Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal setiap helaan kalimat anggota MPR mendentumkan kata rakyat. Gagalnya pembentukan Komisi Konstitusi (KK) Independen lewat Pasal 37, Aturan Peralihan, atau Aturan Tambahan, dan hanya lewat Tap MPR No. I/MPR/2002, menunjukkan MPR sepakat menyandera penentuan nasib bangsa dan negara dalam genggamannya. Rendahnya partisipasi publik atas amandemen UUD 1945 menunjukkan bahwa lemahnya legitimasi MPR dalam artian metodologi dan prosedur amandemen konstitusi. Ditambah kurangnya aksi demonstrasi selama ST ini, kian menjauhkan MPR dari hati publik. Telah terjadi semacam mosi tidak percaya masyarakat atas apapun yang berlangsung di Senayan. 

Dengan keadaan itu, masihkah MPR percaya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara dan rakyat yang berguna memberi stimulus hidupnya dinamika demokrasi?

Sekalipun UUD memberi angin segar atas tatanan ketatanegaraan baru, terasa sekali dinginnya proses politik di MPR. Terdapat sejumlah perubahan UUD 1945 yang sangat penting: (1) Pemilihan presiden secara langsung; (2) Keluarnya TNI/Polri dari DPR/MPR tahun 2004; (3) Hapusnya Fraksi Utusan Golongan dari MPR; (4) Dianutnya sistem bikameral (DPR dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD); dan (5) Dibubarkannya Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Nasib Fraksi Utusan Daerah (FUD) tak begitu diperhatikan, karena terakomodir lewat DPD yang dipilih dalam Pemilu. Padahal DPD berbeda dengan FUD. Tetapi, keputusan mengejutkan untuk tak mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Pasal 37 ayat (5) adalah bentuk konservatifisme baru MPR, juga taruhan besar atas keluarnya Fraksi TNI/Polri dari DPR/MPR. 

Kompas (12/08/2002) mengatakan: "(MPR) ...agar secara cerdas dan cekatan menangkap dan mengerti pula konsekuensi serta implikasi dari perubahan-perubahan itu. Misalnya, apa implikasi paham yang tetap Negara Kesatuan, tetapi kini juga akan diwujudkan dalam lembaga MPR yang bikameral."

Bikameralisme dalam Negara Kesatuan adalah terobosan dan variasi baru dari perkembangan teori dan defenisi hukum tata negara dan ilmu politik "khas" Indonesia. Ataukah memang Indonesia tak menganut bikameralisme, sebagaimana lazimnya di negara-negara federal? 

Dari sisi ini saja, MPR jauh telah melampaui batas kewenangannya, melebihi yang dilakukan oleh the founding fathers and mothers, juga menutup alam pikiran generasi mendatang. Fondasi ketatanegaraan seperti ini saja akan membuka perdebatan baru, terlebih MPR tak menyiapkan naskah akademisnya. 

MPR tak memperhatikan Penjelasan UUD 1945: "Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin". 

Begitupun dengan penyembelihan dasar-dasar demokrasi ekonomi yang digagas oleh Muhammad Hatta dalam perubahan Pasal 33 UUD 1945, tepat satu hari menjelang satu abad Bung Hatta. Inikah kado ulang tahun MPR untuk Bung Hatta?

***

MPR telah menjadi algojo berdarah dingin untuk membunuh masa lalu dan mengebiri masa depan. Prestasi dan "lompatan besar" ketatanegaraan yang dilakukan MPR menjadi kehilangan akar ketulusan nurani. Friksi dan aksi diluar gedung MPR/DPR seakan menutupi keputusan final dalam PAH I dan Komisi A MPR. Terlepas dari tugas konstitusionalnya, MPR melakukan satu patahan sejarah lagi. Sejarah sebagai spirit, the idea of the human imagine of the world, dan the process to be and not to be as human being, ditelikung tanpa memberi kesempatan kepada masyarakat luas sebagai makhluk sejarah untuk menyumbangkan gagasan, mimpi dan imajinasinya. Ketika sejarah dipatahkan oleh rezim demi rezim, sehingga menggeleparkan nyawa dan membuncahkan darah atas dasar elastisitas pemahaman dan interpretasi konstitusi, MPR kini mengulanginya. Keduanya mempunyai implikasi serius, berupa pengingkaran atas perubahan di masa datang. Atas nama hak, MPR mengubah banyak hal. Sebaliknya, juga atas nama hak, MPR membungkam kemungkinan perubahan nanti.

MPR lupa membaca Penjelasan UUD 1945: "Kita harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu, janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang mudah berubah. (...) Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan, dinamis." 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun