"Kayaknya ada bukuku yang ketinggalan, Bu. Buku yang ada namaku di sampulnya, warna hitam. Kalau gak salah kuletakin di tempat tidur. Coba lihatin dulu, Bu. Kalau ada, pindahin ke rak," katanya buru-buru. Aku masih bertanya-tanya apa sebenarnya yang mengejar Jingga hingga gadis itu suka terburu-buru begitu.
      Namun, aku tak memperpanjang.
      Buku hitam milik Jingga benar-benar ada di atas tempat tidurnya. Terletak di sebelah pena dengan tutup kepala beruang---pena milik Jingga yang sudah kulihat sejak dia masih duduk di bangku SMP. Aku duduk saja di sebelahnya. Mengedarkan pandangan ke penjuru kamar yang senantiasa rapi meski tak ditinggali. Tak hanya isi lemarinya yang rapi, buku-bukunya saja disusun terurut berdasarkan abjad.
      Jingga dan kamarnya adalah satu kesatuan privasi yang jarang kusentuh. Namun hari ini, entah apa yang menggerakkan naluriku untuk membuka buku hitam miliknya. Namanya mengisi halaman pertama. Ditulis dengan tinta berwarna silver yang menyala. Lembar-lembar selanjutnya dipenuhi puisi, kutipan-kutipan pendek, atau ide-ide menulisnya yang tak sepenuhnya kubaca.
      Aku berhenti lama di pertengahan halaman. Judul yang ditulis Jingga memenjaraku, membuatku merenung panjang, sebelum berakhir tersedu-sedu hingga mataku sembab, hingga tulisan tangan Jingga buram di beberapa bagian, bahkan hingga matahari bergerak naik setinggi kepala.
      Judulnya; Ibuku tak Sempurna, Aku Juga.
      ***
       /Ibuku tak sempurna, aku juga
      Hal-hal yang menyakiti perasaannya, ada di luar kendaliku
      Seolah perintah alam bawah sadar agar ia selalu tahu aku mampu
      Tak kuizinkan ia memasuki duniaku,