"Kamu pikir, Jingga berubah. Tapi bagaimana kalau sebenarnya kamu, kita, yang tidak tahu apa-apa tentang Jingga? Seingatku, hampir dua puluh tahun, belum pernah kita ajak dia duduk bersama lalu kita tanya bagaimana perasaannya. Belum pernah kita tanyakan hari-hari berat apa yang tengah dilaluinya. Dan pahitnya, kita pun tak meminta persetujuannya untuk hal-hal yang kita anggap baik itu. Kita terpaku pada kata 'kamu harus' sampai melupakan kenyataan bahwa sesekali kita juga harus memberi pertanyaan 'bagaimana', Mala."
      Aku terhenyak. Buku apa yang dibaca Prama akhir-akhir ini? Bergaul dengan anak muda mana lagi dia sampai punya pemikiran seaneh itu. Orang tua mana yang butuh persetujuan anaknya untuk keputusan baik yang ingin dipilihkannya.
      "Orang tua yang baik," kata Prama melanjutkan. "Orang tua yang baik seharusnya juga memberi pertanyaan, bukan menitah saja, Mala. Bahkan di mataku, Jingga juga gadis kecil penyuka es krim rasa cokelat, bukan bergelas-gelas kopi pahit. Namun, aku mencoba memahaminya, Mala. Aku mencoba membunuh rasa khawatirku, rasa takut dan cemasku untuk melihatnya tumbuh tangguh di atas kakinya sendiri. Aku mencoba memahami bahwa apa yang kurasa baik, belum tentu baik untuk Jingga."
      Aku berbalik. Celotehan Prama menyebalkan, juga menamparku habis-habisan. Entah dari mana dia punya kebiasaan bicara sebanyak itu. Dan entah kesadaran apa yang membuatnya bicara seolah mengenal Jingga lebih baik dariku. Pelan-pelan mataku yang mendung, menjatuhkan hujannya. Prama sudah gila! Ibu mana yang bisa selapang dada itu melepas kepergian anaknya?
      "Mala, Jingga kita mulai beranjak dewasa." Prama mengingatkanku lagi. Disusul telapak tangan kasarnya yang menyentuh bahuku. "Kamu benar, di luar sana itu mengerikan. Sangat mengerikan. Dan itulah yang harus dihadapi Jingga kita. Jingga tidak terbiasa menghadapi hal kejam dan mengerikan itu, Mala. Kita melarangnya untuk terbiasa. Mengekang, atau hanya bicara seolah kita paling tahu apa yang akan dialaminya, bisa saja membuat Jingga kita yang malang semakin tertekan. Ikhlaskanlah kali ini. Banyak orang yang bilang bahwa tahun kedua dan tahun-tahun setelahnya adalah masa-masa yang berat bagi seorang mahasiswa."
      Aku kehilangan suara untuk menyahut. Kesedihanku menumpuk. Cemas dan takutku tak berkurang sedikitpun. Sebaliknya, aku merasa semakin rendah dan terpuruk karena kali ini, Prama pun sudah tak di pihakku lagi. Kutepis pelan tangan Prama dari bahuku. Aku menangis sejadi-jadinya, tanpa suara, di antara bantal dan guling yang kudekap erat-erat. Di saat-saat begini, kuharap Jingga sudi mengecilkan volume dari lagu-lagu Westlife yang diputarnya melalui ponsel, dan mendengar kepiluanku.
      Agar sepertiku malam ini, Jingga juga merasakan tamparan yang sama.
      Sebelum terlelap dan menutup hari itu, samar-samar kudengar suara Prama dari arah meja kerjanya. "Jingga kita sudah merelakan perasaan kalutnya karena memikirkan perasaan kita selama bertahun-tahun, Mala. Kali ini situasinya pastilah lebih pelik sampai Jingga tak mampu menahan diri lagi. Kuharap tak hanya aku, kau juga mau memikirkan badai apa saja yang tengah dilalui Jingga saat ini, alih-alih hanya memikirkan rasa cemasmu.
      "Mala, Jingga kita tumbuh dewasa, dan kita menua. Kita bisa apa?"
      ***
      "Kalau Ibu mau aku hidup senang dan tenang, Ibu bilang dari awal! Supaya aku gak repot-repot kuliah, gak belajar keras-keras. Aku tinggal aja di rumah ini selamanya, makan enak, tidur enak, nggak ada hal yang perlu aku pikirkan."