Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sentimen etnik berkembang, sentimen itu harus ditempatkan sebagai pikiran zaman kegelapan, ketika nurani dan agama belum masuk menerangi bumi. Kalau sentimen itu terus ditonjolkan, untuk kepentingan apapun, katakanlah sebuah jabatan, kekuasaan, atau sesuap nasi, pertanda Indonesia sedang menyuruk  ke masa lalu dalam bentuk kekerdilan pikiran. Benar, ada penderitaan di masa lalu, akibat sistem yang sentralistik, pikiran yang sentralistik, budaya yang sentralistik, atau bahasa yang sentralistik, tetapi semuanya adalah pengalaman bersama. Kalau otonomi diharapkan menjadi kunci pembuka otonomi individual, tetapi nyatanya dihinggapi para free rider yang mendorongnya kepada sentimen semu atas nama etnik, pertanda yang akan hadir adalah sentralisme baru. Kalau dulu Jakarta memenjarakan pikiran semua orang dari beragam suku, jangan sampai sekarang daerah-daerah menebarkan banyak penjara baru yang meremukkan kohesi sosial.

Ketiga langkah itu hanyalah awal dari sebuah pekerjaan besar dan lama untuk menemukan Indonesia baru yang lebih sejahtera. Ketiganya harus seiring dengan proses penegakkan keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan upaya menuntut penjahat-penjahat ekonomi-politik masa lalu membayar kesalahannya, juga melakukan pertobatan kolektif. Jangan sampai hanya karena membela paham yang dasar pijakannya tak jelas, Indonesia menjadi rumah kertas yang siap terbang kemana-mana, tak tentu arah dan rimba. @2002

Kompas, 6 Mei 2002

RMS, Negara Gagal dan Persatuan Indonesia

Aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) tanggal 25 April 2002 mengundang kegundahan. Laporan media massa Jakarta hari Jum'at (26-04-02) memperlihatkan sebuah foto yang jelas-jelas tertulis nama sebuah tempat peribadatan sebagai kantor RMS. Dalam berita yang lain, juga terdengar seruan nama Allah SWT dari tempat peribadatan agama lain. Seakan, unsur agama dan politik bercampur kental. Orang awam pembaca berita akan segera tahu, bahwa pesan yang disampaikan oleh RMS adalah keinginan membentuk negara agama.

Bagaimana kita melihat fenomena ini? 

Benarkah sudah demikian runyamnya keadaan, sehingga media massa nasional terpaksa memperlihatkan foto itu? 

Bagaimana kalau foto itu dibaca oleh kalangan pembaca pers luar negeri, akankah mereka melihat bahwa RMS adalah bentuk lain  dari perjuangan PLO di Palestina, yang ada di tanah Indonesia? 

Simpang siurnya pemberitaan model ini akan semakin sulit dicegah, sebagaimana sudah banyak terjadi selama ini, juga akibat sejumlah kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di luar negeri dengan ujung tombak kedutaan-kedutaan besar kita.

Maluku telah identik dengan kekerasan. Selama ini orang menyebutnya sebagai konflik horizontal bernuansa Suku, Agama dan Ras (SARA). Ketika aspirasi separatisme menguat, lewat RMS, aparatur negara seakan sulit untuk bertindak tegas, sebagaimana komitmen menjaga hasil pertemuan Malino II. Tajuk rencana Kompas (26 April 2002) mempertanyakan efisiensi ketegasan aparat melaksanakan komitmen Malino II. Yang kurang dibahas oleh tajuk itu adalah ketika aspirasi RMS mencuat, lalu ditangani secara represif oleh aparat negara, yang akan terjadi adalah konflik vertikal. Konflik vertikal, di negara manapun, potensial mengundang perhatian dunia internasional.

Sikap aparat untuk berhati-hati atas keberadaan RMS tentu beralasan. Sikap itu juga ditunjukkan ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengibarkan bendera OPM di tanah Papua. Butuh berhari-hari untuk menurunkan bendera itu. Karena, sebagaimana penjelasan seorang kawan yang sudah lama melakukan penelitian dan perjalanan di Papua, bendera Bintang Kejora sudah menjadi semacam lambang sakral sejumlah suku di Papua.

Ketegasan aparat tentu diperlukan, untuk menghadapi pihak-pihak yang melanggar perjanjian Malino II. Tetapi, soal RMS sudah masuk pada dimensi lain. Sama halnya dengan bagaimana aparat menghadapi Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Ia sudah masuk pada kategori gerakan separatisme, sebagian atas nama nasionalisme etnik, sebagian lain atas nama nasionalisme relegius.

Masalah yang lebih besar di Indonesia sebetulnya berangkat dari gagalnya negara, sebagaimana terungkap dalam penjelasan Prof Dr Robert I Rotberg, Direktur Program Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sebuah sesi diskusi di CSIS (Kompas, 28 Maret 2002). Bagi Rotberg, indikator negara-negara yang gagal adalah cenderung menghadapi konflik yang berkelanjutan, kekerasan komunal maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.

Teori gagalnya negara itulah yang kini kian tampak di Indonesia. Maluku memberi sumbangan besar bagi kapal Titanik Indonesia, karena tinggal kebocoran yang diakibatkan oleh perang sipil (civil war) disana sudah sedemikian memprihatinkan. Ditambah dengan kemunculan RMS yang seperti mengail di air keruh. Apabila pemerintah dan masyarakat tidak hati-hati menyikapinya, justru akan memancing tumbuhnya perlawanan, baik  bersenjata atau tidak. Berbeda dengan daerah-daerah konflik di tempat lain, Maluku telah dipenuhi oleh timbunan bahan-bahan persenjataan, apakah bahan peledak atau senjata ringan, terbukti dengan ledakan beberapa bom dan kebakaran atas instansi-instansi resmi pemerintah.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun