Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abdoel Moeis, dalam novel Robert Anak Suropati, memperlihatkan segi eksotik turun berperahu di Sungai Ciliwung, depan Istana Negara dan Pasar Baru, bagi bangsawan Belanda dalam bulan Purnama. Novel Ca Bau Kan Remy Silado juga membawa pikiran pada kawasan "merah" Kalijodo. Dalam dmensi ruang dan waktu itu, berbagai kebudayaan tumbuh atau mati.

Itulah sebabnya menurut Nurcholis Madjid, jika segi kemelayuan merupakan intinya, plus kehidupan urban dan modern dan kosmopolitanisme, maka bibit embrionik keiindonesiaan modern ialah pola budaya Jakarta, sebut saja 'Kejakartaan', sebagaimana pernah dikatakan Bung Karno. Setelah Jakarta, Medan adalah kota kedua yang paling mendekati gambaran hakekat keiindonesia, bukan Yogya (Republika, 9 Agustus 1999).

Dalam perkembangan berikutnya, Jakarta dipenuhi beragam penyakit sosial di tingkat masyarakat dan elite. Hampir seluruh denyut sejarah Indonesia berlangsung dalam radius puluhan kilometer, seputar Istana dan Senayan di Jakarta, dan paling jauh Istana Bogor dalam Peristiwa Supersemar 1965. Selain Jakarta, Yogyakarta dan Bukittinggi pernah tercatat sebagai ibukota darurat, serta rencananya New Delhi, India, sebagai ibukota di pengasingan. Sejarah panjang Indonesia, terutama siklus perubahannya, adalah sejarah ringkas Jakarta. Sejarah rombeng nasional adalah titik simpul jahitan sejarah lokal Jakarta.

***

Penderitaan Indonesia, tak terlepas dari sentralisasi Jakarta dalam berbagai segi: ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan militer dan pendidikan. Ironisnya Jakarta juga begitu timpang dalam berbagai bidang. Rata-rata penduduk Jakarta terdidik, baik lewat pendidikan formal dan informal di daerah asal, atau di Jakarta, serta lebih-lebih di luar negeri. Kaum intelektual seperti terasi, berdempet-dempet, berderet-deret, memburu dollar, rupiah, hiburan, dinamika hidup, juga batas-batas idealisme. Uang yang diperoleh siang hari, bisa langsung tandas malam hari, dibawah remang-remang lampu warna-warni.

Jutaan rupiah bisa berpindah tangan dalam sekejap di jalanan berbentuk sogokan, perampokan, pembunuhan, transaksi narkoba dan sex, atau harga yang harus dibayar karena jalanan macet berjam-jam yang menunda banyak sekali pekerjaan. Rata-rata penghasilan seorang pengamen Rp. 15-30 Ribu per hari, kalikan dengan jumlah pengamen seluruhnya. Juga penghasilan pedagang asongan, pembaca puisi, bekas narapidana dan korban narkotika yang ingin tobat, bahkan yang dikatakan untuk biaya pembangunan tempat-tempat peribadatan, anak yatim, pesantren, serta biaya pengobatan teman/famili yang dikeroyok preman, dan dana untuk korban banjir, pengungsi dan bencana lainnya yang dipungut di jalanan atau penipuan lewat rekening.

Untung, dalam penghujung abad 20, kebijakan desentralisasi ditempuh. Sebagaimana bandar Jayakarta yang dibangun lebih dari empat abad, butuh minimal seabad lagi melihat bagaimana daerah dibangun, dengan dukungan kecepatan teknologi dan industri. Apakah Jakarta akan hadir di daerah, menjadi penjara? Dengan desentralisasi, Jakarta kembali menjadi daerah, dengan prediket Khusus Ibukota.

***

Persoalannya, apa kontribusi pemilihan Gubernur riwayat Jakarta dalam satu abad mendatang? 

Lagi-lagi, kembali kepada niat tulus desentralisasi, dalam beragam aspek, termasuk politik. "Misteri" tak berjawab atas dukungan pimpinan negara dan pemerintah kepada salah satu calon gubernur (Cagub) patut direnungi. 

Apakah desentralisasi partai-partai politik, seperti didambakan Muhammad Hatta 70 tahun silam, sudah berjalan?

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun