Aduhai, sungguh berat melakoni hidup ini, pikir saya di sela menarik garis berisi notasi ukuran detailnya.
Saya juga menduga bahwa Sarwan tidak sedang menyadari tentang perbudakan yang nyata ini. Dengan ketiadaan konsultan perencana, gambar kerja yang tidak akurat, aneka perubahan pekerjaan, dan faktor usia Pak Demun yang sudah delapan puluhan tahun dengan terkadang lupa merupakan persoalan serius. Â
Sarwan pernah menceritakan ikhwal proyek kali ini sebagai kelanjutan dari proyek sebelumnya di lokasi lainnya. Sarwan kecewa berat karena ia merasa dilecehkan oleh dua bos kontraktor lainnya di sana. Di proyek kali ini Sarwan berambisi untuk membuktikan dirinya mampu.
Aduhai, Sarwan. Diperbudak ambisi justru bisa "bunuh diri" lho. Harga yang berubah, bahkan jauh di bawah harga standar minimal dalam penawaran merupakan upaya "bunuh diri" secara perlahan.
Bu Lia sudah sering mengingatkan bahwa pekerjaan yang disodorkan oleh Pak Demun merupakan pengisapan segala aspek kemanusiaan. Drakula yang senyatanya. Sarwan dipekerjakan seolah sekadar mandor dengan harga jasa yang kedodoran.
***
Jauh bulan sebelum bergabung dalam pekerjaan ini, saya memang pernah ditawari posisi oleh Sarwan untuk menangani pekerjaan pengembang. Saya menolak tawarannya.
"Gajinya lebih besar lho, Ji."
"Terserah mau besarnya seberapa pun, Wan. Aku sudah berjanji untuk bekerja di tempatmu, bukannya ke pengembang karena gaji yang besar itu."
Sebelumnya pun saya disiapkan Sarwan dengan posisi tenaga lapangan, fasilitas tinggal, kendaraan, gaji, bahkan iming-iming sejumlah bonus. Saya tidak tertarik pada bonus, karena terlalu dini memikirkan itu. Lha wong bekerja saja belum, berprestasi saja belum, kok nekat memikirkan bonus, sih?
"Ya, terserah kamu deh, Ji."