Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Faldo Maldini, striker politik masa depan andalan Universitas Indonesia dan Minangkabau. #Dokpri

Ibarat pintalan benang, politik telah mengusut-masaikan demokrasi. Akan teramat lama mencari di mana ujung, di mana pangkal, dari kekusutan itu, apabila logika politik elite tak sebangun dan senapas dengan logika masyarakat. Yang diperlukan hanya pengereman dari nafsu-nafsu barbarian untuk sampai ke puncak piramida kekuasaan. Yang dibutuhkan hanyalah gembok dan tembok demokrasi diluluh-lantakkan, dengan proses pemerdekaan politik dari egoisme pelaku-pelakunya.

Politik, dalam hakikat dasarnya, adalah medium perjuangan. Lainnya, tidak. Itu yang dilakukan the founding fathers and mothers sebagai the golden age kita, dalam mata-rantai Naar een Republik Indonesia. Dalam teologi Hindu, kita membutuhkan Wisnu, sang pemelihara. Ketakutan kita kepada Siwa, Sang Perusak, pelan-pelan justru mengubah kita menjadi Siwa. Bagaimana bisa kita memelihara kedamaian, sekaligus menciptakan kesejahteraan di Aceh, misalnya, apabila yang kita kerahkan adalah para serdadu dalam serial Barata Yudha yang tak jelas siapa Pandawa atau Kurawanya?

Sidang Tahunan MPR tahun ini adalah sedikit dari ranah politik yang masih bisa diharapkan untuk melakukan sedikit langkah ke arah renaisans alias penggalian kembali nilai-nilai yang mencerahkan demokrasi dalam balutan cahaya imani dan kemanusiaan, demi masa depan. Political enlightment adalah proses yang mesti terus-menerus dilakukan agar politik tak kehilangan relevansi. Sebab, politisi bukan manusia setengah dewa apalagi dewa, dengan menjadikan partai politik dan lembaga politik sebagai pesemayaman seperti Gunung Olympus.

Berupaya menjadi politisi biasa, politisi kebanyakan, dengan mengaitkan standar kehidupan dengan mayoritas rakyat, adalah langkah yang tak memerlukan biaya tinggi. Hanya sesederhana itu parameternya. Ibarat bangunan, yang diperlukan sekarang bukan desainer yang merancang adonan kebangsaan dari fondasi awal, melainkan hanya para seniman politik yang bisa memoles rumah demokrasi dengan sepuhan empati dan suara hati.

Seyogianya apabila politisi yang berjumlah 700 orang di MPR itu menjalankan metode ini, bahkan tanpa perlu dengan cara mengkomparasikannya dengan lapisan pembebas pertama Indonesia, atau yang disebut Ben Anderson sebagai "Para Perintis Kreol", politik tak akan berubah menjadi kesia-siaan. Terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan, terlalu sedikit yang telah disumbangkan politisi, dan terlalu besar biaya moral, intelektual, dan material yang harus dikorbankan, apabila politik terus-menerus mengalami alienasi dari kepentingan masyarakat.

Kita sudah kehilangan pengamatan reflektif dari satu Indonesianis seperti Reid: akankah kita juga akan mengalami embargo intelektual dari akademisi lainnya?

Indra J Piliang Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta.

Kompas, 28 September 2002

Bangsa Setengah Pahlawan

(Indra J. Piliang)

Presiden Megawati mencontohkan ketidak-konsekuenan bangsa Indonesia dalam soal pahlawan. Dikatakan, bangsa Indonesia terbiasa untuk tidak mau mengatakan pahlawan itu besar artinya buat bangsa. "Pak Agum (Menteri Perhubungan Agum Gumelar, Red) minta izin saya untuk menginstruksikan bagaimana caranya membawa kembali jasad-jasad pahlawan kita yang berguguran di Timor Timur. Kalau persoalan ini spontanitas, maka saya tidak segera mengiyakan, karena saya melihat bahwa kita ini sebagai bangsa setengah, sebab kita seringkali tidak konsekuen terhadap apa yang dilakukan," kata Megawati (Kompas, 14/09/2002). Komentar Presiden itu menjadi satu dari sejumlah kontraversi yang diciptakan selama pemerintahannya, termasuk soal "pemerintahan keranjang sampah".

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun