Untuk hal apapun yang dilalui Jingga.
      "Anak gadis mana yang tidur secepat ini?"
      Sosok Prama muncul dari arah belakangku. Cepat-cepat aku menutup pintu kamar Jingga. "Jangan berisik! Dia sedang tidur," kataku. Mendung yang melingkupiku hadir kembali. Siap menurunkan hujan.
      Kubawa Prama mengikuti langkahku ke dapur. Sudah ada makan malam yang kusiapkan. Makan malam yang lagi-lagi dilewatkan Jingga karena alasan lelah berberes dari kemarin siang.
      "Jingga belum makan?" tanya Prama.
      Aku menggeleng sedih. Kecewa. Akhir-akhir ini, Jingga memang punya hobi baru, yakni mengecewakanku. "Dia selalu begini. Gimana aku gak marah? Gimana aku gak terus ngomel? Dia sama sekali gak peduli dengan kesehatannya," gerutku, sebal. Aku ingin menyalahkan sesuatu yang sudah merenggut Jingga-ku yang baik. Sayangnya, aku tidak tahu apa itu.
      "Sudahlah!" tukas Prama. Tanpa beban dia menyendokkan nasi dan lauk-pauknya ke piringnya, bahkan ke piringku. "Jingga sudah mulai dewasa. Dia akan makan kalau sudah lapar."
      "Dia bisa sakit parah kalau mengikuti pikiran konyol kamu itu."
      "Jangan bilang begitu, Mala! Ucapan kamu itu bisa jadi doa."
      Dadaku mendadak sesak. Aku kehilangan selera untuk menyantap semur ayam yang sebelumnya kuidam-idamkan. "Kalian berdua sama aja. Bulan kemarin kamu suruh Jingga menginap di rumah sakit atau datangi kantor polisi kalau tidak ada angkutan umum untuk pulang. Huh, setidaknya ajarkan Jingga yang baik-baik."
      "Mala, apa kamu berencana hidup selamanya dengan Jingga?"