Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mendayung Biduk Aceh dan Papua


Oleh Indra J. Piliang


Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Dalam bulan Desember 2002 ini, pemerintah pusat sedang berjibaku dengan dua daerah paling Timur dan paling Barat Indonesia, Papua dan Aceh. Untuk Papua, pemerintah merasa perlu mewanti-wanti agar tak terjadi lagi penaikan bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sedangkan untuk Aceh, skema penyelesaian damai sedang berusaha
ditandatangani antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah.

"Otonomi khusus adalah jawaban final bagi Papua maupun Aceh, sehingga tidak boleh ada lagi pengembangan baru di luar masalah itu. Di samping itu, Indonesia juga terus melakukan langkah-langkah diplomasi kepada negara-negara sahabat dengan menghimbau agar mereka tidak memberikan ruang apapun bagi gerakan separatis, tetapi
mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," ujar Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono (KCM, 29/11).


Untuk menjawab permasalahan Aceh dan Papua, pemerintah bersama DPR telah mengeluarkan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Kedua UU ini memang datang terlambat, ketika fungsi dan kinerja pemerintahan melemah akibat seringnya kekacauan politik yang bersumber dari pemimpin-pemimpin politik. Tetapi, untuk memulai upaya rekonsiliasi nasional, keduanya patut menjadi stepping stone
untuk membangun kembali batu-bata ranah negara dengan memberikan ruang yang lebih lebar kepada partisipasi warga negara. Namun, tanpa menghilangkan tingkat distorsi pelaksaaannya oleh kalangan pemerintahan yang bertikai, pendekatan struktural saja tidaklah cukup.


Dari sinilah, kedua UU ini menampung arus-arus dominan kultur masyarakat lokal, antara lain dengan memberlakukan syariat islam di Aceh dan membentuk semacam bicameral system dalam pemerintahan daerah Papua. Tingkat akomodasi politik yang tinggi ini, diiringi
dengan pembagian proporsi hasil sumber daya alam (potensi ekonomi) Aceh dan Papua dengan skema 70 % untuk kedua daerah berbanding 30 % untuk pusat.

Masalahnya, komitmen ini sering diiringi dengan perilaku bad governance yang tinggi, seperti korupsi. Penggelontoran dana dalam skala besar, tanpa adanya sistem politik yang demokratis dan bertanggung-jawab, hanya akan membuka peluang bagi penyelewengan
dari tikus-tikus berdasi. Padahal, sebagaimana ditulis Ben Anderson, Indonesia is a strange country by any measure, and now one where the potential opposition between nationalism and democracy is perfectly visible (The Age, 12 Mei 2001). Tanpa frame politik yang mencoba mendayung di antara biduk nasionalisme dan demokrasi itu, Indonesia mungkin akan berubah menjadi pecahan-pecahan kaca. Keadaan ini ditambah dengan beban baru yang berasal dari akumulasi permasalahan seputar terorisme.


***

Bingkai demokrasi yang berhadapan secara diametral dengan nasionalisme yang coba digagas Ben bahkan lebih maju lagi. "One of the biggest questions facing Indonesia today is whether a generally sensible federal political system can finally be created, or whether
it is already too late," tulis Ben. Spirit itu sesungguhnya sudah terbangun perlahan dalam kedua UU otonomi khusus ini. Pasal 5 ayat 2 UU No. 21/2001 menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.


Sedangkan pasal 10 ayat 1 UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi penyelenggaraan pelestarian adat, budaya dan pemersatu masyarakat di NAD. Kedua UU ini sekaligus menjadi autokritik atas UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang terasa kering dalam menampung
kekhasan budaya dan adat-istiadat lokal.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun