Aku mengangkat kepala. Itu pertanyaan yang tidak kupunya jawabannya.
      "Jingga kita sudah beranjak dewasa. Dia mulai tahu apa yang layak dan tidak layak untuknya. Dia mulai tahu hal apa yang mengganggu dan menenangkannya. Dia mulai tahu memilih apa yang dirasanya baik untuknya. Kita tidak bisa mengekang Jingga, mengatakan aturan dan pilihan kita adalah jalan paling tepat dan paling ben---"
      "Aku melakukannya selama delapan belas tahun," selaku. Mataku panas luar biasa. Lain lagi dengan ruang sempit di dadaku yang menyesakkan. "Delapan belas tahun, Pram. Tidak ada satupun orang yang mengenal Jingga lebih baik dariku. Kamu bisa baik-baik aja kalau Jingga terluka atau mati di luar sana, tapi aku tidak. Aku tidak akan pernah bisa, Pram."
      Emosiku meluap akhirnya. Serupa kepulan asap yang pecah ditiup angin. Kudengar hembusan napas Prama berubah gusar. Kehabisan cara menenangkanku, barangkali. Sesuatu yang tak sedikitpun membuatku bangga sebab dalam diriku, aku hampir meledak saking sedihnya, saking kesalnya, saking kecewanya, saking gusar dan cemasnya dengan Jingga dan dunia baru yang dimasukinya.
      "Di luar sana itu mengerikan, Pram!" ketusku mengakhiri makan malam kami malam itu.
      Namun, Prama tidak menyerah. Tepat pukul sepuluh malam, saat kudengar dentingan sendok di dapur tanda Jingga sedang mengisi perutnya, Prama menamparku dengan satu pertanyaan menohok. "Bagaimana kalau rumahnyalah yang mengerikan, Mala? Bagaimana kalau sebenarnya, Jingga merasa hal mengerikan itu ada di rumahnya sendiri?"
      Itu tidak mungkin. Aku mencoba merapal keyakinan yang sama di kepalaku selama delapan belas tahun terakhir. Aku membesarkan Jingga dengan baik, menjadikannya gadis baik hati yang penurut, dan tak pernah sekalipun membuatku kesal atau kecewa. Jingga hidup baik-baik saja. Mustahil dia menganggap rumahnya sebagai hal yang mengerikan.
      Akhir-akhir ini, orang-orang suka berbicara seolah paling tahu segala.
      "Kamulah yang sok paling tahu segalanya, Mala," ujar Prama.
      Itu kata-kata Prama yang paling menamparku tepat di ulu hati. Perih rasanya. Luka-luka yang coba kuobati, kembali menganga. Bagaimana mungkin Prama meragukanku soal itu? Sialnya, air mata sebagai senjata akhir paling mutakhir sedang enggan bekerja sama denganku.
      "Kamu bilang, Jingga berubah akhir-akhir ini. Anakmu yang baik hati dan penurut, sudah hilang. Jingga yang kini di rumah kita adalah Jingga yang aneh, lain dari yang coba kamu bentuk. Dia mudah mengantuk, tidak senang diajak mengobrol, jarang ikut makan bersama, bahkan semakin sering mendebatmu untuk hal-hal yang kecil, kan?