideal pendapat "kalangan pakar" juga "elite politik", setidaknya satu syarat telah terpenuhi: tangan kekuasaan bersalaman, bergenggaman dan bergandengan dengan tangan rakyat. Rakyat tak lagi dianggap sebagai pengikut, melainkan sebenar-benarnya negarawan. 

Siapkah (ego) kita? @2002

Kompas, 11 September 2002

Lahirnya Jakarta, Rahimnya Indonesia

Tanggal 11 September 2002 ini lebih dari 8,5 Juta warga Jakarta akan diberikan Gubernur periode 2002-2007 oleh DPRD DKI. Untuk jabatan sepenting itu, warga Jakarta belum punya hak memilih secara langsung. Bisa jadi Gubernur baru yang lebih segar atau Gubernur lama, Sutiyoso (1997-2002), yang dipilih tempat si Mandra mau lapor. Sebagai barometer 29 provinsi lain, pemilihan kali ini mengandung benih "misteri" dan kompleksitas masalah. Peran Jakarta sebagai the eye's Indonesia, seperti Konstantinopel sebagai the eye's the world, sangat dipertaruhkan. D-Day nanti akan menjadi parameter dominasi politik lokal yang memberi resonansi bagi temperatur politik nasional.

Idealnya Gubernur DKI sanggup meniti buih multi intervensi pelbagai elemen: komunitas politik, bisnis dan punya keberpihakan kepada citizen. Gubernur juga berguna membangun jembatan emas antara penyelenggara negara dengan warga. Apakah sistem dan mekanisme demokrasi yang menjadi bidannya, bisa memicu kelahiran kembali (rebirth) Jakarta, sebagai fajar harapan mulai keesokan harinya, atau hanya memutar sistem birokrasi, autokrasi atau gambar-gambar tua kekuasaan (rewind) bagai kaset kusut yang terus diputar yang bisa merusak seluruh sistem? Yang pasti proses kelahiran bayi demokrasi menyakitkan menurut Sindhunata.

Sebagai kota "kosmopolitan", dalam berproses menjadi kota (urbanisasi), Jakarta terlihat letih. Jakarta menjadi kanvas gagalnya pembangunan dalam radius 650 km persegi. Jakarta tak lebih dari kumpulan kampung, ketimbang kumpulan kota (Ayatrohaedi, "Kota di Dalam Kota", Kompas, 24/08/02). Untuk mengetahui, memahami, dan menditeksi sejauhmana bangsa dan manusia Indonesia sanggup mendefenisikan peran manusia dalam pembangunan cukup melongok Jakarta.

Fluktuasi angka dan grafik yang berderet tentang "indeks kemajuan" langsung bisa dilihat secara kasat mata, begitupun "indeks kemunduran". Kawasan Jakarta Selatan, misalnya, menjadi simbol kemakmuran. Tetapi banyak kawasan Jakarta bopeng, semrawut, serakah, berantakan, amburadul, atau kebablasan, menurut bahasa kalangan politisi. Rentang abad terhampar, bila dibandingkan kawasan Glodok, Sunda Kelapa, sampai batas Harmoni, dengan penjuru lain. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun