Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tidak Mau Menggambar Lagi

5 Desember 2019   01:39 Diperbarui: 5 Desember 2019   02:13 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku pegang komitmen awal atas nama perkawanan, bukannya hal-hal yang melampaui semua itu, Wan."

Memang begitulah adanya. Saya bersyukur bahwa sejak awal saya menolak tawaran untuk bergabung dengan pengembang. Ternyata sudah benar penolakan saya, berkaitan dengan tata-kelola pekerjaan dan sumber daya manusianya yang kurang menjadi prioritas di pihak pengembang.

Kalau saya mata duitan, dan mudah tergiur khayalan sendiri mengenai sebuah pengembang, sudah pasti runyam-lah urusan pekerjaan, koordinasi, dan seterusnya. Jangankan saya yang tidak memiliki ikatan keluarga atau riwayat perkawanan dengan Pak Demun, lha wong anak-anaknya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk proyek milik Pak Demun ini.

Anak buah Pak Demun di lokasi, seorang andalannya adalah pensiunan aparat bernama Pak Semprul. Tidak memahami tata-kelola pekerja dan pekerjaan di bidang manajemen konstruksi. Tidak memahami perihal material dengan spesifikasi beserta kualitasnya. Tidak memahami perihal gambar kerja, dan prosedur yang sewajarnya. Dan seterusnya.

Pak Demun sama sekali tidak menyiapkan konsultan perencana, gambar kerja, rencana anggaran biaya, hingga tenaga teknis di lokasi. Kalaupun pernah ada, itu pun karena bantuan Sarwan, dan akhirnya keluar karena setiap hari ribut saja dengan Pak Semprul. Hanya karena semasa aktif sebagai aparat Pak Semprul pernah berjasa dalam penanganan sebuah kasus yang dialami Pak Demun lalu Pak Demun menjanjikan pekerjaan ketika Pak Semprul pensiun, ya, begitulah jadinya.

Begitulah jadinya. Ribut dan ribut, termasuk dengan saya hingga saya memilih untuk berbicara dengan batu dan gundukan tanah di lokasi daripada berbicara dengan Pak Semprul.

Belum lagi dengan Robert yang lulusan Ekonomi Manajemen sebuah perguruan tinggi negeri tetapi tidak juga mampu menyelesaikan urusan perizinan pembukaan lahan, memarketingkan unit rumah, apalagi sering menghasut pihak mana pun. Aduhai nian!

Mujurnya saya telah menolak sejak awal. Kalau saya melahap mentah-mentah tawaran Sarwan, entah apa kejadiannya di lapangan dengan lingkup internal maupun lingkup ekternal alias para pekerja Sarwan.

Akan tetapi, pada kenyataan di lapangan, pekerjaan tambahan di meja dengan depan komputer jinjing sama sekali tidak pernah singgah dalam benak saya. Apalagi ketiadaan direksi keet beserta kenyamanan ruang untuk menyuntuki layar monitor.

***

Menjelang azan subuh tadi saya sudah mengirimkan gambar kerja sekaligus rencana anggaran biayanya ke nomor Whatsapp-nya Sarwan. Harga tertinggi dan terendah pun sudah saya berikan untuk penawaran dan ambang batas harga penawaran. Tinggal Sarwan sodorkan pada Pak Demun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun