Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Begitupun, apakah Cagub lain bisa mengambil jarak atas apa yang terjadi di tingkat negara dan pemerintah, agar keberagaman sebagai ciri khas Jakarta tetap jadi suri tauladan? 

Bisakah gubernur terpilih tak memberikan konsesi apapun nanti kepada pemilihnya, apabila kembali terulang the battle of political elites yang jarang mengenal santun itu?

Manusia adalah pembuat sejarah. Sejarah Jakarta akan ditentukan oleh 80 anggota DPRD, 14 orang Cagub dan Wakil Gubernur (Wagub), dengan metode tulis nama, coblos angka atau tanda silang yang mengundang sengketa. Padahal paparan pasangan Cagub dan Wagub jauh lebih pantas dijadikan analisa. Begitupun visi besar Jakarta juga tak bisa digantungkan pada satu atau dua orang.

Individualisme warga Jakarta yang diidentikkan sebagai ciri modernitas, nyatanya tak terbukti secara empirik. Kolektivisme kuat dan subur, entah atas nama etnis, partai, tokoh, bahkan pengelompokan sipil-militer. 

Faktor budaya etnis juga berjenis, misalnya opera Batak Tilhang Serindo bagi masyarakat Batak Toba di Jakarta yang sanggup memelihara habatahon (kebatakan) selama lebih dari 20 tahun (Krismus Purba: Juni 2002). Pengamanan pemilu, misalnya,  sangat tergantung pada kolektivisme warga, bukan semata-mata pemerintah. Damainya Pemilu 1999 adalah prestasi kolektif, bukan perorangan.

Begitu banyak tokoh, sedikit sekali kontribusinya pada kemajuan Jakarta. Semakin tipis cadangan pemimpin baru yang berani tampil kedepan. Ataukah sistem politik membuat birokrat lama terus bertahan dalam bingkai demokrasi? Jangan-jangan, demokrasi telah jadi bangkai dan membusuk, sehingga dihindari oleh orang-orang baik yang berpolitik demi kehidupan. Dalam tragedi banjir, negara lenyap. Yang kental kebersamaan warga. Lautan kepedulian warga dan balutan kepedihannya menenggelamkan peran negara. Jakarta, nyatanya, terbukti kian alergi terhadap kepedulian yang berdasar kekuasaan an sic, apalagi yang bersifat simbolis dan feodalis.

Padahal warga mendamba keamanan, pemerataan kesejahteraan ekonomi, mobilitas sosial dan dinamika budaya. Warga punya harga diri untuk tidak mengemis kepada penguasa, kecuali syair satire Iwan Fals: "Penguasa, berilah hamba uang!" Ketergantungan kepada kekuasaan otomatis mencipta jarak sosial yang mengeras jadi kesenjangan: ekonomi, sosial dan politik. Sekecil apapun pengaruh ledakan sosial di Jakarta, terdengar seperti gempa di daerah-daerah. Titik episentrum politik di Jakarta secara tiba-tiba menularkan magma beracun dan lahar panas, seperti yang mengalir dibawah kota New York dalam film Volcano.

Pemilihan Gubernur dan Wagub baru, dalam tanggal "keramat" dan "kiamat" 11 September ini, bisa diartikan dua. Pertama, perhatian atas aspirasi warga akan membangun kemenangan kecil demokrasi. Kedua, kalau hanya demi sesuatu yang tak terhubung dengan kepentingan warga, tak lebih dari reproduksi tragedi 11 September 2001 Amerika di bidang politik. Haluan politik warga Jakarta dibajak, demi kepentingan terorisme politik itu sendiri. Sebab hukum besi aksi-reaksi belum berubah, hanya variasinya bergeser dari bersifat quantum, lembam, atau naik-turun.

Hasil akhir pemilihan Gubernur dan Wagub DKI, akan memunculkan hukum aksi-reaksi itu: keras atau lunak. Dan bukan tak mungkin berupa civil disobedience, seperti himbauan kaum demonstran dari entrepreneur dan profesional tempo hari. Ketika aspirasi publik dimenangkan untuk menjadi kekuatan pilar-pilar budaya demokrasi, Jakarta turut berperan sebagai rahimnya Indonesia. @2002

Kompas, 24 April 2002

Injury Time Untuk Sipil

Majalah Far Eastern Economic Review (FEER), yang kebanyakan isinya mengenai Indonesia bukan menyangkut soal ekonomi, dalam edisi terbarunya (25 April 2002) menulis judul: INDONESIA: An About-Turn on the Military". FEER langsung menghubungkannya dengan kepentingan Pemilu 2004. Menurut sejumlah kalangan civil society, macetnya rencana amandemen konstitusi juga terhubung dengan sikap militer, sekalipun Fraksi TNI/Polri sudah sangat jelas sikapnya untuk mendukung amandemen. Makanya kuatnya kepentingan politik sipil untuk memasukkan militer kembali dalam spektrum kekuatan politik, mengarahkan kita pada situasi yang sebenarnya tentang betapa lemahnya sipil.

Keadaan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sipil diambang kekalahan, dibanding militer. Benarkah sipil belum siap memimpin bangsa dan negara besar ini, sebagaimana pernah diungkap Prof. Juwono Soedarsono? Sebab struktur kepemimpinan, kaderisasi, jenjang karier, juga "platform" TNI jauh lebih profesional, ketimbang organisasi sipil. Apalagi militer sekarang makin banyak yang menguasai "ilmu" sipil baik lewat pendidikan di Sesko TNI atau Lemhannas, maupun lewat kedisiplinan untuk belajar di lembaga-lembaga sipil, terutama dalam tugas kekaryaan di eksekutif dan legislatif. Kedisiplinan juga ditunjukkan dengan tingkat kehadiran, penguasaan masalah, juga aktifitas dalam persidangan DPR.

Keadaan itu makin terbukti dengan kegagalan kepemimpinan sipil. Asia Times (07/03), dengan mengambil Abdurahman Wahid sebagai batu pijakan pertama peralihan kepemimpinan militer kepada kalangan sipil, menyebutnya sebagai " ... The military then allowed Wahid to win his first battle in what was a test of whether the civilian government could gain authority over the military establishment."   

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun