Secara Teoritis:
- Memberikan kerangka baru dalam studi perpajakan yang menggabungkan pendekatan sosiologis dan pedagogis.
- Menawarkan wawasan tentang pendidikan karakter sebagai fondasi pembentukan perilaku wajib pajak.
Secara Praktis:
- Menjadi acuan bagi pembuat kebijakan pajak dalam merumuskan strategi edukasi pajak berbasis nilai budaya.
- Mendorong lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, untuk berperan aktif dalam membentuk generasi sadar pajak.
Secara Sosial:
- Membangun budaya kepatuhan pajak yang tidak hanya berdasar pada ketakutan terhadap sanksi, tetapi juga pada nilai-nilai luhur kebangsaan.
BAGIAN II. KERANGKA TEORITIS: TRANSSUBSTANSI DAN HABITUS PERPAJAKAN
Makna Trans-substansi
Secara etimologis, istilah "trans-substansi" berasal dari gabungan dua kata, yaitu "trans" dan "substansi." Kata trans memiliki makna melampaui, melewati, atau melintas, sedangkan substansi berarti inti, esensi, atau hakikat dari sesuatu. Jika digabungkan, trans-substansi dapat diartikan sebagai sesuatu yang melampaui esensi suatu hal, atau suatu proses yang menembus dan mengintegrasikan inti-inti dari berbagai elemen yang berbeda. Dalam konteks ilmu pengetahuan dan kajian interdisipliner, trans-substansi merujuk pada sebuah metode atau pendekatan lintas disiplin yang berupaya menggabungkan, menyesuaikan, dan mengadaptasi nilai-nilai, konsep, atau prinsip-prinsip fundamental dari satu bidang ilmu ke bidang ilmu lainnya. Dengan kata lain, pendekatan trans-substansi membuka ruang dialog dan interaksi antara berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan pemahaman dan solusi yang lebih kaya, menyeluruh, dan kontekstual terhadap masalah-masalah kompleks yang tidak bisa diselesaikan oleh satu perspektif ilmu saja.
Pendekatan ini sangat relevan terutama dalam menghadapi problematika multidimensional seperti rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia. Dalam hal ini, persoalan kepatuhan pajak bukan hanya persoalan administratif atau legal semata, melainkan juga menyangkut faktor-faktor sosial, budaya, psikologis, dan edukatif yang saling berinteraksi. Oleh karena itu, dibutuhkan perspektif yang mampu menyerap dan mengintegrasikan nilai-nilai dari bidang lain agar sistem perpajakan dapat berfungsi secara optimal dan berkeadaban.
Dalam tulisan ini, konsep trans-substansi dimaknai secara khusus sebagai upaya mengambil nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip dasar dari pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara tokoh pendidikan nasional yang dikenal dengan paradigma pendidikan integral, humanistik, dan berbasis karakter untuk kemudian diaplikasikan dan diadaptasi ke dalam konteks sistem perpajakan. Hal ini bertujuan untuk membangun sebuah sistem perpajakan yang tidak hanya bersifat mekanis dan administratif, tetapi juga mencerminkan kesadaran moral, tanggung jawab sosial, dan semangat kebangsaan yang mendalam. Pendekatan ini menjadikan perpajakan sebagai sebuah proses pendidikan dan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan, di mana setiap warga negara bukan hanya melihat pajak sebagai kewajiban formal, tetapi juga sebagai bagian dari kontribusi nyata untuk kemajuan bersama.
Sebagai contoh konkret penerapan pendekatan trans-substansi ini adalah ketika prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu "Tut Wuri Handayani," yang secara harfiah berarti "memberikan dorongan dari belakang," digunakan sebagai filosofi dalam membina dan mengelola hubungan antara negara dan wajib pajak. Dalam konteks ini, negara tidak hanya berperan sebagai aparat penegak hukum yang memaksakan kewajiban dengan sanksi dan ancaman, melainkan juga sebagai fasilitator dan pendamping yang memberikan dukungan, bimbingan, dan edukasi kepada wajib pajak agar mereka mampu memahami dan melaksanakan kewajiban perpajakan secara sukarela dan bertanggung jawab. Dengan demikian, negara hadir sebagai kekuatan pendorong yang memberi motivasi dan ruang tumbuh bagi kesadaran perpajakan, bukan sekadar sebagai pengawas atau penghakim.
Pendekatan semacam ini sekaligus menggeser paradigma perpajakan dari model top-down yang cenderung bersifat koersif, menuju model bottom-up yang humanis dan partisipatif. Melalui bimbingan yang inspiratif dan keteladanan dalam praktik pelayanan perpajakan, diharapkan terbentuk habitus perpajakan yang kokoh, di mana nilai-nilai kejujuran, integritas, dan solidaritas sosial tumbuh dan melekat dalam setiap individu sebagai warga negara. Dalam jangka panjang, pendekatan trans-substansi ini mampu menjadikan perpajakan sebagai instrumen transformasi sosial yang menyentuh aspek budaya dan mentalitas masyarakat, sehingga kepatuhan pajak bukan lagi menjadi beban, melainkan menjadi bagian dari identitas dan tanggung jawab moral sebagai anggota komunitas bangsa.
Habitus dalam Perspektif Sosiologi