Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Faldo Maldini, striker politik masa depan andalan Universitas Indonesia dan Minangkabau. #Dokpri

Kompas, 26 Februari 2002

Kontraversi Revisi UU No. 22/1999

Revisi UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah diwarnai penolakan sebagian besar kepala daerah tingkat II, Partai Golkar, juga team Ryaas Rasyid yang dulu membuatnya. Sementara, pemerintah lewat Departemen Dalam Negeri terus melakukan sosialisasi. Sayangnya, kontraversi merebak sebagian besar seputar kewenangan presiden membubarkan DPRD. Substansi kontraversi ini sendiri sangatlah sumir, karena semua tahu negara demokrasi baru ala Indonesia akan dihadapkan lagi dengan otoritarianisme. Depdagri tentu tak pernah belajar dari pembubaran Dewan Konstituante oleh Soekarno lewat Dekrit 5 Juli 1959, juga pengebirian partai-partai politik oleh Soeharto. Kontrol politik, bahkan pembubaran partai-partai politik, hanya menguntungkan rezim militer, seperti terlihat di Pakistan pasca kudeta Perfez Musharaf atau perlakuan terhadap Partai Refah di Turki.

Hanya saja, fokus kontraversi ini melulu pada masalah politik. Politik seakan menenggelamkan bangsa ini kearah perdebatan tanpa akhir, unlogic, bahkan kontra produktif. Padahal, dari berbagai evaluasi awal UU No. 22/1999 memang mengandung sejumlah masalah, sejak diberlakukan secara politik seiring dengan penandatanganannya oleh Habibie tanggal 7 Mei 1999, dan secara ekonomi tanggal 1 Januari 2001. Konflik pasca otonomi sudah banyak disinggung, termasuk konflik antara BUMN versus Pemda, potensi konflik etnis, juga semakin buruknya social responsiveness oleh Pemda atas sarana dan prasarana perekonomian yang dulunya dikendalikan oleh pusat. Jalan nasional dan jalan propinsi, misalnya, kini semakin banyak lubangnya, karena dulu ditangani oleh Departemen Pekerjaan Umum.

Padahal revisi penting dilakukan. Syaratnya: (1) team revisi yang dibentuk Depdagri wajib melakukan sosialisasi ke berbagai kalangan, terutama di daerah, dan bukan semata-mata kepada Pemerintahan Daerah; (2) jangan sampai kontraversi hanya menjadi monopoli tokoh-tokoh nasional yang bermarkas di Jakarta, karena bagaimanapun sulit untuk tak melihat adanya beragam kepentingan ekonomi-politik dibaliknya; (3) hendaknya partai-partai politik tidak menjadikan persoalan otonomi daerah sebagai peluang baru untuk mendapatkan dukungan massa di daerah, melainkan otonomi daerah dijadikan sebagai usaha membayar banyak kesalahan pemerintahan sebelumnya yang, tentu saja, didukung oleh Partai Golkar sejak Pemilu 1971 (27 Tahun); (4) memfokuskan diri kepada persoalan ekonomi, sosial dan budaya demi kepentingan masyarakat lokal, dan bukan semata-mata demi kepentingan politik elite lokal, apalagi elite nasional, baik sipil atau militer.

Penolakan Partai Golkar untuk merevisi UU ini tentu merupakan bentuk baru dari konservatisisme Golkar untuk mempertahankan UU yang dilahirkan oleh DPR hasil Pemilu 1997 yang 74%-nya dikuasai Golkar. Sebagian besar kepala daerah memang berasal dari Partai Golkar, bahkan daerah yang dimenangkan oleh PDI Perjuangan,  mengingat lemahnya sumber daya manusia partai-partai politik baru. UU ini memang UU paling progresif yang dibuat oleh DPR era Orde Baru, tetapi patut juga diingat bahwa tekanan berbagai komponen diluar DPR, seperti gerakan mahasiswa dan pressure groups lainnya, menempatkan persoalan otonomi daerah ini sebagai starting point untuk menuju negara kesejahteraan dan berkeadilan sosial.

Dari berbagai kasus "pembangkangan" daerah kepada pusat selama era Otonomi Daerah, dapat dilihat betapa kadar persoalan nasional dan politik kebangsaan menjadi sedikit terabaikan. Di sisi lain, demokrasi lokal juga belum terbangun, karena keuntungan politik pelaksanaan otonomi daerah lebih banyak diraih elite lokal. Sudah banyak dituliskan tentang keberadaan raja-raja kecil di daerah, bahkan kekurang-pedulian terhadap nasib rakyat di daerah. Walikota Payakumbuh, Sumbar, misalnya lebih memilih membeli Cherokee, ketimbang mengalokasikan anggaran untuk warganya yang miskin.

Secara umum, terdapat tiga langkah yang perlu dilakukan:

Pertama, revisi UU No. 22/1999 lebih kepada penguatannya, ketimbang memperlemah wacana dan praksis otonomi daerah yang sudah berjalan. Upaya memperkuat ini bukan hanya bersifat teknis, tetapi lebih kepada perumusan dasar pemikiran yang bersifat komprehensif tentang otonomi daerah. Landasan filosofis otonomi daerah mesti lebih dikedepankan, bukan hanya naskah akademik semata. Perumusan itu harus dengan eksplisit menyebutkan tentang keberadaan suku-suku bangsa, alam-lingkungan, juga manusia yang berkewarganegaraan lain, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses berbangsa.

Menggunakan sebutan sebagai putra daerah, etnis asli, adalah bertentangan dengan logika, juga ilmu pengetahuan. Migrasi sosial, percampuran kebudayaan, juga saling-silang suku, sudah merupakan sunatullah, sejak anak-anak Adam-Hawa dilahirkan, lalu menyebar ke berbagai belahan benua. Hukum dasar kemanusiaan ini harus menjadi bagian integral dari konsep otonomi daerah. Seperti diakui sendiri oleh Andi Alfian Mallarangeng, dalam sebuah konferensi di Singapura -- seperti diceritakan seorang jurnalis kepada penulis -- UU No. 22 kurang mengantisipasi keragaman budaya bangsa Indonesia,  kesenjangan antar wilayah, benih-benih patronase politik lokal, faktor birokrasi yang lemah dan miskin inisiatif, serta mudahnya otonomi di-hijack oleh kepentingan ekonomi-politik elite.

Kedua, dalam era otonomi daerah perlu terus dirumuskan paham kebangsaan baru yang lebih terdesentralisasi, pluralistik, dan demokratis. Kebangsaan bukanlah paham yang bersifat eksklusif, tertutup, melainkan terbuk dan inklusif. Nasionalisme Indonesia tak akan ada, apabila beragam suku tak saling berinteraksi dalam menghadapi kolonialisme. Nasionalisme lahir dari penderitaan kolektif, bukan personal. Reformasi politik pasca Soeharto juga lahir dari penderitaan kolektif, baik akibat kesalahan manusia atau reaksi alam, dan bukan penindasan etnis oleh etnis. Kalaupun ada yang harus disalahkan, maka partai politik yang berkuasa di masa Orde Baru pantas menerimanya, apalagi yang orang-orangnya seakan merasa tak berdosa.

Ketiga, upaya revisi juga perlu disertai dengan mempercepat proses sedimentasi konsepsi kemanusiaan universal, atau lebih tepatnya lagi konsepsi humanisme-teistik. Unsur kesamaan sebagai mahkluk Tuhan bisa menjadi pegangan awal untuk meredam imaji-imaji negatif yang menegasikan perbedaan ideologi. Paham kemanusiaan universal lebih tinggi tempatnya daripada sentimen tribal yang menggunakan mitos-mitos masa lalu untuk masuk ke goa-goa pikiran yang tak berdasar. Dalam Islam, misalnya, juga dikenal paham Humanisme Islam, seperti dipelopori oleh karya Marcel A. Boisard.

Ketika sentimen etnik berkembang, sentimen itu harus ditempatkan sebagai pikiran zaman kegelapan, ketika nurani dan agama belum masuk menerangi bumi. Kalau sentimen itu terus ditonjolkan, untuk kepentingan apapun, katakanlah sebuah jabatan, kekuasaan, atau sesuap nasi, pertanda Indonesia sedang menyuruk  ke masa lalu dalam bentuk kekerdilan pikiran. Benar, ada penderitaan di masa lalu, akibat sistem yang sentralistik, pikiran yang sentralistik, budaya yang sentralistik, atau bahasa yang sentralistik, tetapi semuanya adalah pengalaman bersama. Kalau otonomi diharapkan menjadi kunci pembuka otonomi individual, tetapi nyatanya dihinggapi para free rider yang mendorongnya kepada sentimen semu atas nama etnik, pertanda yang akan hadir adalah sentralisme baru. Kalau dulu Jakarta memenjarakan pikiran semua orang dari beragam suku, jangan sampai sekarang daerah-daerah menebarkan banyak penjara baru yang meremukkan kohesi sosial.

Ketiga langkah itu hanyalah awal dari sebuah pekerjaan besar dan lama untuk menemukan Indonesia baru yang lebih sejahtera. Ketiganya harus seiring dengan proses penegakkan keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan upaya menuntut penjahat-penjahat ekonomi-politik masa lalu membayar kesalahannya, juga melakukan pertobatan kolektif. Jangan sampai hanya karena membela paham yang dasar pijakannya tak jelas, Indonesia menjadi rumah kertas yang siap terbang kemana-mana, tak tentu arah dan rimba. @2002

Kompas, 6 Mei 2002

RMS, Negara Gagal dan Persatuan Indonesia

Aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) tanggal 25 April 2002 mengundang kegundahan. Laporan media massa Jakarta hari Jum'at (26-04-02) memperlihatkan sebuah foto yang jelas-jelas tertulis nama sebuah tempat peribadatan sebagai kantor RMS. Dalam berita yang lain, juga terdengar seruan nama Allah SWT dari tempat peribadatan agama lain. Seakan, unsur agama dan politik bercampur kental. Orang awam pembaca berita akan segera tahu, bahwa pesan yang disampaikan oleh RMS adalah keinginan membentuk negara agama.

Bagaimana kita melihat fenomena ini? 

Benarkah sudah demikian runyamnya keadaan, sehingga media massa nasional terpaksa memperlihatkan foto itu? 

Bagaimana kalau foto itu dibaca oleh kalangan pembaca pers luar negeri, akankah mereka melihat bahwa RMS adalah bentuk lain  dari perjuangan PLO di Palestina, yang ada di tanah Indonesia? 

Simpang siurnya pemberitaan model ini akan semakin sulit dicegah, sebagaimana sudah banyak terjadi selama ini, juga akibat sejumlah kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di luar negeri dengan ujung tombak kedutaan-kedutaan besar kita.

Maluku telah identik dengan kekerasan. Selama ini orang menyebutnya sebagai konflik horizontal bernuansa Suku, Agama dan Ras (SARA). Ketika aspirasi separatisme menguat, lewat RMS, aparatur negara seakan sulit untuk bertindak tegas, sebagaimana komitmen menjaga hasil pertemuan Malino II. Tajuk rencana Kompas (26 April 2002) mempertanyakan efisiensi ketegasan aparat melaksanakan komitmen Malino II. Yang kurang dibahas oleh tajuk itu adalah ketika aspirasi RMS mencuat, lalu ditangani secara represif oleh aparat negara, yang akan terjadi adalah konflik vertikal. Konflik vertikal, di negara manapun, potensial mengundang perhatian dunia internasional.

Sikap aparat untuk berhati-hati atas keberadaan RMS tentu beralasan. Sikap itu juga ditunjukkan ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengibarkan bendera OPM di tanah Papua. Butuh berhari-hari untuk menurunkan bendera itu. Karena, sebagaimana penjelasan seorang kawan yang sudah lama melakukan penelitian dan perjalanan di Papua, bendera Bintang Kejora sudah menjadi semacam lambang sakral sejumlah suku di Papua.

Ketegasan aparat tentu diperlukan, untuk menghadapi pihak-pihak yang melanggar perjanjian Malino II. Tetapi, soal RMS sudah masuk pada dimensi lain. Sama halnya dengan bagaimana aparat menghadapi Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Ia sudah masuk pada kategori gerakan separatisme, sebagian atas nama nasionalisme etnik, sebagian lain atas nama nasionalisme relegius.

Masalah yang lebih besar di Indonesia sebetulnya berangkat dari gagalnya negara, sebagaimana terungkap dalam penjelasan Prof Dr Robert I Rotberg, Direktur Program Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sebuah sesi diskusi di CSIS (Kompas, 28 Maret 2002). Bagi Rotberg, indikator negara-negara yang gagal adalah cenderung menghadapi konflik yang berkelanjutan, kekerasan komunal maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.

Teori gagalnya negara itulah yang kini kian tampak di Indonesia. Maluku memberi sumbangan besar bagi kapal Titanik Indonesia, karena tinggal kebocoran yang diakibatkan oleh perang sipil (civil war) disana sudah sedemikian memprihatinkan. Ditambah dengan kemunculan RMS yang seperti mengail di air keruh. Apabila pemerintah dan masyarakat tidak hati-hati menyikapinya, justru akan memancing tumbuhnya perlawanan, baik  bersenjata atau tidak. Berbeda dengan daerah-daerah konflik di tempat lain, Maluku telah dipenuhi oleh timbunan bahan-bahan persenjataan, apakah bahan peledak atau senjata ringan, terbukti dengan ledakan beberapa bom dan kebakaran atas instansi-instansi resmi pemerintah.

Gagalnya negara juga terhubung dengan korupsi yang semakin terang-terangan. Ketika Belanda merayakan 4 abad VOC, pelajaran utama yang bisa ditarik adalah sebab-sebab kehancuran VOC. VOC hancur karena korupsi, baik oleh pejabat-pejabatnya sendiri, maupun lewat aparatur ambtenaar pribumi yang menjadi perpanjangan tangan VOC. Kegagalan VOC jugalah yang kemudian menimbulkan periode Tanam Paksa di Indonesia, untuk menutupi kas pemerintahan Belanda yang bangkrut untuk menghadapi gerakan "separatisme" kala itu, terutama Perang Diponegoro, Imam Bonjol, dan kemudian Perang Aceh.

Aspek pembiayaan atas penumpasan gerakan separatisme ini juga yang membangkrutkan negara Indonesia, disamping tentunya penyalahgunaan dana negara untuk kepentingan satu-dua orang koruptor. Belum lagi pada mentalitas aparat dan politisi yang dengan jumawa lebih banyak mengalokasikan dana buat kepentingan sendiri, bukan demi kepentingan rakyat. Sehingga, korupsi kini tidak tepat lagi disebut sebagai kanker, melainkan telah masuk pada level AIDS. Ia menular akibat perselingkuhan liar kekuasaan. Kalau kanker masih bisa disembuhkan (mulai dari kanker hati sampai otak), AIDS belum ketemu obatnya, kecuali hukuman eutanasia bagi penderitanya.

Dalam beberapa kasus, sebagaimana diungkap oleh seorang warga negara Indonesia yang sudah 30 tahun tinggal di Jerman kepada penulis, Indonesia bukan hanya korban dari imperealisme teritorial, ekonomi dan budaya, malah telah masuk zona imperealisme korupsi, menyangkut sejumlah perjanjian internasional yang merugikan Indonesia karena mark up, dan lain-lainnya. Keberadaan seorang petinggi lembaga asing yang dulu bernegosiasi dengan Indonesia, lantas kini menjadi konsultan sebuah perusahaan multi nasional yang berbasis di Indonesia, malah juga ditanyakan oleh orang ini, mengingat tidak sesuai dengan etika dan nilai-nilai masyarakat negara asalnya. Sebab orang itu tentu tahu banyak informasi tentang Indonesia, sejumlah dokumen perjanjian yang sudah ditanda-tangani, atau mempunyai jaringan koneksi di pemerintahan.

***

Bangkitnya RMS dapat dipandang sebagai sikap paling keras dan radikal dari elemen-elemen masyarakat Maluku atas pola manajemen pemerintahan. Maluku telah semakin identik sebagai "Republik Malu Aku" -- mengambil sebagian judul puisi Taufik Ismail, "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia". Kata "republik" disini tentu terhubung dengan adanya satu wilayah yang mempunyai masalah sendiri, yang sulit untuk ditanggulangi pemerintah yang berwenang. "Republik Malu Aku" adalah simbol dari the lost country yang ada dalam wilayah Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Pemerintah sendiri, lewat Wapres Hamzah Haz, menempatkan separatisme sebagai gerakan yang harus ditumpas (Kompas Cyber Media, 26-04-2002).

 Alasannya, merusak cita-cita kemerdekaan berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan separatisme, sikap keras ini tentu dengan mengedepankan hak-hak asasi manusia, dan hak warga negara dalam bingkai demokrasi. Tetapi ada satu persoalan dengan konsep Negara Kesatuan. Konsep ini sudah banyak mendapatkan kritikan, termasuk dengan wacana negara federal. Bagi sejarawan kritis seperti Anhar Gonggong, konsep Kesatuan ini cenderung ditolak. Sebab sejak awal Indonesia disebut sebagai negara persatuan, dan bukan negara kesatuan. Butir ketiga Pancasila juga tegas-tegas menyatakan Persatuan Indonesia.

Dimensi "kesatuan" atau "persatuan" ini saja demikian luasnya. Perdebatannya akan sangat panjang, terhubung dengan konsep negara integralistik, atau model beamtenstaat negara Orde Baru, atau lari kemasa lebih jauh di belakang: negara agraris atau pesisir (Majapahit/Mataram atau Sriwijaya). Dengan persatuan, negara tak bersifat tunggal menerjemahkan aspirasi warga negara. Persatuan mensyaratkan adanya persamaan hak di antara kelompok-kelompok yang diajak bersatu. Artinya masih ada ruang kebebasan yang tetap dimiliki, sekalipun sebagiannya diserahkan berupa social contract yang terumuskan lewat konstitusi negara dan konvensi bernegara.

Apabila model Negara Kesatuan terus dikedepankan, akan mudah terjebak kepada negara diktator. Padahal, dalam sistem kepartaian sekarang, aspirasi antar partai saja begitu berbeda, bahkan aspirasi didalam partai. Tidak mungkin ada satu partai tunggal. Karena model penunggalan inilah yang membuat rezim Orde Baru begitu kuatnya, berupa pengakuan hanya ada satu organisasi buruh, wartawan, petani, nelayan, dan lain-lainnya, dengan ideologi tunggal Pancasila.

Makanya, empati harus diberikan kepada apapun bentuk perbedaan yang muncul. Jangan sampai, negara persatuan berubah menjadi negara persatean, dimana negara menusuk setiap perbedaan aspirasi, lalu menjadikannya sebagai "makanan" penyelenggara negara. Kita tentu menunggu, agar model "Republik Malu Aku" tertangani, dengan melibatkan elemen-elemen yang berseberangan pendapat di Indonesia untuk menyikapinya. Jalan kekerasan tentu merupakan jalan terakhir. Apalagi Indonesia menghadapi berbagai bentuk masalah yang membutuhkan penanganan, antara lain memberi kelayakan minimal kepada warga negara untuk hidup, baik pangan, papan dan sandang. Kewajiban penyelenggara negaralah memenuhi kebutuhan itu, mengingat penyelenggara negara sudah diberi hak untuk memanfaatkan kekayaan alam demi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk, dan bukan pemimpin. Sebab kasus "Republik Malu Aku" bukan hanya terjadi di Maluku, tetapi juga di berbagai penjuru Indonesia lainnya. Jakarta @ 2002.

Kompas, 20 Agustus 2002

Negarawan Rakyat, Rakyat Negarawan

Sidang Tahunan (ST) MPR 2002 minim sekali melibatkan rakyat. Hanya 125 lembaga negara, pemerintah, dan organisasi yang menyampaikan masukan pada PAH I MPR untuk mengamandemen UUD 1945. Aspirasi perorangan dan lembaga lain hanya 127 pucuk surat. 

Kemana partisipasi 206 Juta rakyat? 

Padahal setiap helaan kalimat anggota MPR mendentumkan kata rakyat. Gagalnya pembentukan Komisi Konstitusi (KK) Independen lewat Pasal 37, Aturan Peralihan, atau Aturan Tambahan, dan hanya lewat Tap MPR No. I/MPR/2002, menunjukkan MPR sepakat menyandera penentuan nasib bangsa dan negara dalam genggamannya. Rendahnya partisipasi publik atas amandemen UUD 1945 menunjukkan bahwa lemahnya legitimasi MPR dalam artian metodologi dan prosedur amandemen konstitusi. Ditambah kurangnya aksi demonstrasi selama ST ini, kian menjauhkan MPR dari hati publik. Telah terjadi semacam mosi tidak percaya masyarakat atas apapun yang berlangsung di Senayan. 

Dengan keadaan itu, masihkah MPR percaya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara dan rakyat yang berguna memberi stimulus hidupnya dinamika demokrasi?

Sekalipun UUD memberi angin segar atas tatanan ketatanegaraan baru, terasa sekali dinginnya proses politik di MPR. Terdapat sejumlah perubahan UUD 1945 yang sangat penting: (1) Pemilihan presiden secara langsung; (2) Keluarnya TNI/Polri dari DPR/MPR tahun 2004; (3) Hapusnya Fraksi Utusan Golongan dari MPR; (4) Dianutnya sistem bikameral (DPR dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD); dan (5) Dibubarkannya Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Nasib Fraksi Utusan Daerah (FUD) tak begitu diperhatikan, karena terakomodir lewat DPD yang dipilih dalam Pemilu. Padahal DPD berbeda dengan FUD. Tetapi, keputusan mengejutkan untuk tak mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Pasal 37 ayat (5) adalah bentuk konservatifisme baru MPR, juga taruhan besar atas keluarnya Fraksi TNI/Polri dari DPR/MPR. 

Kompas (12/08/2002) mengatakan: "(MPR) ...agar secara cerdas dan cekatan menangkap dan mengerti pula konsekuensi serta implikasi dari perubahan-perubahan itu. Misalnya, apa implikasi paham yang tetap Negara Kesatuan, tetapi kini juga akan diwujudkan dalam lembaga MPR yang bikameral."

Bikameralisme dalam Negara Kesatuan adalah terobosan dan variasi baru dari perkembangan teori dan defenisi hukum tata negara dan ilmu politik "khas" Indonesia. Ataukah memang Indonesia tak menganut bikameralisme, sebagaimana lazimnya di negara-negara federal? 

Dari sisi ini saja, MPR jauh telah melampaui batas kewenangannya, melebihi yang dilakukan oleh the founding fathers and mothers, juga menutup alam pikiran generasi mendatang. Fondasi ketatanegaraan seperti ini saja akan membuka perdebatan baru, terlebih MPR tak menyiapkan naskah akademisnya. 

MPR tak memperhatikan Penjelasan UUD 1945: "Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin". 

Begitupun dengan penyembelihan dasar-dasar demokrasi ekonomi yang digagas oleh Muhammad Hatta dalam perubahan Pasal 33 UUD 1945, tepat satu hari menjelang satu abad Bung Hatta. Inikah kado ulang tahun MPR untuk Bung Hatta?

***

MPR telah menjadi algojo berdarah dingin untuk membunuh masa lalu dan mengebiri masa depan. Prestasi dan "lompatan besar" ketatanegaraan yang dilakukan MPR menjadi kehilangan akar ketulusan nurani. Friksi dan aksi diluar gedung MPR/DPR seakan menutupi keputusan final dalam PAH I dan Komisi A MPR. Terlepas dari tugas konstitusionalnya, MPR melakukan satu patahan sejarah lagi. Sejarah sebagai spirit, the idea of the human imagine of the world, dan the process to be and not to be as human being, ditelikung tanpa memberi kesempatan kepada masyarakat luas sebagai makhluk sejarah untuk menyumbangkan gagasan, mimpi dan imajinasinya. Ketika sejarah dipatahkan oleh rezim demi rezim, sehingga menggeleparkan nyawa dan membuncahkan darah atas dasar elastisitas pemahaman dan interpretasi konstitusi, MPR kini mengulanginya. Keduanya mempunyai implikasi serius, berupa pengingkaran atas perubahan di masa datang. Atas nama hak, MPR mengubah banyak hal. Sebaliknya, juga atas nama hak, MPR membungkam kemungkinan perubahan nanti.

MPR lupa membaca Penjelasan UUD 1945: "Kita harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu, janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang mudah berubah. (...) Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan, dinamis." 

Progresifitas ST MPR 2002 tercederai atas patokan bentuk NKRI, tanpa penjelasan memadai. Bentuk final negara akan mematikan dinamika, juga semangat hidup, dari perubahan pikiran yang mungkin terjadi di kalangan generasi mendatang. Hak sejarah itulah yang direnggut MPR. Apabila terjemahan Pasal 37 ayat (5) UUD terjadi sembarangan, lewat peraturan perundangan lainnya, yang kembali hadir adalah negara yang sangat otoriter. Negara akan membatasi banyak sekali publikasi, diskusi, juga pemikiran ilmiah yang berkembang dan berproses, baik di kampus, ilmuan, juga masyarakat. Katakanlah diskusi bentuk negara federal, juga semangat desentrasisasi dan devolusi skala luas untuk menghambat sentralisasi yang mudah jatuh kepada otoritarianisme, bahkan totalitarianisme.

Apakah diskusi negara federal akan dibubarkan, juga publikasi ilmiah akan dihanguskan? 

Federalisme memang bukan jaminan bagi kedamaian, atau harapan yang lainnya. Federalisme, sebagaimana unitarianisme, hanya alat mencapai negara kesejahteraan (welfare state) dengan cara memilah-milahnya berdasarkan kebutuhan masyarakat majemuk dan plural. Nancy Bermeo menulis bahwa tidak pernah terdapat keberhasilan kekerasan gerakan separatis didalam negara demokrasi federal (Journal of Democracy: April 2002, 108).  Militer jarang menembaki warga negaranya, termasuk dalam Negara Federal Uni Sovyet sebelum bubar tahun 1989. Sovyet memang akhirnya pecah, terutama menjadi negara-negara muslim, mengingat Sovyet memiliki lebih dari 50 Juta warga muslim (Galia Colan:1990, 197). Tetapi negara-negara Asia Tengah itu bergabung dengan Uni Sovyet adalah akibat ekspansi dan kolonialisasi. Setelah pecah, negara-negara itu tenggelam dalam bentuk baru kediktatoran (FEER, 9 Mei 2002). Sebaliknya yang terjadi di negara-negara unitarian (kesatuan), dengan masifnya tingkat kekerasan aparatur negara atas rakyatnya sendiri.

***

Pembentukan KK versi MPR juga tak memberi ruang kepada rakyat untuk menjadi negarawan. Kecuali KK bekerja secara partisipatoris, transparan, dan melibatkan setiap orang dewasa yang punya hak suara dalam Pemilu untuk beraspirasi. Elitisisme amandemen UUD 1945, hendaknya tak terulang. Rakyat harus diberikan hak-haknya untuk turut menentukan hitam-putihnya negara ini. Bukan hanya kewajiban untuk membayar pajak, dan membiarkan tanah dan airnya digunakan oleh negara. Apabila elite politik tetap minta dihargai oleh rakyat, penghargaan yang lebih tinggi patut juga diberikan kepada rakyat. Salah satunya dengan melibatkan rakyat dalam proses amandemen konstitusi berikutnya, dengan cara dan saluran yang bervariasi. Idealnya semangat perubahan konstitusi adalah gelombang baru untuk menggerakkan energi positif dalam kalbu dan jiwa rakyat. Dari sinilah, patut disusun struktur organisasi, jaringan, informasi, komunikasi, juga sarana dan prasarana lain untuk mendapatkan spirit rakyat, termasuk lewat KK yang dibuat BP MPR.

Sudah saatnya rakyat disapa tentang apa yang ada dalam hati-nurani mereka, mulai dari yang tinggal di pulau-pulau terpencil, lembah-lembah dalam, juga pegunungan tinggi, bahkan korban penggusuran, konflik sosial dan pengungsi. Begitupun rakyat yang hidup dalam masyarakat dan wacana global dan kosmopolitan, yaitu ratusan ribu yang bekerja dan belajar di berbagai sekolah dan kampus di luar negeri. Mereka di internet sudah mendiskusikan UUD ideal berbulan-bulan, tapi tak ada saluran ke MPR. Andaipun konstitusi baru yang dihasilkan tidak seideal pendapat "kalangan pakar" juga "elite politik", setidaknya satu syarat telah terpenuhi: tangan kekuasaan bersalaman, bergenggaman dan bergandengan dengan tangan rakyat. Rakyat tak lagi dianggap sebagai pengikut, melainkan sebenar-benarnya negarawan. 

Siapkah (ego) kita? @2002

Kompas, 11 September 2002

Lahirnya Jakarta, Rahimnya Indonesia

Tanggal 11 September 2002 ini lebih dari 8,5 Juta warga Jakarta akan diberikan Gubernur periode 2002-2007 oleh DPRD DKI. Untuk jabatan sepenting itu, warga Jakarta belum punya hak memilih secara langsung. Bisa jadi Gubernur baru yang lebih segar atau Gubernur lama, Sutiyoso (1997-2002), yang dipilih tempat si Mandra mau lapor. Sebagai barometer 29 provinsi lain, pemilihan kali ini mengandung benih "misteri" dan kompleksitas masalah. Peran Jakarta sebagai the eye's Indonesia, seperti Konstantinopel sebagai the eye's the world, sangat dipertaruhkan. D-Day nanti akan menjadi parameter dominasi politik lokal yang memberi resonansi bagi temperatur politik nasional.

Idealnya Gubernur DKI sanggup meniti buih multi intervensi pelbagai elemen: komunitas politik, bisnis dan punya keberpihakan kepada citizen. Gubernur juga berguna membangun jembatan emas antara penyelenggara negara dengan warga. Apakah sistem dan mekanisme demokrasi yang menjadi bidannya, bisa memicu kelahiran kembali (rebirth) Jakarta, sebagai fajar harapan mulai keesokan harinya, atau hanya memutar sistem birokrasi, autokrasi atau gambar-gambar tua kekuasaan (rewind) bagai kaset kusut yang terus diputar yang bisa merusak seluruh sistem? Yang pasti proses kelahiran bayi demokrasi menyakitkan menurut Sindhunata.

Sebagai kota "kosmopolitan", dalam berproses menjadi kota (urbanisasi), Jakarta terlihat letih. Jakarta menjadi kanvas gagalnya pembangunan dalam radius 650 km persegi. Jakarta tak lebih dari kumpulan kampung, ketimbang kumpulan kota (Ayatrohaedi, "Kota di Dalam Kota", Kompas, 24/08/02). Untuk mengetahui, memahami, dan menditeksi sejauhmana bangsa dan manusia Indonesia sanggup mendefenisikan peran manusia dalam pembangunan cukup melongok Jakarta.

Fluktuasi angka dan grafik yang berderet tentang "indeks kemajuan" langsung bisa dilihat secara kasat mata, begitupun "indeks kemunduran". Kawasan Jakarta Selatan, misalnya, menjadi simbol kemakmuran. Tetapi banyak kawasan Jakarta bopeng, semrawut, serakah, berantakan, amburadul, atau kebablasan, menurut bahasa kalangan politisi. Rentang abad terhampar, bila dibandingkan kawasan Glodok, Sunda Kelapa, sampai batas Harmoni, dengan penjuru lain. 

Abdoel Moeis, dalam novel Robert Anak Suropati, memperlihatkan segi eksotik turun berperahu di Sungai Ciliwung, depan Istana Negara dan Pasar Baru, bagi bangsawan Belanda dalam bulan Purnama. Novel Ca Bau Kan Remy Silado juga membawa pikiran pada kawasan "merah" Kalijodo. Dalam dmensi ruang dan waktu itu, berbagai kebudayaan tumbuh atau mati.

Itulah sebabnya menurut Nurcholis Madjid, jika segi kemelayuan merupakan intinya, plus kehidupan urban dan modern dan kosmopolitanisme, maka bibit embrionik keiindonesiaan modern ialah pola budaya Jakarta, sebut saja 'Kejakartaan', sebagaimana pernah dikatakan Bung Karno. Setelah Jakarta, Medan adalah kota kedua yang paling mendekati gambaran hakekat keiindonesia, bukan Yogya (Republika, 9 Agustus 1999).

Dalam perkembangan berikutnya, Jakarta dipenuhi beragam penyakit sosial di tingkat masyarakat dan elite. Hampir seluruh denyut sejarah Indonesia berlangsung dalam radius puluhan kilometer, seputar Istana dan Senayan di Jakarta, dan paling jauh Istana Bogor dalam Peristiwa Supersemar 1965. Selain Jakarta, Yogyakarta dan Bukittinggi pernah tercatat sebagai ibukota darurat, serta rencananya New Delhi, India, sebagai ibukota di pengasingan. Sejarah panjang Indonesia, terutama siklus perubahannya, adalah sejarah ringkas Jakarta. Sejarah rombeng nasional adalah titik simpul jahitan sejarah lokal Jakarta.

***

Penderitaan Indonesia, tak terlepas dari sentralisasi Jakarta dalam berbagai segi: ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan militer dan pendidikan. Ironisnya Jakarta juga begitu timpang dalam berbagai bidang. Rata-rata penduduk Jakarta terdidik, baik lewat pendidikan formal dan informal di daerah asal, atau di Jakarta, serta lebih-lebih di luar negeri. Kaum intelektual seperti terasi, berdempet-dempet, berderet-deret, memburu dollar, rupiah, hiburan, dinamika hidup, juga batas-batas idealisme. Uang yang diperoleh siang hari, bisa langsung tandas malam hari, dibawah remang-remang lampu warna-warni.

Jutaan rupiah bisa berpindah tangan dalam sekejap di jalanan berbentuk sogokan, perampokan, pembunuhan, transaksi narkoba dan sex, atau harga yang harus dibayar karena jalanan macet berjam-jam yang menunda banyak sekali pekerjaan. Rata-rata penghasilan seorang pengamen Rp. 15-30 Ribu per hari, kalikan dengan jumlah pengamen seluruhnya. Juga penghasilan pedagang asongan, pembaca puisi, bekas narapidana dan korban narkotika yang ingin tobat, bahkan yang dikatakan untuk biaya pembangunan tempat-tempat peribadatan, anak yatim, pesantren, serta biaya pengobatan teman/famili yang dikeroyok preman, dan dana untuk korban banjir, pengungsi dan bencana lainnya yang dipungut di jalanan atau penipuan lewat rekening.

Untung, dalam penghujung abad 20, kebijakan desentralisasi ditempuh. Sebagaimana bandar Jayakarta yang dibangun lebih dari empat abad, butuh minimal seabad lagi melihat bagaimana daerah dibangun, dengan dukungan kecepatan teknologi dan industri. Apakah Jakarta akan hadir di daerah, menjadi penjara? Dengan desentralisasi, Jakarta kembali menjadi daerah, dengan prediket Khusus Ibukota.

***

Persoalannya, apa kontribusi pemilihan Gubernur riwayat Jakarta dalam satu abad mendatang? 

Lagi-lagi, kembali kepada niat tulus desentralisasi, dalam beragam aspek, termasuk politik. "Misteri" tak berjawab atas dukungan pimpinan negara dan pemerintah kepada salah satu calon gubernur (Cagub) patut direnungi. 

Apakah desentralisasi partai-partai politik, seperti didambakan Muhammad Hatta 70 tahun silam, sudah berjalan?

 Begitupun, apakah Cagub lain bisa mengambil jarak atas apa yang terjadi di tingkat negara dan pemerintah, agar keberagaman sebagai ciri khas Jakarta tetap jadi suri tauladan? 

Bisakah gubernur terpilih tak memberikan konsesi apapun nanti kepada pemilihnya, apabila kembali terulang the battle of political elites yang jarang mengenal santun itu?

Manusia adalah pembuat sejarah. Sejarah Jakarta akan ditentukan oleh 80 anggota DPRD, 14 orang Cagub dan Wakil Gubernur (Wagub), dengan metode tulis nama, coblos angka atau tanda silang yang mengundang sengketa. Padahal paparan pasangan Cagub dan Wagub jauh lebih pantas dijadikan analisa. Begitupun visi besar Jakarta juga tak bisa digantungkan pada satu atau dua orang.

Individualisme warga Jakarta yang diidentikkan sebagai ciri modernitas, nyatanya tak terbukti secara empirik. Kolektivisme kuat dan subur, entah atas nama etnis, partai, tokoh, bahkan pengelompokan sipil-militer. 

Faktor budaya etnis juga berjenis, misalnya opera Batak Tilhang Serindo bagi masyarakat Batak Toba di Jakarta yang sanggup memelihara habatahon (kebatakan) selama lebih dari 20 tahun (Krismus Purba: Juni 2002). Pengamanan pemilu, misalnya,  sangat tergantung pada kolektivisme warga, bukan semata-mata pemerintah. Damainya Pemilu 1999 adalah prestasi kolektif, bukan perorangan.

Begitu banyak tokoh, sedikit sekali kontribusinya pada kemajuan Jakarta. Semakin tipis cadangan pemimpin baru yang berani tampil kedepan. Ataukah sistem politik membuat birokrat lama terus bertahan dalam bingkai demokrasi? Jangan-jangan, demokrasi telah jadi bangkai dan membusuk, sehingga dihindari oleh orang-orang baik yang berpolitik demi kehidupan. Dalam tragedi banjir, negara lenyap. Yang kental kebersamaan warga. Lautan kepedulian warga dan balutan kepedihannya menenggelamkan peran negara. Jakarta, nyatanya, terbukti kian alergi terhadap kepedulian yang berdasar kekuasaan an sic, apalagi yang bersifat simbolis dan feodalis.

Padahal warga mendamba keamanan, pemerataan kesejahteraan ekonomi, mobilitas sosial dan dinamika budaya. Warga punya harga diri untuk tidak mengemis kepada penguasa, kecuali syair satire Iwan Fals: "Penguasa, berilah hamba uang!" Ketergantungan kepada kekuasaan otomatis mencipta jarak sosial yang mengeras jadi kesenjangan: ekonomi, sosial dan politik. Sekecil apapun pengaruh ledakan sosial di Jakarta, terdengar seperti gempa di daerah-daerah. Titik episentrum politik di Jakarta secara tiba-tiba menularkan magma beracun dan lahar panas, seperti yang mengalir dibawah kota New York dalam film Volcano.

Pemilihan Gubernur dan Wagub baru, dalam tanggal "keramat" dan "kiamat" 11 September ini, bisa diartikan dua. Pertama, perhatian atas aspirasi warga akan membangun kemenangan kecil demokrasi. Kedua, kalau hanya demi sesuatu yang tak terhubung dengan kepentingan warga, tak lebih dari reproduksi tragedi 11 September 2001 Amerika di bidang politik. Haluan politik warga Jakarta dibajak, demi kepentingan terorisme politik itu sendiri. Sebab hukum besi aksi-reaksi belum berubah, hanya variasinya bergeser dari bersifat quantum, lembam, atau naik-turun.

Hasil akhir pemilihan Gubernur dan Wagub DKI, akan memunculkan hukum aksi-reaksi itu: keras atau lunak. Dan bukan tak mungkin berupa civil disobedience, seperti himbauan kaum demonstran dari entrepreneur dan profesional tempo hari. Ketika aspirasi publik dimenangkan untuk menjadi kekuatan pilar-pilar budaya demokrasi, Jakarta turut berperan sebagai rahimnya Indonesia. @2002

Kompas, 24 April 2002

Injury Time Untuk Sipil

Majalah Far Eastern Economic Review (FEER), yang kebanyakan isinya mengenai Indonesia bukan menyangkut soal ekonomi, dalam edisi terbarunya (25 April 2002) menulis judul: INDONESIA: An About-Turn on the Military". FEER langsung menghubungkannya dengan kepentingan Pemilu 2004. Menurut sejumlah kalangan civil society, macetnya rencana amandemen konstitusi juga terhubung dengan sikap militer, sekalipun Fraksi TNI/Polri sudah sangat jelas sikapnya untuk mendukung amandemen. Makanya kuatnya kepentingan politik sipil untuk memasukkan militer kembali dalam spektrum kekuatan politik, mengarahkan kita pada situasi yang sebenarnya tentang betapa lemahnya sipil.

Keadaan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sipil diambang kekalahan, dibanding militer. Benarkah sipil belum siap memimpin bangsa dan negara besar ini, sebagaimana pernah diungkap Prof. Juwono Soedarsono? Sebab struktur kepemimpinan, kaderisasi, jenjang karier, juga "platform" TNI jauh lebih profesional, ketimbang organisasi sipil. Apalagi militer sekarang makin banyak yang menguasai "ilmu" sipil baik lewat pendidikan di Sesko TNI atau Lemhannas, maupun lewat kedisiplinan untuk belajar di lembaga-lembaga sipil, terutama dalam tugas kekaryaan di eksekutif dan legislatif. Kedisiplinan juga ditunjukkan dengan tingkat kehadiran, penguasaan masalah, juga aktifitas dalam persidangan DPR.

Keadaan itu makin terbukti dengan kegagalan kepemimpinan sipil. Asia Times (07/03), dengan mengambil Abdurahman Wahid sebagai batu pijakan pertama peralihan kepemimpinan militer kepada kalangan sipil, menyebutnya sebagai " ... The military then allowed Wahid to win his first battle in what was a test of whether the civilian government could gain authority over the military establishment."   

Apakah memang militer harus kembali menjadi pilihan kepemimpinan nasional, tentu tergantung dari sejumlah parameter. Situasi geopolitik internasional yang gencar membasmi kelompok teroris, tak terlalu hirau dengan perbedaan "sipil atau militer" dalam menjamin stabilitas politik suatu kawasan. Sekalipun lembaga survey seperti Freedom House masih tetap menjadi acuan untuk mengukur kadar demokrasi suatu negara, tetap saja kepentingan pragmatis untuk menjamin investasi dan laju pertumbuhan ekonomi dunia menjadi pilihan. Tentu hal ini tak bisa dipisahkan dari semakin tak populernya persoalan kesenjangan Utara-Selatan, kesenjangan Timur-Barat, bahkan pengelompokan ideologis Sosialis-Liberal yang menjadi ikon kerjasama antar negara dalam abad 20.

Kegagalan sipil tak bisa lepas dari prakondisi lahirnya kepemimpinan sipil. Beralihnya kepemimpinan militer ketangan sipil pasca Soeharto lebih merupakan historical disaster, ketimbang usaha serius menumbuh-kembangkan kepemimpinan sipil oleh masyarakat sipil (lebih luas: civil society) sendiri.  Pemicu utamanya berangkat dari pandangan sipil yang melihat peralihan kepemimpinan sebagai persoalan simbolis, ketimbang organis. Hal itu ditandai dengan jabatan presiden atau Menteri Pertahanan oleh sipil. Kalaupun kebijakan atau school of thought kalangan sipil itu tetap militeristik, sepertinya bukan persoalan.

***

Belajar dari pengalaman Uni Sovyet, ternyata bubarnya Sovyet lebih disebabkan oleh pasifnya kalangan militer dalam menanggapi glasnost dan perestroika-nya Gorbachev. Militer juga tidak mempunyai cukup dana untuk menyatukan angkatan perangnya. Hubungan sipil-militer relatif buruk dalam menanggulangi persoalan dalam negeri, yang berbanding terbalik dengan kekompakan mereka ketika menghadapi perang dingin melawan Amerika. Ketika militer kembali aktif, misalnya dalam kasus Chechnya, upaya-upaya damai di meja perundingan yang dirintis kalangan politisi sipil justru ditentang oleh kalangan militer (Michael C. Desch: 2000, hal 38).

Di Indonesia, dukungan militer atas perjanjian Malino I (Poso) dan Malino II (Maluku) dapat dilihat sebagai langkah serius militer untuk menjadi state guardian sekaligus back-up bagi  kalangan sipil yang memprakarsainya. Sebaliknya dukungan sipil atas kebijakan militer juga nyaris tanpa reserve, antara lain dalam pembentukan Kodam Iskandar Muda di Aceh. Tapi hubungan simbiosis mutualisma ini belum menyentuh level grassroot, sehingga yang terjadi lebih pada kompromi elite sipil dengan elite militer.

Politisi sipil juga kurang punya inisiatif membangun masa depan berbasiskan civil supremacy.  FEER menulis: "Civilian supremacy in Indonesia has always depended on progress toward establishing a strong civil society. But since Suharto fell, lawlessness, political infighting and widening corruption has pushed reform into the background. Indeed, the absence of fully fledged civilian institutions, including a credible justice system and a representative party structure, is the reason why politicians feel compelled to drag the military back into its historic power-broking role."

Keadaan ini ditambah dengan hubungan sipil-militer yang semakin buruk akibat gencarnya kampanye pengungkapan kejahatan HAM yang dilakukan oleh unsur masa lalu militer, tanpa diikuti dengan penyelesaian lebih kurang 10 UU menyangkut militer. Institusi sipil, seperti DPR -- dengan asumsi Fraksi TNI/Polri hanya bertahan sampai 2004 -- juga tak tegas, bahkan cenderung tak punya kepercayaan diri untuk menggunakan momentum perubahan ini memperbaiki dirinya sendiri. Adanya politisi dadakan yang kurang dikenal buah pikirannya, selain hanya statement-statement politik base on isu-isu temporal, dan bukan platform visioner jangka panjang, semakin memperlihatkan bergelayutannya cacing-cacing politik yang membuat wajah sipil kian pucat-pasi. 

Sebaliknya militer seakan sudah sampai pada kesimpulan bahwa civil supremacy berarti menempatkan militer sebagai warga negara kelas dua, dan bukan hubungan yang berdasarkan kesetaraan berdasarkan profesionalisme, atau hubungan yang bersifat kelembagaan dalam institusi demokrasi. Minimnya proses dialog untuk menjembatani perbedaan ini, ditambah dengan situasi yang mengarah kepada darurat ekonomi, memunculkan letupan kasus-kasus yang mestinya bermuara di pengadilan seperti pemanggilan para jenderal oleh KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Keniscayaan sejarah bagi militer untuk membersihkan dirinya dari  pilihan masa lalu sebagai bagian kekuatan politik, semakin pudar.

***

Lack of communication ini mestinya dipecahkan, antara lain dengan membenahi kelembagaan politik sipil. Pembenahan itu bagian awal dari konsolidasi demokrasi untuk memberi peluang sama kepada semua pihak berpartisipasi dalam mengatur negara ini, terutama di level eksekutif dan legislatif. Tertatanya institusi politik, sehingga tidak lagi menjadi salah satu sumber konflik yang menularkan the circle of violence ketengah-tengah masyarakat, adalah prasyarat penting konsolidasi demokrasi. Saling intervensi, bahkan konflik sipil-militer, dengan sendirinya berlangsung dalam katup penyelamat yang jelas, kredibel, dan dapat diukur dan diantisipasi.

Untuk itu perlu perubahan UU Politik agar sosialisasinya berjalan sempurna. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tinggal mengaplikasikannya dalam menyiapkan infrastruktur organisasi penyelenggaraan Pemilu 2004. Siapapun yang terpilih nanti tidak akan lagi dianggap sebagai historical disaster, karena semuanya berlangsung by design and by political management yang transparan dan konstitusional. Pemilu 2004 dapat disebut sebagai taruhan terakhir kepemimpinan sipil, mengingat reformasi sudah berjalan empat tahun, dan belum jelas berakhir kapan dengan sederetan kekecewaan, konflik, dan luka-luka baru yang menyengsarakan rakyat miskin. Belum lagi pola serangan atas komponen sipil, seperti yang terjadi atas Urban Poor Consorcium (UPC) Kamis (28/03) ini di halaman Komnas HAM yang tak disikapi oleh pemimpin-pemimpin sipil dan militer.

Organisasi politik sipil juga perlu memaksimalkan kaderisasi. Sudah saatnya partai-partai politik berpikir untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin sipil yang punya pemahaman yang lebih terbuka, modern, dan multi-kultural tentang Indonesia. Karakter kepemimpinan oligarkis, karismatis, tradisional, ortodoks atau konserfatif sebaiknya makin dikurangi. Dominannya kepemimpinan jenis ini justru mempersulit komunikasi politik elite akibat luka-luka masa lalu yang seringkali bersifat personal.

Bukan berarti kepemimpinan ortodoks ini harus dilenyapkan, mengingat bangunan dan pilar-pilar kebangsaan Indonesia merupakan pekerjaan sambung-menyambung dan jalin-menjalin antar generasi. Perubahan itu perlu dilakukan bertahap, dimulai dari kepemimpinan nasional, atau kepemimpinan partai-partai politik di aras nasional. Sedangkan di tingkat lokal, perubahan itu dilakukan pada level masyarakat perkotaan/kota (dulu kotamadya), dan mensinergikannya dengan local genius di aras pedesaa. Proses genetika politik yang mendekati lumrah dan alamiah, merupakan bagian dari regenerasi politik yang wajar.

Kebutuhan untuk mengintensifkan dialog antar generasi di tubuh partai politik kian mendesak. Bukan hanya dalam tubuh partai-partai politik, melainkan juga antar partai politik, bahkan antar generasi muda partai politik dengan generasi muda di kalangan civil society (pers, perguruan tinggi, Non Government Organization, institusi lokal, juga institusi keagamaan). Jangan sampai partai politik kehilangan pesonanya ditengah "revolusi kebudayaan" yang kini pelan-pelan menyusup di kalangan anak-anak muda kosmopolitan. Pesan penting sudah dipertontonkan oleh sineas muda perfilman dan novelis Indonesia, lewat "Petualangan Sherina", "Jelangkung", "Ada Apa dengan Cinta?", sampai "Saman", "Supernova" dan "Larung" yang oleh sebagian pihak dinamakan sebagai "revolusi harapan"?  Tidakkah kalangan pemimpin politik kita menangkap pesan itu, akibat kesibukan untuk kepentingan masing-masing?

 Jakarta @ 2002.

Indra J. Piliang, peneliti Canter for Strategic and International Studies. 

Kompas, 9 Agustus 2002

Demokrasi dan Nasionalisme Hatta 

Antara Menang dan Kerbau

Indra J Piliang

MOHAMMAD HATTA tanggal 11 Juni 1957 menegaskan, "Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.... Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib." (Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik, LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505. Bandingkan, Mohammad Hatta, Bung Hatta Berpidato Bung Hatta Menulis, Penerbit Mutiara, Jakarta, 1979, halaman 73-93)

Barangkali, dari beragam sumbangan pemikiran, perilaku, tindakan, dan capaian kehidupan Hatta, yang terus akan berkembang dan bermasalah menyangkut demokrasi dan nasionalisme di Indonesia. Rujukan Hatta tentang demokrasi juga beragam, mulai dari alam pikiran Yunani, sampai alam pedesaan Indonesia. Atas dasar demokrasi dan nasionalisme, Perhimpunan Indonesia (PI) menerbitkan buletin paling terkenal di Belanda, Indonesia Merdeka, yang menyebabkan Hatta dan kawan-kawan diadili yang, uniknya, justru tak dibela kalangan komunis Belanda yang getol berbicara tentang kolonialisme (MR JEW Duijs, Membela Mahasiswa Indonesia Di Depan Pengadilan Belanda, PT Gunung Agung, Jakarta, 1985, halaman 3), sebagaimana dukungan yang diterima oleh Ibrahim Tan Malaka ketika ditangkap dan dibuang ke Belanda, lalu menetap di Moskwa, Uni Soviet. (Harry A Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (I), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1988, halaman 263)

Di bidang ekonomi, Hatta tak lupa mencantumkan demokrasi ekonomi, lalu menemukan bentuk ideal koperasi berdasarkan ritual perjalanannya di negara-negara Skandinavia dan akarnya dalam masyarakat desa. Begitupun dalam sosialisme, ia tak lupa mencantumkan sosialisme demokrasi. Tanpa demokrasi, sosialisme akan kehilangan arah, dukungan, dan tujuan. Dari keseluruhan bangunan pikiran itu, Hatta dengan tegas menyebutkan agama yang ia anut, Islam, sebagai fundamen. Ia menjadikan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai roh atau landasan tauhid sila-sila berikutnya. Ini juga sesuai dengan falsafah utama alam Minangkabau, adat basandi syara' (agama, syariat), dan syara' basandi Kitabullah (Al Quran).

Demi penghormatan atas demokrasi, Hatta mundur dari pemerintahan, mengubah dwitunggal menjadi dwitanggal, di alam kemerdekaan. Sekalipun para pendukungnya meradang, lalu meletuskan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berbasis di kampung kelahirannya, yang didominasi oleh panglima militer di Sumatera dan Sulawesi, juga Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi, Hatta menolak bergabung. Sebaliknya, ia mengecam kekerasan militer dalam memadamkan pembangkangan itu. Hatta menulis risalah kecil bernama "Demokrasi Kita" (DK).

"Apa yang terjadi sekarang ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, (yang) lambat laun digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia! (Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting), Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran, UI Press, Jakarta, 1992, halaman 112)

Ketika Hatta mengecam Bung Karno yang tidak mendorong proses demokratisasi, ia tidak mengalami tindakan fisik, berupa penahanan. Padahal, Sutan Sjahrir, Muhammad Natsir, Ida Anak Agung Gde Agung, dan tokoh Masyumi dan PSI lainnya masuk penjara. Soekarno hanya menyindir Hatta, berdasarkan bisikan orang-orang di sekelilingnya.

Hatta juga tak memilih kawan bergaul, saking demokratis dan egaliternya. Ia "tersandung" dalam kasus Sawito yang sebetulnya kasus biasa, tetapi menjadi luar biasa ketika tokoh-tokoh seperti Hatta, Buya Hamka, Kardinal Justinus Darmojuwono, dan TB Simatupang ikut menandatangani dokumen yang dijadikan oleh Soeharto untuk menyatakan konspirasi politik penggulingannya. Padahal, usia Hatta sudah 74 tahun bahkan ia harus memakai kaca pembesar untuk membaca. (Tempo, 2 Oktober 1976)

Sikap Hatta yang 'kurang teliti' itu mendapat perlakuan buruk. Ia dipaksa menandatangani konsep surat yang bukan ditulisnya sendiri, sehingga tidak menggambarkan kekhasan bahasanya. Ia "diinterogasi" oleh Jaksa Agung lewat surat tanggal 18 Desember 1976. Ia juga ditanya soal pemberian maaf untuk Soekarno. Hatta mengalami gangguan yang tak masuk akal, diusik, untuk sekadar pertaruhan politik di sekitar pembantu-pembantu Soeharto.

Hatta juga dikenal sebagai nasionalis sejati. Ia berjuang di Belanda dan daratan Eropa, bersama dengan pejuang-pejuang lain dari beragam garis ideologi dan negara di tengah bangkitnya kerja sama antikolonialisme di kalangan kaum pergerakan di berbagai belahan Dunia Ketiga. Ia amat percaya Indonesia pasti merdeka. Demi tujuan itu, Hatta rela untuk tidak menikah.

Pepatah klasik adat Minangkabau, "Kawinilah ibumu sebelum kawin dengan orang lain!" hidup dalam dirinya. Mengawini ibu ini maksudnya adalah mencukupi kebutuhan ibu kandung, bahkan kalau bisa mencari uang agar ibu bisa pergi ke tanah suci, Mekah, Arab Saudi. Hatta menerapkannya dengan cara yang lain, tidak menikah sebelum Ibu Pertiwi merdeka. Parameter pencapaian kemerdekaan hakiki, langsung melekat dalam dirinya, sebagaimana ukuran lain dalam kedisiplinan, ketelitian, pendidikan, demokrasi, agama, dan kemajemukan.

Hatta tidak hanya menulis dan berpidato, tetapi langsung memakainya. Hatta bisa disebut "buah pikiran yang berjalan". Ia hidup dari pikiran-pikirannya, dan pikiran-pikirannya hidup dari dia. Satu kombinasi yang kemudian secara tajam diterjemahkan oleh Nurcholis Madjid sebagai sufi dalam bidang agama Islam (Nurcholish Madjid, Bung Hatta: Dari Demokrasi Minangkabau ke Demokrasi Indonesia, pada Pidato Kebudayaan untuk Acara Peringatan 100 Tahun Bung Hatta, Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia, Jakarta, 7 Juni 2002). Tepatnya, sikap zuhud terhadap dunia.

Dari mana Hatta memperoleh seluruh esensi demokrasi dan nasionalisme itu? Kenapa nasib demokrasi dan nasionalisme meredup, atau menyimpang? Sebaiknya kita menyelam ke masa silam, menyangkut pergumulan Sumatera Barat (Sumbar) dalam awal abad ke-20, ketika kaki Gunung Merapi dan Singgalang dikuasai oleh bangsa kulit putih, sejak tahun 1837. Sumbar pada tahun-tahun itu menjadi muntahan lava berbagai bentuk pemikiran. Sekolah gabungan modern dengan tradisional sedang marak. (Taufik Ismail et.al., (ed), Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3S, Jakarta, 1978, halaman 219-243)

Kaum adat dan kaum agama menjadikan sekolah dan media massa sebagai arena perdebatan. (Khairul Jasmi, Surat Kabar Minang: Konfigurasi Pemikiran Menakjubkan, dalam majalah Pantau, Tahun II Nomor 022 - Februari 2002, Jakarta, halaman 56-59)

Di Batavia, sastrawan-sastrawan Minang sedang riuh-rendahnya memikirkan, merenungkan, mengolok-olok, atau merumuskan kebudayaan modern. (Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusasteraan Indonesia Modern, edisi baru, cetakan ke-3, Djambatan, Jakarta, 1990, halaman xii-xiv).

Padang, Medan dan Jakarta adalah segitiga pertumbuhan pengetahuan dan kebudayaan dalam skala massif, dengan lingua franca Melayu yang egaliter.

Sementara, Belanda sedang mengalami pendinginan arah invasi teritorial, setelah lelah menghadapi perjuangan rakyat Aceh yang baru berakhir tahun 1904. Dalam tingkat global, Jepang baru saja mengalahkan Rusia dalam perang tahun 1905. Kekalahan Rusia adalah awal kebangkitan Asia atas dominasi bangsa-bangsa kulit putih Eropa. Dunia Eropa-Amerika juga sedang bergejolak dengan Perang Dunia Pertama dan dilanjutkan dengan Perang Dunia Kedua.

Nasionalisme dan demokrasi 

Hatta adalah tipikal manusia yang berjalan lurus. Satu pepatah Minang mungkin hidup dalam dirinya, sejauh-jauhnya terbang bangau, pasti kembali ke kubangan. Sekalipun terkenal sebagai orang yang berpendidikan Belanda dan modern, Hatta tak kehilangan jati dirinya. Ia hanya mengambil apa yang dianggap perlu dari pemikiran, struktur pemerintahan, sampai konsepsi demokrasi dan nasionalisme yang didapatkan dari pengembaraan di Eropa. Hampir keseluruhan rujukannya dapat dipulangkan ke Nagari asal, sekaligus kontra interpretasinya.

Dari Nagari, Hatta menemukan prototipe dari Indonesia, kebudayaannya, juga bentuk hubungan kekuasaan dalam bingkai demokrasi. Ketika bercerita tentang pasar di Bukittinggi, Hatta menulis, "Pasar dan pekan (pasar-Red) itu teratur baik". Bukan pemerintah setempat yang mengaturnya, melainkan Nagari menurut tradisi. Waktu politik mulai masuk ke daerah Minangkabau sering terdengar perkataan orang di pasar Bukittinggi dengan menunjuk ke rumah Asisten Residen yang tidak jauh dari situ: 'Beliau itu di situ berkuasa, memerintah seluruh Agam, tetapi di sini kita yang kuasa. Ini anak negeri yang punya. Di sini masih berlaku Plakat Panjang, yang sudah dirobek-robek oleh Belanda." (Mohammad Hatta, Memoir, Tintamas, Jakarta, 1979, halaman 4).

Hatta termasuk salah satu pemikir besar Indonesia yang tak memutuskan mata rantai atau tali-temali budaya dari daerah asalnya, termasuk dari dunia pertamanya. Ia tak mengalami sindroma budaya, sebagaimana digambarkan dalam novel Salah Asuhan. Hatta juga bercerita tentang linglungnya orang-orang Indo yang sekapal dengannya ketika sampai di Pelabuhan Rotterdam (Mohammad Hatta, op.cit., halaman 104). Tetapi ia juga tak terjebak dengan simbol-simbol adat, sebagaimana juga tidak dalam posisi anti-asing secara kurang proporsional.

Dalam berpakaian, Hatta malah lebih dikenal dengan pakaian resmi, dan tidak pernah menggunakan pakaian adat. Istri Hatta bahkan menggunakan kebaya dan tidak menggunakan kerudung yang tertutup ketika menikah tanggal 18 November 1945, sebagai tanda ia bukanlah orang yang terjebak dengan simbol-simbol agama. Hatta tak punya dan tak memakai gelar Datuk (penghulu).

Ia mengaku lupa nama suku ibunya, padahal suku penting bagi orang Minang, mungkin juga sebagai penghormatan kepada ayah tirinya Mas Agus Haji Ning yang merupakan keturunan ketujuh dari Pangeran Sidang Bajak, atau bisa jadi sebagai kritikan atas adat istiadat yang tak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Keadaan ini sangat berbeda dengan Orde Baru, ketika Minang mengalami Golkarisasi dan feodalisasi, yang terlihat dari penggunaan gelar Datuk oleh hampir seluruh pejabat di Minang, bahkan juga turut dilekatkan kepada pejabat di luar Minang.

Dalam demokrasi, Hatta malah pernah berpolemik tajam dengan seorang penulis yang menyebut nama "Si Rakyat" yang menulis di majalah Persatoean Indonesia. "Si Rakyat" mengkritik penggunaan nama Volkssouvereiniteit sebagai bahasa Belanda dan menyimpulkan demokrasi Indonesia sebagai barang impor. Hatta membalas: "...perkataan 'demokrasi' yang dipakai oleh Si Rakyat tidak asli. Perkataan itu juga import!....Partai-partai Indonesia disuruh memakai semboyan 'Demokrasi Indonesia'... "Sebagai contoh disebutnya pengertian demokrasi di Minangkabau: Sepakat. .... ia mengutip suatu pepatah Minangkabau, yaitu: 'Kemenakan beraja (tunduk seperti diperintah raja-Red) ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat'. Mufakat siapa? Bukan mufakat rakyat, melainkan mufakat penghulu saja. ... sudah banyak benar sekarang jumlah kemenakan yang tiada mau lagi 'beraja' ke mamak dan penghulu...." (Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1976, cet. 2, halaman 123-129)

Inilah kritik Hatta atas model "permufakatan" adat yang esensinya tidak melibatkan masyarakat. Idealisasi Hatta atas adat Minang dalam sejumlah hal justru bertentangan dengan pemahaman orang banyak.

Hatta tak mengalami semangat nasionalisme radikal, sebagaimana label yang diberikan kepada Tan Malaka. Ia juga tak berubah menjadi seorang yang sangat liberal, sekalipun pengacaranya berasal dari kalangan liberal Belanda, apalagi nasionalisme puritan ala Soekarno yang terkenal dengan Trisaktinya (merdeka di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berdaulat di bidang budaya). Ia tak suka menggado-gadokan berbagai aliran ideologi yang saling bertentangan, sebagaimana dilakukan oleh Soekarno atas Marxisme, Islamisme, dan nasionalisme, yang berubah menjadi Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) di usia tua.

Dalam membangun pemikiran, Hatta amat hati-hati, nyaris kompromis. Tetapi kompromismenya bukan tanpa batas, ketika ia mundur dari kursi Wapres, juga tidak bersedia bergabung dengan PRRI, atau memilih Pendidikan Nasional Indonesia (PNI), ketimbang bergabung dalam Partai Rakyat Indonesia (Partindo) dalam urusan koperasi dan nonkoperasi dengan Belanda. Hatta bukan orang yang melampaui batas-batas yang sanggup dijalani. Dalam nasionalisme, ia tahu dan mengerti mana yang tubuh, mana bayangan dari tubuh ketika diterpa matahari. Ia tak melangkah melebihi bayangan diri sendiri, atas nama utopianisme semu. Makanya, ia jarang terjerembab.

Dalam demokrasi, ia memilih pendekatan kemanusiaan, walau sering disatu-nafaskan dengan pemikiran sosialisme. Dasar kerakyatan Hatta dalam demokrasi, dibangun atas kesadaran rakyat sendiri, dan bukan elite. Dalam bentuk negara, pemikiran Hatta berkembang menjadikan Indonesia sebagai negara serikat, walau gagal. Tetapi ia tetap mampu memasukkan Pasal 18 dalam UUD 1945, juga berbagai catatan di seputar UUD 1945, dalam Aturan Penjelasan dan Aturan Peralihan. Hatta juga dikenal sebagai penggagas awal desentralisasi dalam skala luas, termasuk desentralisasi partai politik dan pemilu sistem distrik. Minang, memang terkenal dengan susunan Nagarinya, membentuk "pemerintahan" berdasarkan konfederasi Nagari.

Demokrasi model Hatta juga bukan demokrasi yang bersifat tunggal. Ia suka demokrasi multipartai, dengan melahirkan Maklumat X tahun 1945, untuk menolak fasisme Jepang. Namun ia kecewa Pemilu 1955 tidak menghasilkan pimpinan-pimpinan politik yang andal, akibat banyak anggota DPR yang sebetulnya "ditunjuk" oleh partainya, bukan langsung dipilih rakyat. Yang dipilih rakyat ialah partai atau kelompok dalam daftar Pemilu.

Sistem daftar seperti ini mengurangi demokrasi, katanya, dan malah cenderung pada oligarki. Tapi Hatta juga bukan tokoh yang anti pada partai, atau bermaksud menguburkan partai-partai. Hatta malah mengingatkan berbahayanya sistem kepartaian yang dibangun oleh Soeharto, yang membatasi jumlah partai dan melahirkan massa mengambang.

Dalam nasionalisme, Hatta tak berlaku chauvinistik. Ia bukan lagi orang pemerintah ketika Soekarno atas nama Demokrasi Terpimpin mengusir 40.000 orang Belanda dari Indonesia, dan melakukan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda di bidang perkebunan dan eksploitasi minyak tahun 1957. Ia tak punya peran ketika Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) awal tahun 1965 dan Soekarno mempersiapkan suatu konferensi besar New Emerging Forces (Conefo). Padahal, sebelumnya, Hatta penyumbang konsep "Mendayung di Antara Dua Karang", lalu prinsip itu lebur termuat dalam Dasasila Bandung dalam Konferensi Asia Afrika tahun 1955. (Mohammad Hatta-Gde Agung, Surat Menyurat Hatta dan Anak Agung: Menjunjung Tinggi Keagungan Demokrasi dan Mengutuk Kelaliman Diktatur, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, halaman)

Hatta juga menggagas Program Ekonomi Benteng, mirip dengan yang dilakukan oleh Mahathir Mohamad di Malaysia, untuk melindungi ekonomi pribumi. Dalam metode perjuangan yang terbagi menjadi koperasi dan nonkoperasi di masa Jepang, Hatta memilih menempuh cara koperasi, lalu bergabung dalam Poetera (Pusat Tenaga Rakyat). Bersama Soekarno dan Ki Bagus Hadikusumo, ia pergi ke Tokyo bulan November 1943, lalu bertemu Tenno Heika. Ketiganya dianugerahi Bintang Ratna Suci, Kelas II untuk Soekarno, dan kelas III untuk Ki Bagus dan Hatta, hingga menggemparkan golongan Kempetai (polisi rahasia) Jepang.

Tetapi ketika dibuang ke Bangka, dengan tegas Hatta menolak menemui pimpinan Belanda di Jakarta untuk berunding, karena ia wakil presiden. "Bukan aku yang perlu bicara dengan PM Drees, tetapi mungkin ia yang perlu dengan aku. Sebab itu ia mesti datang ke Bangka," kata Hatta. (Mohammad Hatta, Memoir, op.cit., halaman 546)

Hatta tak kehilangan gagasan-gagasannya, dalam dua rezim otoriter pribumi.

Ia bergerak dengan cara tersendiri. Ia tetap menulis surat kepada Soekarno, juga ke berbagai orang dekat dan jauh. Ia rajin mendatangi tempat-tempat di seluruh negeri, lantas menuliskan pemikirannya atas masalah yang dihadapi rakyat. Di masa Orde Baru, ia nyaris sangat miskin, tak mampu membayar kebutuhan rumah tangganya. Gubernur DKI Ali Sadikin, atas dasar keprihatinan, membantu Hatta untuk mendapatkan keringanan biaya listrik dan air untuk rumahnya dengan terlebih dahulu minta persetujuan DPRD DKI Jakarta. (Ramadhan KH, Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992, halaman 240)

Ia jarang berkunjung ke luar negeri, dan memilih membaca dan menulis. Ia tak mengalami sindroma apapun, setelah tak lagi aktif, dan tetap disiplin dalam hidupnya, dengan bangun pagi.

Masa depan nasionalisme dan demokrasi 

Ketika Hatta meninggal tahun 1980, jutaan rakyat Indonesia menangisi kepergiannya. Penyanyi Iwan Fals membuatkan lagu khusus untuknya. Iwan seperti mengeluh pada Tuhan dengan lirik lagunya; "Tuhan, begitu cepat semua. Kau panggil satu-satunya yang tersisa, proklamator tercinta. Jujur, lugu, dan bijaksana, mengerti apa yang tersimpan dalam jiwa, Indonesia. Hujan air mata dari pelosok negeri, waktu mendengar engkau pergi. Berjuta kepala tertunduk haru, mengenang seorang sahabat..." Padahal, Iwan jarang memuja orang. Hatta pergi, tetapi tidak hilang dari ingatan orang-orang.

Di tengah krisis nasionalisme, dalam arus globalisasi yang menghempaskan identitas primordial dan sektarian, apa yang bisa dipelajari dari Hatta? Banyak, sekalipun realisasinya sungguh tak ada, kalau kita melihat dangkalnya nilai perdebatan di kalangan pemimpin Indonesia kini. International Monetary Fund (IMF) hendak ditendang, padahal Indonesia berutang. Indonesia kini adalah sebuah negeri yang sangat miskin, korupsi menggurita, juga penuh dengan konflik vertikal, horizontal, dan komunal yang ironisnya berpusar pada elitisme dan egoisme chauvinistik.

Metode nasionalisasi diulangi, bahkan dalam bentuk sempit kedaerahan, dalam kasus Maklumat Rakyat Sumbar tanggal 1 November 2001, tanpa kejelasan apakah keuntungan yang didapatkan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Semen Padang jauh lebih besar dari mudaratnya, atau hanya menguntungkan segelintir kalangan. Di tingkat nasional, politisi yang sekaligus negarawan sungguh jarang menyampaikan visi tentang Indonesia kini dan masa depan, sekaligus menyelamatkan agar perahu retak Indonesia tak lantas tenggelam.

Lalu, apa manfaat dari mempelajari riwayat Hatta? Keprihatinan. Ia telah menyusun bangunan pikiran tentang Republik Indonesia. Hampir tak ada yang terlewatkan. Prinsip-prinsip nasionalisme dan demokrasi telah ia tegaskan dan perjuangkan.

Menonton apa yang terjadi di negeri ini, sungguh tak sebanding dengan apa yang telah dikerjakan Hatta. Mengingat Hatta, dalam kondisi elite negeri ini yang lebih suka berbeda untuk persoalan yang sudah jelas, seperti korupsi, hanyalah menonton sampah-sampah kehidupan yang tak berarti apa-apa bagi pembangunan (kembali) demokrasi.

Indra J Piliang Peneliti politik dan perubahan sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta

Rubrik Jendela, Kompas, 12 Juli 2002

Minang dan Bola Api Demokrasi

(Indra J. Piliang)

SCTV memutarkan pidato Prof. Dr. Nurcholis Madjid pada hari Jum'at (07 Juni 2002) malam, bersama dengan diskusi yang mengetengahkan Taufik Abdullah, Ichlasul Amal, Safruddin Bahar dan Fachry Ali sebagai pembicara, dengan tema mentereng "Minang dan Demokrasi" yang sekaligus upaya sosialisasi ulang tahun Drs. Muhammad Hatta yang ke-100 tahun ini. Penyelenggara kegiatan itu adalah SCTV, PT Semen Gresik, PT Semen Padang, dan Lembaga Studi Pengembangan Etika dan Usaha (LSPEU). Ada harapan agar model demokrasi yang berlangsung dalam konfederasi nagari sebagai dunia asal orang-orang Minang, sebelum merantau ke ranah Jakarta dan negara Belanda, menjadi semacam oase dan sekaligus prototipe dari model demokrasi di Indonesia.

Di tengah usaha yang demikian intensif itu, "kabar buruk berhamburan" datang dari ranah Minang, sehari sebelumnya, berupa pembubaran Diskusi Panel yang digelar oleh Lembaga Analisis Sosial dan Pembangunan (LASP). Topik pertama: "Lahirnya Maklumat Masyarakat Sumatra Barat (MMSB) tentang PT Semen Padang (SP) Ditinjau dari Perspektif Clean Government dan Good Governance" dengan pembicara Dr. Indria Samego (LIPI) dan Andrinof A. Chaniago (UI). Topik kedua: "Status Hukum MMSB tentang PT SP" dengan pembicara Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H. (UI) dan Saldi Isra, S.H., MPA (Unand). Topik  ketiga "Implikasi MMSB tentang PT SP terhadap Pemulihan Ekonomi dan Kepastian Hukum" dengan pembicara Faisal H. Basri MA (UI) --tidak hadir--  dan Dr. Bismar Nasution, S.H. (USU).  Lalu, bagaimana bisa melakukan ekstensifikasi model demokrasi Minang apabila bagian masyarakat Minang sendiri berlaku anti terhadap demokrasi?

Tragedi pembubaran diskusi itu ibarat bola api yang membakar musim semi demokrasi yang kini sedang terjadi di Minang dan daerah lainnya. Lahirnya ratusan nagari di Propinsi Sumatera Barat sebagai entitas independen yang menjadi kuali perdebatan dan percampuran beragam pemikiran dalam level pemerintahan dan masyarakat terbawah, seakan turut ternodai dengan pembubaran itu. Muhammad Hatta mungkin akan menangis dari dalam kuburnya, andai mengetahui kejadian ini. Sebagai soko guru bangsa yang berjalan lurus untuk mengembangkan model "Demokrasi Kita" berdasarkan perkawinan kasanah intelektual Barat dan Timur, Muhammad Hatta telah sangat dikenal atas sikapnya yang lurus itu, sehingga mendapat sebutan sebagai sufi oleh Nurcholis Madjid. Sufi sebagai tingkat tertinggi pencapaian esensi pengalaman relegius seseorang, menjadikan Hatta sebagai pribadi yang zuhud terhadap dunia. Sikapnya yang tegas menolak bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang disebut RZ Leirissa sebagai  "membangun Indonesia tanpa komunis", menunjukkan bahwa kepentingan nasional jauh lebih berharga, ketimbang kepentingan lokal/kedaerahan.

Voltaire telah jauh-jauh hari mengatakan satu adagium dalam demokrasi: "Saya tidak setuju kepada pendapatmu, tapi saya akan membela mati-matian hak-hakmu untuk mengatakannya!" Tapi itu tak terjadi di Padang, paling tidak dengan insiden pembubaran diskusi itu. Budayawan AA Navis yang berusaha mencari benang merah antara karya pertama Hatta tentang "Alam Pikiran Yunani" dengan budaya demokrasi Minangkabau, tentu semakin bingung menemukan benang merah antara bangkitnya demokrasi dalam level nagari di Sumbar dengan tragedi demokrasi pertama Yunani, berupa minum racunnya Socrates, filsuf penting yang memilih berbicara dengan kelompok muda di pasar-pasar, dan mempunyai murid Plato. Konfederasi nagari, dalam beberapa hal, mirip dengan polis-polis dalam masyarakat Yunani. Apakah tragedi yang terjadi di Padang itu bisa dikaitkan dengan upacara meminum racunnya Socrates, demi kepentingan feodalisme dan despotisisme kekuasaan yang masih bisa masuk kedalam demokrasi?

Civil Society dan Open Society

LSAP, misalnya, dalam dimensi pertumbuhan demokrasi di tingkat daerah, dapat disebut sebagai bagian dari civil society. Dengan kuatnya civil society di tingkat daerah, berarti juga menunjang kuatnya fundamental ekonomi, politik dan budaya yang hidup dinamis di tengah-tengah masyarakat.  Usaha apapun untuk meracuni masyarakat daerah demi kepentingan elite nasional dan daerah akan sangat sulit. Pemerintahan daerah dan pelaku-pelaku ekonomi di daerah tidak bisa lagi memonopoli pemahaman atas apa yang baik buat daerah. Ruang bebas demokrasi dimaknai atas nama apapun, mengingat PT Semen Padang adalah perusahaan nasional dan MMSB yang dikeluarkan 11 November 2001 itu juga mengatasnamakan seluruh publik ranah Minang.  Adalah hak publik Minang juga mendiskusikan MMSB itu.

Apapun kepentingannya, metode pembubaran diskusi yang dihadiri oleh akademisi dalam dan luar Minang tidak bisa dibenarkan. Minang adalah bagian dari Indonesia, dan biografi sejarah orang-orang Minang telah menunjukkan bahwa rantau sangat penting bagi pengembangan karakter orang-orang Minang. Artinya, ketika orang-orang diluar Minang juga melakukan perantauan akademis ke daerah Minang, tidak ada alasan apapun untuk menolaknya. Sebagai motor perjuangan demokrasi di Indonesia, orang-orang Minang tak punya semangat chaufinistik dan kesombongan apapun. Tidak adanya kelompok-kelompok feodal di ranah Minang menunjukkan bahwa Minang adalah masyarakat egaliter yang sudah lama masuk dalam kategori open society (masyarakat terbuka). Sebab apapun yang ada di Minang sekarang, semuanya berasal dari luar Minang, sebagaimana kecenderungan mitologis yang terjadi dengan mengimpor keberanian Iskandar Zulkarnaen yang bukan orang Minang, dan masuk ke Minang ketika gunung Merapi masih sebesar "telur itik".

Jangan sampai Minang menjadi masyarakat tertutup, karena ketertutupan adalah awal dari bencana kematian bagi dinamika hidup dan energi tinggi orang-orang Minang. Sebagai suku bangsa pemakan hewan (baca: rendang) dengan tingkat konsumsi tinggi, sekaligus penderita kolesterol terbanyak di Indonesia, ketertutupan merupakan bahaya bagi dinamika internal orang-orang Minang, karena pelepasan energi tak berlangsung normal. Sama halnya dengan Bangsa Mongol yang suka makan daging kuda, hingga mampu berlari kencang meruntuhkan benteng-benteng berbagai suku dan negara, orang-orang Minang telah menunjukkan kelebihan serupa tapi tak sama, yaitu keberanian untuk berbeda pendapat. Paling tidak dalam periode keemasan ketika bergabung bersama suku-suku lain membangun Indonesia. Rosihan Anwar menyebutnya dengan istilah "Bagak" (berani), tetapi bukan keberanian penggunaan otot, atau menjalankan profesi sebagai pimpinan PT SP 2 Jari (istilah yang banyak dipakai untuk pencopet-pencopet asal Minang di bis-bis kota dan tempat-tempat keramaian). Penggunaan energi yang positif dalam kebhinnekaan, sama positifnya dengan berbagai tradisi main silat, berdebat di palanta lapau (warung), saling bertukar petatah-petitih di surau, atau berbagai kesenian yang terkesan mantap, seperti randai dan tari-tarian yang menggunakan jurus-jurus silat.

Industri Otak, Bukan Otot

Keterbukaan berbeda pendapat itulah yang menjadi momok generasi muda Minang selama Orde Baru. Dalam banyak pertemuan mahasiswa tingkat nasional saat itu, selalu saja keluhan itu terjadi. Bagaimana bisa kemudian dengan jumawa Minang pernah mencanangkan diri sebagai pusat industri otak, apabila diskusi saja dibubarkan, yang katanya turut dilakukan oleh mahasiswa dan kalangan muda? Jangan-jangan yang dikembangkan justru industri otot, bukan otak, antara lain dengan keterlibatan Pemuda Pancasila (PP) dalam pembubaran diskusi itu. Pimpinan PP di Jakarta harus memberikan teguran keras kepada anak-buahnya di Padang, mengingat citra organisasi ini yang belum lagi bisa keluar dari kungkungan kekuasaan. Sebagai orang yang mengenal baik Yoris Raweyai, saya yakin tak ada gunanya lagi organisasi PP berkiblat kepada satu kelompok kepentingan saja yang justru tak menjunjung tinggi nilai-nilai dasar Pancasila yang mengajarkan tentang permusyawaratan.

Di Minangkabau, pemikiran menjadi puncak budayanya. Dalam rangka usaha memperbaiki  posisi generasi muda Minang yang mengalami krisis intelektual, krisis kepemimpinan, dan terbebani dengan new otoritarianism, paling tidak terdapat empat hal yang perlu terus dilakukan di Minang, untuk menumbuhkan kembali semangat demokrasi, kebebasan berbicara, dan bukan mengandalkan para parewa yang membubarkan diskusi itu:

Pertama, menjadikan Sumatera Barat sebagai tempat penggodokan pemikiran. Hal itu dimulai dengan menjadikan "industri otak" sebagai prioritas utama pendidikan. Sistem pendidikan yang dipakai bisa jadi dengan meramu sistem tradisional dan moderen. Industri otak, bagaimanapun, membutuhkan proses demitologisasi kejayaan masa lalu. Unsur konstruktif diambil, unsur destruktif dikuburkan.

Kedua, memperkuat kembali pranata-pranata sosial yang berakar pada tradisi budaya Minangkabau. Fungsi ninik-mamak, cerdik pandai, ulama, dan lain-lainnya meski dikedepankan dalam sistem masyarakat yang demokratis. Keberadaan tokoh-tokoh Minangkabau yang beraliran dari paling kiri sampai paling kanan di zaman pergerakan sampai kemerdekaan nasional menjadi bukti empiris bahwa pranata-pranata sosial yang ada di Minangkabau, seperti surau, palanta lapau, atau sistem nagari, turut memberikan kontribusi bagi lahirnya pembaruan, tanpa perlu saling menyikut teman seiring, menggunting dalam lipatan. Iklim yang kondusif kearah itu harus ditegakkan, dengan memberikan kesempatan kepada generasi muda Minang untuk terlibat secara aktif dalam koridor Adaik Basandi Syara', dan Syara' Basandi Kitabullah.

Ketiga, berpaling kembali kepada nilai-nilai klasik yang dimiliki oleh Minangkabau. Nilai-nilai itu dibangun lewat beragam aktifitas, seperti kebiasaan diskusi (bukan maota) di palanta lapau, belajar silat, petatah-petitih, sampai pada pengajian dan berpantun di surau bagi kalangan muda.  Di Inggris, misalnya, Lewis A. Coser membahas peranan beberapa warung kopi di London (mirip palanta lapau di Minang) pada abad ke XVIII dalam mempertemukan berbagai kaum intelektual (SH Alatas, 1988: 106). Kaum intelektual itu bisa ditumbuhkan lewat palanta lapau, tentu saja dengan mengarahkan diskusi pada persoalan-persoalan yang dihadapi sehari-hari, ketimbang lewat sistem pendidikan resmi yang menghasilkan keseragaman akibat kurikulum pendidikan.

Keempat, memberikan proporsi yang lebih banyak kepada muatan lokal untuk diajarkan dalam sekolah resmi. Muatan lokal itu tidak semata-mata berbentuk keterampilan yang dibutuhkan di lapangan pekerjaan, tetapi juga bentuk-bentuk pemikiran yang mempengaruhi watak dan mentalitas manusia. Kalau perlu "ilmu" yang selama ini dipelajari secara otodidak, atau lewat kegiatan-kegiatan adat -- seperti petatah-petitih -- diajarkan di sekolah-sekolah resmi. Kontrol yang baik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tentunya akan sangat mempengaruhi penerapan muatan lokal ini, agar tidak terjebak kepada etnisitas yang membelah bangsa-bangsa besar di dunia.

Kita berharap, bola api demokrasi yang ditendang di padang itu tidak menyebar ke daerah lain. Ketika daerah-daerah lain melangkah jauh lebih maju dengan menggelar pertemuan-pertemuan publik di tingkat bawah, termasuk di lingkungan RT-RW di DKI Jakarta, Minang terkesan bergerak kearah lain. Perlu revisi dan revitalisasi besar-besaran dalam pola hubungan antar kelompok di Minang, agar Bung Hatta, Bung Sjahrir, Ibrahim Tan Malaka, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Buya HAMKA, atau bundo kanduang seperti Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus dan Rasuna Said tak  menangis di alam lain. Semoga.

Indra J. Piliang, peneliti politik dan perubahan sosial CSIS, Jakarta dan pengamat kebudayaan Minang.

Kompas, 05 Agustus 2002

Gembok, Tembok, dan"Momok"Demokrasi

Oleh: Indra J Piliang

TANGGAL 1-10 Agustus 2002 ini merupakan momentum kembali datang untuk membangun banyak sekali tongkat-tongkat, pilar-pilar, batu-bata, dalam rumah Indonesia yang kini semakin renta. Dengan berbagai agenda, Sidang Tahunan MPR menjadi satu rutinitas mahal untuk menunjukkan bahwa anggota MPR sudah bekerja, atau minimal punya pekerjaan.

Dalam perspektif demokrasi minimalis, sebetulnya Sidang Tahunan MPR hanyalah masalah 700 (tujuh ratus) orang elite politik. Dari sini muncul pertanyaan: sampai seberapa jauh keterlibatan konstituen politik dalam arus perubahan yang dicanangkan MPR. Konstituen politik itu, dalam ukuran pemilih dalam Pemilu 1999, berjumlah lebih kurang 110 juta jiwa. Dalam pengertian yang dikaitkan dengan devolusi politik, berupa keterlibatan masyarakat daerah pemilihan, asal golongan, asal daerah, dari masing-masing elite politik itu. Tak terkecuali aspirasi kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian yang mempunyai 38 kursi perimbangan (a balances votes).

Rumitnya, apabila dievaluasi lebih lanjut, politik masih bermain di sekitar mobilisasi dan bukan partisipasi, dari publik di masing-masing lokus politik. Utusan daerah di MPR jarang yang menyuarakan daerahnya, apalagi berjuang untuk kesejahteraan konstituen di daerahnya. Ketika utusan daerah dipilih oleh DPRD Tingkat I, tiada modus pertanggungjawaban dari anggota MPR itu, katakanlah lewat mekanisme persidangan di DPRD I, apalagi untuk melakukan sekadar fit and propert test bagi anggota MPR itu di kalangan konstituen politik di daerah. Anggota DPR lebih banyak menyuarakan aspirasi partainya, ketimbang aspirasi masyarakat tempat anggota DPR itu mendapatkan tiket ke Senayan. Politik masih diwarnai oleh nuansa elitisme, bahkan sampai sedemikian rupa mengarah kepada egoisme dan personalisasi.

Arus politik baru bergejolak, apabila terjadi pergeseran atau "saling cubit" antarelite politik. Bentuk lainnya juga pelembagaan politik sama sekali kurang berjalan, karena metode penyelesaian masalah diselesaikan di luar lembaga parlemen, katakanlah lewat kaukus politik yang bahkan menggunakan ruang publik di luar kepentingan politik, misalnya masjid. Idealnya, apabila masjid digunakan sebagai ruang berpolitik, tampilan politisi semakin relegius dan humanis. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, politik kehilangan nuansa relegiusnya, juga humanismenya, karena energi yang keluar hanya bersifat sektoral dan temporer.

Tak heran kalau modus operandi seperti itu mengingatkan kita pada situasi penjara. Politik mengalami penggembokan, dan politisi adalah sipirnya. Ruang input-output mekanisme politik tergantung dari kunci yang dipegang masing-masing politisi. 

***

DALAM parade demokrasi yang seharusnya berlangsung transparan, politik justru dipagari oleh kawat-kawat berduri dengan menggunakan polisi dan tentara, bahkan juga laskar-laskar partai yang terlatih. Politik telah mengalami proses pengkastilan, pengistanaan, pensenayanan. Yang dibangun bukan bagaimana aspirasi politik lancar masuk ke kalangan politisi dan partai politik, lalu mengalami proses pematangan untuk dijadikan sumber kebijakan, melainkan proses pembungkaman, pembungkeran, dijalankan dengan sangat sistematis. Politik mengambil jalan tersendiri dari masalah yang dihadapi rakyat. Transaksi yang terjadi berlangsung dibawah tangan, luput dari sorotan lampu kamera wartawan, apalagi masyarakat.

Ketika masyarakat sedang merayap dalam kubangan kemiskinan menunggu nasib akibat kehabisan energi hidup, dalam suasana yang dulu disebut sebagai "kejelataan", politisi justru naik ke atas singgasana kemewahan-kementerengan dengan kendaraan mutakhir berharga mahal. Tidak ada kepedulian, berapa korban yang jatuh dalam perseteruan politik.

Tesis Peter L Berger tentang "Piramida Korban Manusia" terus berulang, ketika pundak rakyat menjadi ajang untuk diinjak guna naik ke puncak piramida oleh elite politik. Atau barangkali kepedihan sebagai orang-orang tertindas, baik dari kaum feodal, atau kolonial, yang dengan amat memilukan digambarkan oleh Multatuli dengan Max Havelaar-nya-dengan latar daerah Lebak, Banten, yang sampai kini tetap termiskin-atau sampul buku George Orwell, "Mereka yang Tertindas", yang menunjukkan empat orang miskin, telanjang, dan ringkih, membawa seorang tuan yang gendut. Keringkihan rakyat sungguh tak sebanding dengan kondisi gemah-ripah-loh-jinawi politisi.

Politik telah menebalkan tembok-tembok pembatas antara problem masyarakat dengan problem politisi. Demokrasi hanyalah teater berjenjang model demokrasi kuno Yunani. Rakyat menjadi banteng aduan dalam musoleum tak beranah-bertuan. Rakyat yang menjadi korban hanyalah sebuah pemandangan, dan data-data statistik, tanpa perlu dipikirkan sampai tak bisa tidur, apalagi sampai melenyapkan selera makan, belanja dan bepergian.

Sungguh teramat sulit, juga sumir, apabila politik yang berlangsung di tingkat politisi dan partai politik adalah cerminan dari apa yang terjadi di ranah publik politik. Ketika arus transisi demokrasi menggelinding, ditunjang oleh evolusi dan revolusi di berbagai bidang ilmu pengetahuan, politik menawarkan kehampaan. 

***

DEMOKRASI, akhirnya, hanya menjadi momok dan mimpi buruk. Ia menjadi banjir bandang yang meluluh-lantakkan sawah, ladang, dan permukiman penduduk dalam pergantian musim. Ia berwujud bendera partai politik, ketika rakyat tenggelam dalam banjir. Ia mengubah diri menjadi proses pengkambing-hitaman, ketika kekeringan mempusokan jutaan hektar lahan pertanian. Ketika dulu peladang berpindah dijadikan sebagai sasaran kerusakan hutan, kini beralih kepada petani yang tak mempunyai inisiatif untuk mengantisipasi kekeringan. Padahal, irigasi adalah urat nadi pertanian, dan dana-dana irigasi malah lari pada kas-kas politisi.

Dalam kasus Bulog (Badan Urusan Logistik), misalnya, boleh dikatakan 80-90 persen mestinya digunakan bagi kesejahteraan petani, dan bukan untuk dana nonbudgeter, apalagi dana pemenangan pemilihan umum.

Ibarat pintalan benang, politik telah mengusut-masaikan demokrasi. Akan teramat lama mencari di mana ujung, di mana pangkal, dari kekusutan itu, apabila logika politik elite tak sebangun dan senapas dengan logika masyarakat. Yang diperlukan hanya pengereman dari nafsu-nafsu barbarian untuk sampai ke puncak piramida kekuasaan. Yang dibutuhkan hanyalah gembok dan tembok demokrasi diluluh-lantakkan, dengan proses pemerdekaan politik dari egoisme pelaku-pelakunya.

Politik, dalam hakikat dasarnya, adalah medium perjuangan. Lainnya, tidak. Itu yang dilakukan the founding fathers and mothers sebagai the golden age kita, dalam mata-rantai Naar een Republik Indonesia. Dalam teologi Hindu, kita membutuhkan Wisnu, sang pemelihara. Ketakutan kita kepada Siwa, Sang Perusak, pelan-pelan justru mengubah kita menjadi Siwa. Bagaimana bisa kita memelihara kedamaian, sekaligus menciptakan kesejahteraan di Aceh, misalnya, apabila yang kita kerahkan adalah para serdadu dalam serial Barata Yudha yang tak jelas siapa Pandawa atau Kurawanya?

Sidang Tahunan MPR tahun ini adalah sedikit dari ranah politik yang masih bisa diharapkan untuk melakukan sedikit langkah ke arah renaisans alias penggalian kembali nilai-nilai yang mencerahkan demokrasi dalam balutan cahaya imani dan kemanusiaan, demi masa depan. Political enlightment adalah proses yang mesti terus-menerus dilakukan agar politik tak kehilangan relevansi. Sebab, politisi bukan manusia setengah dewa apalagi dewa, dengan menjadikan partai politik dan lembaga politik sebagai pesemayaman seperti Gunung Olympus.

Berupaya menjadi politisi biasa, politisi kebanyakan, dengan mengaitkan standar kehidupan dengan mayoritas rakyat, adalah langkah yang tak memerlukan biaya tinggi. Hanya sesederhana itu parameternya. Ibarat bangunan, yang diperlukan sekarang bukan desainer yang merancang adonan kebangsaan dari fondasi awal, melainkan hanya para seniman politik yang bisa memoles rumah demokrasi dengan sepuhan empati dan suara hati.

Seyogianya apabila politisi yang berjumlah 700 orang di MPR itu menjalankan metode ini, bahkan tanpa perlu dengan cara mengkomparasikannya dengan lapisan pembebas pertama Indonesia, atau yang disebut Ben Anderson sebagai "Para Perintis Kreol", politik tak akan berubah menjadi kesia-siaan. Terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan, terlalu sedikit yang telah disumbangkan politisi, dan terlalu besar biaya moral, intelektual, dan material yang harus dikorbankan, apabila politik terus-menerus mengalami alienasi dari kepentingan masyarakat.

Kita sudah kehilangan pengamatan reflektif dari satu Indonesianis seperti Reid: akankah kita juga akan mengalami embargo intelektual dari akademisi lainnya?

Indra J Piliang Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta.

Kompas, 28 September 2002

Bangsa Setengah Pahlawan

(Indra J. Piliang)

Presiden Megawati mencontohkan ketidak-konsekuenan bangsa Indonesia dalam soal pahlawan. Dikatakan, bangsa Indonesia terbiasa untuk tidak mau mengatakan pahlawan itu besar artinya buat bangsa. "Pak Agum (Menteri Perhubungan Agum Gumelar, Red) minta izin saya untuk menginstruksikan bagaimana caranya membawa kembali jasad-jasad pahlawan kita yang berguguran di Timor Timur. Kalau persoalan ini spontanitas, maka saya tidak segera mengiyakan, karena saya melihat bahwa kita ini sebagai bangsa setengah, sebab kita seringkali tidak konsekuen terhadap apa yang dilakukan," kata Megawati (Kompas, 14/09/2002). Komentar Presiden itu menjadi satu dari sejumlah kontraversi yang diciptakan selama pemerintahannya, termasuk soal "pemerintahan keranjang sampah".

Sesuai dengan tugas konstitusionalnya, Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU (pasal 15 UUD 2002). Dari sisi kelembagaan, urusan itu tergantung kepada pertimbangan Presiden dan DPR yang berhak membentuk UU. Artinya, bangsa Indonesia secara keseluruhan tinggal menerima saja apakah gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan -- termasuk kepahlawanan -- itu diberikan kepada pahlawan-pahlawan di Timor Lorosae, Aceh, Papua, atau dimanapun gugurnya. Bangsa Indonesia sepenuhnya hanya bisa menyalurkan aspirasi lewat pemerintahan daerah dan nasional, serta lembaga perwakilan, agar seorang atau beberapa orang pahlawan diberikan tanda kehormatan itu. Selama ini, pemberian gelar kepahlawanan itu terlalu diwarnai oleh "ingatan masa kanak-kanak" sang presiden, setiap tanggal 17 Agustus.

Sebetulnya kepahlawanan dalam era moderen tidak lagi diukur dari seberapa banyak serdadu gugur di medan perang. Toh, gugurnya serdadu Republik Indonesia di Timor Lorosae pada akhirnya dilihat secara terbalik oleh warga negara Timor Lorosae. Dalam pidato di hadapan anggota East Timor Action Network (ETAN) Amerika bulan Juli 1998, Jose Ramos Horta menyebut: "But your country has played a leading role in the destruction of my people -- three of my brothers and one sister were killed by American weapons. Fortunately, there are many Americans like yourself and the other activists with the East Timor Action Network who are working to right this wrong. Through ETAN's work, more and more Americans are learning the ugly truth of East Timor's ruthless colonization. With the increasing freedom of discussion in the new Indonesia, Indonesians too are learning with horror and disbelief what their country has done to its neighbor."

Perubahan sudut pandang adalah bagian tak terpisahkan dalam menilai dimensi kepahlawanan. Pemberontak Untung Suropati bagi Belanda, adalah pahlawan bagi tanah Jawa. Dilema batin sosok kepahlawanan itu diceritakan dengan baik oleh Abdoel Moeis dalam novel "Robert Anak Suropati". Robert beribu seorang gadis Belanda, berayah Suropati. Robert akhirnya terbunuh dalam peperangan melawan pasukan ayahnya di pihak serdadu Belanda, demi membuktikan janjinya kepada gadis Belanda yang dicintainya. Tragedi, menjadi unsur ikutan kepahlawanan. Dalam novel Sang Penari karya Dukut Imam Widodo, dikisahkan sang infiltrator nomor satu, spion, juga mata-mata, yang terkenal dengan nama Matahari. Berbeda dengan cerita yang sudah diketahui umum, Matahari menjadi perempuan yang berpihak kepada "patriot" pemberontak Belanda di Indonesia, yang menciptakan tari-tarian erotisnya dari akar-akar tarian Jawa.

Dari sini, tentu terdapat perbedaan antara pahlawan objektif dan pahlawan subjektif, apalagi setelah "tanda kepahlawanan" itu disematkan oleh lembaga politik seperti parlemen. Kontraversi kepahlawanan Aru Palaka, Tan Malaka, bahkan sampai Soekarno, telah menjadi riasan dalam sejarah resmi Indonesia, yaitu sejarah dalam bentuk print out, penerbitan, lalu masuk kedalam buku-buku sejarah resmi. Dalam kepahlawanan jenis ini, tidak bisa dihindari unsur anakronisme, mengherokan diri pada masa lalu. Sejarah sebagai berita pikiran, mengalami mobilisasi pengaruh ketika masuk kedalam teks dan mata ajaran/anjuran resmi. Yang paling menonjol adalah seputar pendudukan Yogyakarta, Surat Perintah 11 Maret, sampai penghilangan foto Bung Hatta yang berdiri bersama Soekarno ketika Proklamasi dalam buku-buku sejarah, ataupun upaya penghilangan jasa Bung Karno sebagai penggali Pancasila.

***

Dalam bagian lain pidatonya, Presiden Megawati mengajak masyarakat untuk bangga menjadi bangsa Indonesia. "Salah atau bener, itu adalah negara saya. Jangan itu dijembreng-jembrengin. Sepertinya sekarang, itu demikian," katanya. Megawati mempersilahkan, orang yang tak suka menjadi warga Indonesia meninggalkan Tanah Air secara baik-baik. "Jangan, mencari makan, tidur, dan bertempat tinggal di Indonesia. Tetapi, Indonesia dijelek-jelekan.  Ini no," tegas Megawati.

Dari sini, kita menangkap keresahan Presiden terhadap berbagai kekisruhan yang melanda Indonesia, terutama di kalangan pers, kaum intelektual, sampai kelompok Non Government Organization (NGO). Keresahan itu sah-sah saja, tetapi mensimplikasikannya menjadi sikap menjelek-jelekan Indonesia tentu tidak begitu tepat. Eep Saefullah Fatah, telah lama menerbitkan buku "Bangsa Yang Menyebalkan!" Begitu juga puisi Taufik Ismail, "Malu Aku Jadi Bangsa Indonesia". Tetapi, buku dan puisi itu tak mencerminkan sikap kebencian, melainkan lebih pada upaya perbaikan, bahkan harapan dan do'a.

Frase Right or wrong is my country telah lama hilang dari perdebatan kalangan nasionalis Indonesia. Buku si Tolol sudah lama dikalahkan Doraemon dan sejenisnya. Privatisasi juga menjadi program resmi pemerintah, tak peduli private itu adalah investor asing atau dalam negeri, asal bukan dana-dana korup yang diselewengkan. Orang-orang yang menulis buku, atau mengungkapkan kejelekan bangsa Indonesia, sehingga membuat Indonesia menjadi bangsa setengah, sebetulnya tak begitu berbahaya hingga pantas lari keluar negeri. Justru yang harus diusir adalah para koruptor, pemakan uang rakyat, pencoleng, pembunuh, atau kekayaannya yang mencapai setengah kekayaan negara Indonesia.

Barbarisme di Indonesia, yang juga disebut Presiden Megawati, lebih merupakan refleksi dari badai perubahan. Kekerasan negara bermetamorfosis menjadi kekerasan komunal, tetapi dalam radius yang sebetulnya tak mencakup 5 % wilayah republik, juga tidak sampai melibatkan 1 % jumlah penduduk dalam peta geografi dan demografi Indonesia. Jauhnya letak berbagai tempat kerusuhan dan barbarisme itu, disatukan oleh media global, sehingga seakan dunia turut merasakannya. Sama halnya dengan tragedi menit per menit di Amerika, tanggal 11 September 2001, yang memelototkan milyaran mata. Tetapi apa yang dilakukan bangsa Amerika? Kutipan Dr. Martin Luther King, Jr. banyak muncul dalam situs-situs berita Amerika, pasca tragedi itu. "Never forget that everything Hitler did in Germany was legal. Cowardice asks the question - is it safe? Expediency asks the question - is it politic? Vanity asks the question - is it popular? But conscience asks the question - is it right? And there comes a time when one must take a position that is neither safe, nor politic, nor popular; but one must take it because it is right." Dalam banyak hal, bangsa Amerika berhasil membangun kembali kepercayaan diri pasca tragedi itu, dengan semangat yang mendekati revolusi kemerdekaannya, dengan memilih bersikap, bukan ragu-ragu hingga jalan ditempat. Tentu, hal itu dilakukan ditengah kontraversi serangan terhadap Afghanistan.

 

***

Indonesia tentu butuh pahlawan-pahlawan baru, pemodal baru, aktivis baru, bahkan lapisan baru kepemimpinan politik dan pemerintahan. Agar Indonesia tak menjadi bangsa setengah, perlu segera ditarik garis lurus dari para pemimpin yang juga bersikap setengah-setengah. Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang puritan dalam nilai-nilai, tidak setengah koruptor, setengah pemimpin; setengah negarawan, setengah bangsawan; setengah intelektual, setengah politikus.

Kepahlawanan juga tak sepenuhnya dilekatkan kepada serdadu. Kepahlawanan itu juga bisa lahir dari para pekerja yang kini bertumpuk di Nunukan, sementara negara tenguk-tenguk. Pahlawan juga ada di barisan raja-ratu bulutangkis. Nefertiti-nefertiti (permaisuri King Amenhotep IV dalam Dinasti ke-18 Mesir Kuno) Indonesia juga ditemukan dalam film dan karya sastra baru, dalam perang global di dunia kesenian dan kebudayaan.

Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana persoalan yang juga disebut Presiden Megawati sebagai persoalan-persoalan kecil yang dibesar-besarkan agar tak meluas kemana-mana. Dari sini, kita membutuhkan faktor kepemimpinan, juga kondisi yang kondusif untuk berbeda pendapat dengan tujuan menemukan sinergi dan konvergensi pemikiran, bukan berbeda untuk perbedaan itu sendiri. Dalam era Presiden Megawati, sebetulnya kondisi itu sudah kondusif, tinggal tingkat kostruksinya diperbaiki. Politik relatif stabil. Cuma saja, dalam skala luas, persoalan-persoalan personal kalangan elite selalu memunculkan ketidak-stabilan baru, ditengah formasi dan reformasi pusat-pusat politik baru.

Pada prinsipnya, apapun yang terjadi, sebetulnya semuanya mengarah pada proses yang dulu getol diulang dalam berbagai penataran: menuju bangsa dan manusia Indonesia seutuhnya. Ia butuh perjuangan, kerja keras, dan juga berpikir keras. Bahkan, kalau perlu, mengejek dan menjelek-jelekan diri sendiri, sebagai bekal intropeksi.  Jakarta @ September 2002.

Indra J. Piliang, peneliti politik dan perubahan sosial CSIS, Jakarta.

Kompas, Selasa, 19 November 2002

Akar-akar Hancurnya "Civil Society"

(Indra J. Piliang)

Inisiatif Kompas mempertemukan elemen muda Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Puncak, Bogor, tanggal 31 Oktober -- 1 November 2002 lalu, menunjukkan seriusnya permasalahan yang dihadapi. LSM terlihat gamang ketika merasa kehilangan musuh bersama, berupa state otoritarianism. Berbagai permasalahan yang muncul selama diskusi itu, menunjukan bahwa distrust juga terjadi di kalangan LSM yang selama ini dipadankan sebagai satu komponen utama civil society. Berbagai strategi dan formulasi disusun kembali, ditengah keterbatasan waktu.

Selama Orde Baru, LSM menjadi fenomena tersendiri karena seringkali menjadi satu unsur oposan terhadap kebijakan pemerintah, terutama dalam pilihan varian pembangunan. Sentralisasi pembangunan lewat apa yang dikenal sebagai Trilogi Pembangunan berupa stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan terasa kering dari partisipasi masyarakat akibat sentralisasi pemerintahan. Keberadaan partai-partai politik juga tak serta merta pembawa pada kehidupan yang demokratis, karena pada prinsipnya hanya dijadikan sebagai alat legitimasi pemerintahan. Sentralisasi yang paling menakutkan adalah ketika bergabungnya elemen pertahanan dan keamanan, dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kedalam panggung politik. Akibatnya, pemerintahan sepi dari dinamika. Masyarakat mengalami ketidakberdayaan dalam banyak segi. Ketika ketidakberdayaan itu semakin kuat, LSM muncul dengan itikad pemandirian kapasitas dan keunggulan masyarakat guna merumuskan sendiri tujuan-tujuan hidupnya dan cara mencapai tujuan itu.

Sifat politis LSM kemudian sulit dihindari, mengingat pola yang digunakan, antara lain lewat aksi demonstrasi. Ketidak-percayaan kepada state, membuat LSM sulit untuk menitipkan aspirasi yang mereka anggap penting untuk dijadikan sandaran pengambilan kebijakan oleh pemerintah.  Sedikit sekali aktivis LSM yang bergabung dengan partai-partai politik. Sekalipun terkenal getol untuk menghapuskan depolitisasi dan deideologisasi, suasana paradoks tercipta ketika proses itu diiringi dengan sikap anti politik. Tidak salah kalau ada yang menyebut kalau komponen oposisi berserak menghadapi otoritarianisme Orde Baru yang berbuah kepada kegagalan demi kegagalan.

***

Kini, keadaan sudah jauh berubah. Demokrasi sedang berkibat-kibar, ditunjukkan dengan keberadaan lebih dari 200 partai politik baru, juga berbagai spanduk dan bendera partai di jalanan. Akibatnya, LSM yang dulu terkenal sebagai arus utama pembongkaran dinding otoritarianisme menjadi semakin tergusur perannya, malah merasa tak punya common enemy. Ketika negara dijadikan sebagai musuh, aspek-aspek pemberdayaan masyarakat semakin ketinggalan. Padahal, kalau dilihat secara lebih substantif, common enemy LSM tidak jauh berubah, yaitu kemiskinan, kebodohan (illeteracy), pengangguran, kerusakan lingkungan, sampai alienasi dan marginalisasi indegenous people. Orientasi kearah itu jarang dilakukan oleh partai-partai politik, atau kelembagaan demokrasi seperti parlemen. Demokrasi mengalami pendangkalan, ketika produk kelembagaan demokrasi hanya seputar pembangunan insfrastruktur politik dan orientasinya tak bergeser dari ranah kekuasaan.

Society mengalami mutilasi pikiran, gagasan, dan kebijakan. Pelaku-pelakunya bukan hanya state aparatus, melainkan juga komponen civil society. Ketika LSM merasa menjadi pelaku tunggal aspirator pemberdayaan masyarakat, kondisi ketidak-berdayaan bukan makin hilang. Sebabnya kembali kepada metode civic education yang dilakukan oleh LSM yang diluar arus mainstream kalangan-kalangan pedagogis yang tidak percaya pada institusi sekolah. Paulo Freire, Ivan Illich, dan intelektual pedagogis lainnya sudah lama menjadi kiblat metode pendidikan kewarganegaraan oleh kalangan LSM, terutama di Amerika Latin. Anehnya, metode deschooling society ini tak diikuti dengan tekun oleh komponen civil society di Indonesia. LSM seperti terpenjara oleh rutinitas reaksioner terhadap produk kelembagaan demokrasi, seperti UU, juga kepungan arus globalisasi. Akibatnya LSM bukan hanya tak berhasil merumuskan musuh bersamanya, melainkan LSM sendirilah yang kemudian menjadi musuh bersama kalangan partai-partai politik, organisasi massa, sampai parlemen dan lembaga-lembaga internasional.

LSM akhirnya hanya bergerak pada garis maya, tercerabut dari akar kehidupan sosial (social life), dalam keadaan sangat mengenaskan. Metode yang digunakan terlalu mudah untuk dilumpuhkan, yaitu gerakan jalanan. Mengapa? Metode ini juga dilakukan oleh laskar-laskar sipil, pendukung partai-partai politik, sampai masyarakat luas yang ingin membentuk wilayah tersendiri atau berniat melengserkan kedudukan seorang pejabat publik. Ketika terjadi perpindahan sangat signifikan metode gerakan jalanan ini dari LSM atau gerakan mahasiswa, kepada masyarakat politik (political community), kiprah LSM semakin terpinggirkan.

***

Sebetulnya, sebagaimana diungkap seorang aktivis, perubahan metode sudah terjadi. Sekarang terdapat minimal 10 koalisi Organisasi Non Pemerintah (Ornop) terhadap satu masalah khusus, seperti pembaharuan konstitusi, reformasi agraria (land reform), masyarakat adat, kebebasan informasi, anti kekerasan, sampai diskriminasi rasial. Tetapi, koalisi itupun belum bekerja maksimal ketika, lagi-lagi, menjadikan state sebagai common enemy. Pilihan ini menjadi aneh dan sumir, mengingat state tidak lagi bersifat tunggal. Elemen-elemen didalam state juga mengalami dinamika internal yang kadang amat menyilaukan. Malah, akibat ketersumbatan kepemimpinan (lack of leadership), justru kondisi di tingkat state mengalami pembusukan (state fallacy). Kian kencang kritikan agar pembusukan itu dicegah, dengan memaksimalkan manajemen dan koordinasi, serta mengurangi berbagai kontraversi dan perbedaan pendapat di kalangan penyelenggara negara, terutama dalam lembaga kepresidenan dan kabinet.

Keadaan seperti ini, kalau diambil sikap yang paling oportunis, justru menguntungkan kalangan civil society. Tidak heran kalau kemudian muncul tuntutan agar dilakukan semacam gerakan civil disobidience (pembangkangan sipil) ketika negara semakin liar dan tak mampu melaksanakan tuntutan minimum pelayanan publik. Tetapi, sikap inipun tak diambil oleh mayoritas komponen civil society. Malah, sebagaimana yang dilakukan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB) yang terdiri dari elemen-elemen LSM, kaum intelektual, akademisi dan peneliti dalam upaya perumusan konstitusi baru dilakukan lewat interaksi yang intensif dengan komponen partai-partai politik, DPR dan MPR. Pilihan ini kadang disalah-artikan sebagai anti partai politik, malah juga penguburan partai-partai politik, oleh sebagian kalangan yang tidak paham dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal, dilema yang lebih serius justru terjadi dalam tubuh civil society yang tak sepakat dengan KKB, dengan menyebut KKB membantu terbentuknya strong state.

Tentu keadaan ini tak perlu berlanjut. Selain merumuskan tentang common enemy, sebetulnya masalah terbesar kalangan LSM adalah bagaimana melakukan pencucian darah mereka. Seringkali terdapat distorsi, juga saling curiga, ketika pilihan untuk berjarak atau mendekat kepada lembaga-lembaga negara dinilai secara hitam-putih. Akibatnya, state centrisism tetap menjadi dominan. Padahal, state sampai kapanpun tetap menjadi unsur utama dalam apa yang disebut sebagai Republik Indonesia ini. State juga mengalami dinamika tersendiri, diikat oleh berbagai perjanjian internasional dan berhubungan dengan lembaga-lembaga manca negara.

Untuk mencegah akar-akar kehancuran civil society, selayaknyalah pemaknaannya tidak lagi didominasi pandangan-pandangan klasik sebagai organisasi non state atau anty state. Kini kian terbentuk jaringan civil society global, dengan isu-isu khusus. Greenpeace yang dijadikan tolok ukur keberhasilan LSM, juga bergerak tanpa batas-batas negara, dan sedikit banyak berhasil mencegah kehancuran ekologis akibat revolusi hijau dan varian-variannya. Sudah saatnya LSM tidak lagi berpikir tentang state dan non state secara hitam-putih, karena letak LSM adalah dalam lingkup civil society. Kalau hanya sebatas perbedaan strategi atau metode perjuangan, hal-hal semacam ini mestinya tidak menjadi sandungan ideologis. Ketika negara berubah, masyarakat berubah, seyogyanya LSM juga berubah... Jakarta @ 2002.

Indra J. Piliang, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta. Anggota Koalisi untuk Konstitusi Baru.

Kompas, 10 Desember 2002


Mendayung Biduk Aceh dan Papua


Oleh Indra J. Piliang


Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Dalam bulan Desember 2002 ini, pemerintah pusat sedang berjibaku dengan dua daerah paling Timur dan paling Barat Indonesia, Papua dan Aceh. Untuk Papua, pemerintah merasa perlu mewanti-wanti agar tak terjadi lagi penaikan bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sedangkan untuk Aceh, skema penyelesaian damai sedang berusaha
ditandatangani antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah.

"Otonomi khusus adalah jawaban final bagi Papua maupun Aceh, sehingga tidak boleh ada lagi pengembangan baru di luar masalah itu. Di samping itu, Indonesia juga terus melakukan langkah-langkah diplomasi kepada negara-negara sahabat dengan menghimbau agar mereka tidak memberikan ruang apapun bagi gerakan separatis, tetapi
mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," ujar Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono (KCM, 29/11).


Untuk menjawab permasalahan Aceh dan Papua, pemerintah bersama DPR telah mengeluarkan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Kedua UU ini memang datang terlambat, ketika fungsi dan kinerja pemerintahan melemah akibat seringnya kekacauan politik yang bersumber dari pemimpin-pemimpin politik. Tetapi, untuk memulai upaya rekonsiliasi nasional, keduanya patut menjadi stepping stone
untuk membangun kembali batu-bata ranah negara dengan memberikan ruang yang lebih lebar kepada partisipasi warga negara. Namun, tanpa menghilangkan tingkat distorsi pelaksaaannya oleh kalangan pemerintahan yang bertikai, pendekatan struktural saja tidaklah cukup.


Dari sinilah, kedua UU ini menampung arus-arus dominan kultur masyarakat lokal, antara lain dengan memberlakukan syariat islam di Aceh dan membentuk semacam bicameral system dalam pemerintahan daerah Papua. Tingkat akomodasi politik yang tinggi ini, diiringi
dengan pembagian proporsi hasil sumber daya alam (potensi ekonomi) Aceh dan Papua dengan skema 70 % untuk kedua daerah berbanding 30 % untuk pusat.

Masalahnya, komitmen ini sering diiringi dengan perilaku bad governance yang tinggi, seperti korupsi. Penggelontoran dana dalam skala besar, tanpa adanya sistem politik yang demokratis dan bertanggung-jawab, hanya akan membuka peluang bagi penyelewengan
dari tikus-tikus berdasi. Padahal, sebagaimana ditulis Ben Anderson, Indonesia is a strange country by any measure, and now one where the potential opposition between nationalism and democracy is perfectly visible (The Age, 12 Mei 2001). Tanpa frame politik yang mencoba mendayung di antara biduk nasionalisme dan demokrasi itu, Indonesia mungkin akan berubah menjadi pecahan-pecahan kaca. Keadaan ini ditambah dengan beban baru yang berasal dari akumulasi permasalahan seputar terorisme.


***

Bingkai demokrasi yang berhadapan secara diametral dengan nasionalisme yang coba digagas Ben bahkan lebih maju lagi. "One of the biggest questions facing Indonesia today is whether a generally sensible federal political system can finally be created, or whether
it is already too late," tulis Ben. Spirit itu sesungguhnya sudah terbangun perlahan dalam kedua UU otonomi khusus ini. Pasal 5 ayat 2 UU No. 21/2001 menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.


Sedangkan pasal 10 ayat 1 UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi penyelenggaraan pelestarian adat, budaya dan pemersatu masyarakat di NAD. Kedua UU ini sekaligus menjadi autokritik atas UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang terasa kering dalam menampung
kekhasan budaya dan adat-istiadat lokal.


Tetapi, keindahan kedua UU ini langsung melepuh ketika menyaksikan pelaksanaannya, minimal selama satu tahun ini. Kepentingan politik Jakarta dalam bentuk intervensi berdasarkan pertimbangan jangka pendek terlalu mengemuka. Akibatnya, ketika luka-luka lama belum sembuh, tercipta luka-luka baru yang kembali memunculkan pesimisme.


Sejumlah Instruksi Presiden yang tingkatannya jauh dibawah UU diwarnai oleh metode pendekatan keamanan (security approach) yang selama ini gagal menjinakkan kelompok-kelompok separatis di kedua daerah. Pembunuhan terus berlangsung di kedua daerah yang tidak pernah bermuara pada proses peradilan secara transparan. Kedua daerah ini terus mengalami penyimpangan dari akar kultural. Lokakarya yang dilakukan oleh satu mitra lokal Partnership for Governance Reform di Aceh, misalnya, menyebutkan soal perdagangan
perempuan sebagai satu dari tiga kasus utama, selain korupsi. Di Papua, laporan media massa dan lembaga-lembaga kesehatan menyebutkan tingkat penderita HIV paling tinggi di Indonesia.

Tentu, masalah-masalah sosial yang mencuat ke permukaan itu merupakan kontribusi berbagai pihak. Hanya saja, pemerintah pusat tetap menjadi pihak yang paling dirugikan, karena bisa saja dianggap salah memberikan dosis obat atau bahkan melakukan mal praktek untuk mengatasi penyakit-penyakit sosial itu. Sebagaimana dengan daerah-
daerah lainnya di Indonesia, Aceh dan Papua mengalami kelumpuhan dalam hal yang menyangkut pelayanan publik. Tingkat buta huruf, pengangguran, putus sekolah, kesehatan, sampai kelaparan melanda sebagian besar generasi Aceh dan Papua dibawah usia 20 tahun.Padahal, generasi inilah yang diharapkan nantinya bisa membangun Aceh dan Papua dengan pola yang amat berlainan dengan belajar dari kegagalan demi kegagalan yang ditunjukkan oleh generasi yang lebih tua.


***

Pendekatan politik (political approach) yang kadang diintervensi oleh security approach ternyata hanyalah satu dari banyak ukuran dalam mendayung biduk Aceh dan Papua bersama biduk-biduk lainnya dalam bentangan Nusantara. Secanggih apapun biduk yang dibuat, apabila satu pendayungnya dilanda penyakit, akan membawa masalah bagi pendayung-pendayung lain. HIV sebagai penyakit menular dan pekerja seks sebagai penyakit sosial tidak bisa hanya dilihat sebagai bentuk penyimpangan tingkah lalu. Tanpa memperhatikan faktor- faktor lain, seperti keadilan sosial dan pemerataan ekonomi, sulit
berharap akan membawa pengaruh kepada demokrasi.


Untuk itu, perlu dicarikan padanan lain diluar pendekatan struktural berupa penumbuhan kelembagaan demokrasi lokal yang disandingkan dengan pendekatan kultural berupa pemberdayaan adat-istiadat lokal. Pendekatan itu apalagi kalau bukan human approach, sesuatu yang tampaknya basi dan terlalu filosofis dan eksotik. Selama elite-elite
politik pusat dan daerah masih memainkan relasi kuasa dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka, selama itu pula pembantaian demi pembantaian atas kemanusiaan terjadi dalam berbagai segi. Arah pembangunan semestinya lebih berorientasi kepada masalah-masalah kemanusiaan, ketimbang struktur dan infrastruktur. Kesalahan prioritas inilah yang terus-menerus terulang.


Pembentukan Kodam dan penerbangan perdana Seulawah Air di Aceh menunjukkan betapa sense of humanity begitu keriput. Pemekaran wilayah dan keluarnya peraturan daerah tentang jual beli minuman keras yang diprotes pengusaha di Papua adalah contoh dari
pembonsaian prinsip-prinsip hak-hak dasar manusia. Gelontoran dana trilyunan rupiah akhirnya akan tersedot kembali kepada pihak-pihak yang kuat secara ekonomi dan politik.


Agar biduk Aceh dan Papua tetap melaju bersama biduk-biduk Republik Indonesia lainnya, perlu perhatian yang lebih kepada pendayung- pendayung dan penumpang di kedua daerah. Sudah selayaknya elite- elite pusat dan daerah kembali merumuskan tujuan pemberian otonomi khusus, yakni pengembalian harga diri warga Aceh dan Papua yang banyak dirampas oleh megalomania negara.


Harga diri Aceh dan Papua akan semakin memekarkan kuncup demokrasi, apabila perhatian kepada kelompok-kelompok marginal lebih besar, ketimbang hanya kepentingan yang membonceng guyuran dana. Pembangunan sekolah, jaringan rumah sakit, pemukiman murah, listrik, dan lain-lainnya sesungguhnya sudah tersedia dalam daftar inventarisasi masalah di Aceh dan Papua. Kini, maukah Jakarta dan Pemda kedua provinsi, untuk merevisi lagi agenda-agenda pembangunan manusia di tahun kedua pelaksanaan otonomi khusus? Kita sungguh menunggunya... Jakarta @ 2002.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun