Konsep habitus diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog terkemuka asal Prancis yang banyak berkontribusi dalam pengembangan teori sosial kontemporer. Menurut Bourdieu, habitus merupakan struktur mental atau sistem disposisi yang terbentuk secara mendalam dalam diri individu melalui proses internalisasi pengalaman sosial dan budaya yang berlangsung secara panjang dan berkelanjutan sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Habitus dapat dipahami sebagai kumpulan skema berpikir, merasakan, dan bertindak yang secara tidak disadari mengarahkan perilaku seseorang dalam berbagai situasi sosial. Dengan kata lain, habitus adalah modal kultural yang membentuk cara individu memahami dan merespons dunia di sekitarnya, termasuk nilai, norma, dan praktik-praktik sosial yang telah melekat dalam dirinya.
Dalam konteks perpajakan, konsep habitus menjadi sangat relevan untuk menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku wajib pajak terbentuk dan berfungsi. Habitus perpajakan merujuk pada pola pikir, nilai-nilai, dan kebiasaan yang dimiliki oleh individu sebagai warga negara dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Pola-pola ini tidak muncul secara tiba-tiba atau hanya sebagai respons terhadap regulasi hukum, melainkan merupakan hasil dari interaksi sosial, proses pendidikan, dan pengalaman hidup yang membentuk kesadaran dan persepsi terhadap pajak. Contohnya, seseorang yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan tanggung jawab sosial cenderung menginternalisasi sikap positif terhadap kewajiban perpajakan. Sebaliknya, apabila lingkungan sosialnya penuh dengan praktik penghindaran pajak atau ketidakpercayaan terhadap pemerintah, maka habitus perpajakan yang terbentuk mungkin akan menimbulkan sikap acuh atau bahkan negatif terhadap pajak.
Penting untuk dipahami bahwa habitus bukanlah sesuatu yang statis atau kaku. Sebaliknya, habitus bersifat dinamis dan fleksibel, yang memungkinkan perubahan dan pembentukan ulang melalui proses pendidikan, pengalaman baru, serta interaksi sosial yang berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa habitus perpajakan dapat dibangun dan dikembangkan secara sengaja melalui upaya pendidikan karakter, penyuluhan, dan pembinaan yang menyentuh aspek kultural dan psikologis wajib pajak. Dengan kata lain, membangun habitus perpajakan bukan hanya soal menegakkan aturan atau memberikan sanksi, melainkan menanamkan kesadaran, nilai moral, dan kebiasaan positif yang didasari oleh pemahaman mendalam akan pentingnya pajak bagi pembangunan dan kesejahteraan bersama.
Pendekatan pembentukan habitus perpajakan ini menuntut strategi yang komprehensif dan berkelanjutan, yang melibatkan berbagai pihak mulai dari keluarga, sekolah, lembaga pendidikan, pemerintah, hingga masyarakat luas. Melalui pendidikan perpajakan yang mengedepankan nilai-nilai integritas, keadilan sosial, dan rasa kebangsaan, diharapkan pola pikir dan tindakan wajib pajak dapat berubah secara fundamental, dari sekadar patuh karena takut sanksi menjadi patuh karena kesadaran dan komitmen moral. Dengan demikian, habitus perpajakan yang kuat akan menjadi fondasi utama dalam mewujudkan sistem perpajakan yang efektif, adil, dan berkelanjutan.
Habitus Perpajakan
Habitus perpajakan merupakan kerangka berpikir, sikap, dan perilaku warga negara dalam konteks kewajiban perpajakan yang terbentuk secara mendalam melalui proses internalisasi nilai-nilai sosial, budaya, dan pendidikan. Habitus ini bukan sekadar kumpulan kebiasaan mekanis, melainkan suatu pola disposisi yang mengarahkan bagaimana individu memahami, merasakan, dan bertindak dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara sadar dan bertanggung jawab. Dalam kerangka ini, habitus perpajakan memiliki beberapa dimensi penting yang saling terkait dan membentuk keseluruhan pola perilaku warga negara terhadap pajak, yaitu:
- Dimensi Kognitif
Dimensi ini berkaitan dengan aspek pemahaman dan pengetahuan wajib pajak mengenai fungsi, tujuan, dan peran pajak dalam pembangunan nasional. Individu dengan habitus perpajakan yang baik memiliki wawasan yang memadai tentang bagaimana pajak menjadi sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya yang berkontribusi langsung pada kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Pemahaman ini menjadi landasan rasional bagi kesadaran pajak sehingga perilaku patuh tidak didasarkan hanya pada kewajiban formal, tetapi juga atas kesadaran akan kontribusi positif terhadap masyarakat luas. - Dimensi Afektif
Dimensi afektif mengacu pada kesadaran emosional dan nilai moral yang tertanam dalam diri wajib pajak terkait dengan pentingnya kontribusi pribadi terhadap keberlangsungan negara. Ini meliputi rasa tanggung jawab, solidaritas sosial, dan kebanggaan sebagai bagian dari warga negara yang aktif berperan dalam pembiayaan negara melalui pajak. Dimensi afektif ini mendorong wajib pajak untuk melihat pembayaran pajak bukan sebagai beban atau kewajiban yang memberatkan, melainkan sebagai wujud cinta tanah air dan kewajiban sosial yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan sukarela. - Dimensi Konatif
Dimensi konatif merupakan aspek perilaku dan kebiasaan yang nyata dalam tindakan wajib pajak, seperti secara konsisten melaporkan, menghitung, dan membayar pajak secara tepat waktu, lengkap, dan benar. Dimensi ini mencerminkan implementasi nyata dari pemahaman dan kesadaran yang telah terbentuk sebelumnya dalam dimensi kognitif dan afektif. Habitus konatif akan mengarahkan wajib pajak untuk melakukan kewajiban perpajakan bukan karena takut sanksi, melainkan karena kebiasaan positif dan rasa tanggung jawab yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Pembentukan habitus perpajakan dengan ketiga dimensi tersebut tidak bisa dicapai hanya melalui pendekatan teknis atau penegakan hukum semata, seperti sosialisasi perpajakan yang bersifat mekanis atau pemberian sanksi administratif. Hal ini membutuhkan pendekatan pendidikan yang mampu menyentuh ranah nilai, karakter, dan budaya masyarakat secara menyeluruh. Di sinilah peran penting pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara menjadi sangat strategis. Ki Hadjar Dewantara menawarkan kerangka filosofis dan metodologis pendidikan yang integral dan humanistik, yang menekankan pengembangan karakter melalui keteladanan, pemberdayaan, dan pendampingan.
Melalui sistem pendidikan among yang beliau gagas, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha (keteladanan dari pimpinan atau pendidik), Ing Madya Mangun Karsa (pemberdayaan dan motivasi dari tengah masyarakat), dan Tut Wuri Handayani (dorongan dan pendampingan dari belakang), proses pembentukan habitus perpajakan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan menyentuh aspek kognitif, afektif, dan konatif secara simultan. Dengan pendekatan ini, wajib pajak tidak hanya diberikan pengetahuan dan aturan teknis, tetapi juga dibina secara holistik sehingga lahir kesadaran moral dan kebiasaan positif yang melekat kuat dalam kehidupan berbangsa.
Dengan demikian, integrasi nilai-nilai pendidikan Ki Hadjar Dewantara ke dalam sistem perpajakan dapat memperkuat fondasi habitus perpajakan yang kokoh, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela, berkelanjutan, dan berlandaskan rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.
Pendidikan sebagai Instrumen Pembentukan Habitus
Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai sebuah proses fundamental yang tidak hanya sekadar menyampaikan pengetahuan atau transfer ilmu secara mekanis, melainkan sebagai suatu usaha sistematis dan terencana untuk menuntun segala potensi dan kekuatan kodrat yang ada dalam diri anak-anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia utuh yang memiliki kemampuan intelektual, emosional, dan moral yang seimbang. Tujuan utama pendidikan menurut Ki Hadjar adalah agar setiap individu sebagai manusia sekaligus anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya dalam hidupnya. Pandangan ini menunjukkan bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam membentuk karakter dan nilai-nilai moral yang menjadi landasan perilaku dan sikap hidup seseorang dalam berbagai aspek kehidupan sosial.