Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tetapi, keindahan kedua UU ini langsung melepuh ketika menyaksikan pelaksanaannya, minimal selama satu tahun ini. Kepentingan politik Jakarta dalam bentuk intervensi berdasarkan pertimbangan jangka pendek terlalu mengemuka. Akibatnya, ketika luka-luka lama belum sembuh, tercipta luka-luka baru yang kembali memunculkan pesimisme.


Sejumlah Instruksi Presiden yang tingkatannya jauh dibawah UU diwarnai oleh metode pendekatan keamanan (security approach) yang selama ini gagal menjinakkan kelompok-kelompok separatis di kedua daerah. Pembunuhan terus berlangsung di kedua daerah yang tidak pernah bermuara pada proses peradilan secara transparan. Kedua daerah ini terus mengalami penyimpangan dari akar kultural. Lokakarya yang dilakukan oleh satu mitra lokal Partnership for Governance Reform di Aceh, misalnya, menyebutkan soal perdagangan
perempuan sebagai satu dari tiga kasus utama, selain korupsi. Di Papua, laporan media massa dan lembaga-lembaga kesehatan menyebutkan tingkat penderita HIV paling tinggi di Indonesia.

Tentu, masalah-masalah sosial yang mencuat ke permukaan itu merupakan kontribusi berbagai pihak. Hanya saja, pemerintah pusat tetap menjadi pihak yang paling dirugikan, karena bisa saja dianggap salah memberikan dosis obat atau bahkan melakukan mal praktek untuk mengatasi penyakit-penyakit sosial itu. Sebagaimana dengan daerah-
daerah lainnya di Indonesia, Aceh dan Papua mengalami kelumpuhan dalam hal yang menyangkut pelayanan publik. Tingkat buta huruf, pengangguran, putus sekolah, kesehatan, sampai kelaparan melanda sebagian besar generasi Aceh dan Papua dibawah usia 20 tahun.Padahal, generasi inilah yang diharapkan nantinya bisa membangun Aceh dan Papua dengan pola yang amat berlainan dengan belajar dari kegagalan demi kegagalan yang ditunjukkan oleh generasi yang lebih tua.


***

Pendekatan politik (political approach) yang kadang diintervensi oleh security approach ternyata hanyalah satu dari banyak ukuran dalam mendayung biduk Aceh dan Papua bersama biduk-biduk lainnya dalam bentangan Nusantara. Secanggih apapun biduk yang dibuat, apabila satu pendayungnya dilanda penyakit, akan membawa masalah bagi pendayung-pendayung lain. HIV sebagai penyakit menular dan pekerja seks sebagai penyakit sosial tidak bisa hanya dilihat sebagai bentuk penyimpangan tingkah lalu. Tanpa memperhatikan faktor- faktor lain, seperti keadilan sosial dan pemerataan ekonomi, sulit
berharap akan membawa pengaruh kepada demokrasi.


Untuk itu, perlu dicarikan padanan lain diluar pendekatan struktural berupa penumbuhan kelembagaan demokrasi lokal yang disandingkan dengan pendekatan kultural berupa pemberdayaan adat-istiadat lokal. Pendekatan itu apalagi kalau bukan human approach, sesuatu yang tampaknya basi dan terlalu filosofis dan eksotik. Selama elite-elite
politik pusat dan daerah masih memainkan relasi kuasa dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka, selama itu pula pembantaian demi pembantaian atas kemanusiaan terjadi dalam berbagai segi. Arah pembangunan semestinya lebih berorientasi kepada masalah-masalah kemanusiaan, ketimbang struktur dan infrastruktur. Kesalahan prioritas inilah yang terus-menerus terulang.


Pembentukan Kodam dan penerbangan perdana Seulawah Air di Aceh menunjukkan betapa sense of humanity begitu keriput. Pemekaran wilayah dan keluarnya peraturan daerah tentang jual beli minuman keras yang diprotes pengusaha di Papua adalah contoh dari
pembonsaian prinsip-prinsip hak-hak dasar manusia. Gelontoran dana trilyunan rupiah akhirnya akan tersedot kembali kepada pihak-pihak yang kuat secara ekonomi dan politik.


Agar biduk Aceh dan Papua tetap melaju bersama biduk-biduk Republik Indonesia lainnya, perlu perhatian yang lebih kepada pendayung- pendayung dan penumpang di kedua daerah. Sudah selayaknya elite- elite pusat dan daerah kembali merumuskan tujuan pemberian otonomi khusus, yakni pengembalian harga diri warga Aceh dan Papua yang banyak dirampas oleh megalomania negara.


Harga diri Aceh dan Papua akan semakin memekarkan kuncup demokrasi, apabila perhatian kepada kelompok-kelompok marginal lebih besar, ketimbang hanya kepentingan yang membonceng guyuran dana. Pembangunan sekolah, jaringan rumah sakit, pemukiman murah, listrik, dan lain-lainnya sesungguhnya sudah tersedia dalam daftar inventarisasi masalah di Aceh dan Papua. Kini, maukah Jakarta dan Pemda kedua provinsi, untuk merevisi lagi agenda-agenda pembangunan manusia di tahun kedua pelaksanaan otonomi khusus? Kita sungguh menunggunya... Jakarta @ 2002.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun