Mohon tunggu...
Irfani Zukhrufillah
Irfani Zukhrufillah Mohon Tunggu... Dosen - dosen

seorang ibu dua anak yang sedang belajar mendidik siswa tak berseragam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Istri Bungsu

13 November 2017   10:08 Diperbarui: 13 November 2017   10:23 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku ga sanggup, Mas.. Mas pilih dia atau pertahankan aku." ia pun tergagap seribu bahasa.

***

(6 bulan yang lalu)

'klopak..klopak...klopak...'

bunyi kelompenku berkelatuk memenuhi seluruh ruangan dapur pagi ini. seperti biasa, aku yang -2 tahun belakangan ini- setiap pagi selelu repot dengan urusna dapur menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga. Aku dibantu dengan seorang asisten rumah tangga, Mbak Yem, begitu repot mengurusi selera seluruh anggota keluarga. Ditambah bayiku yang belum genap berusia 1 tahun sehingga makanannya pun harus berbeda.

"Inam.. susu Wulan dimana?," tanya Mbak Ningrum.

"Iya Mbak, ada di atas kulkas ruang makan," jawabku sambil berteriak

"Oh iya.. makasih Inam," balas mbak ningrum yang mendapat jawaban iya dariku.

Baru hendak ku bilas sayur kangkung di keranjang, tiba-tiba ada panggilan dari balik pintu,

"Inam sayang, Mas minta tolong dong," kata suamiku.

Refleks aku berbalik menghadap suara suamiku, "Inam belum selesai Mas, kan ada Mbak Ningrum dan Mbak Dewi."

"Mas maunya kamu," jawabnya sambil tersenyum nada merayu. 

Aku pun luluh. Tanpa basa-basi ku ikuti suamiku mengikuti permintaannya setelah sebelumnya meminta Mbak Yem melanjutkan pekerjaan.

***

Namaku Inam Arshy. Istri ketiga dari seorang suami, Reksa Aditya. Seorang pengusaha meubel ternama dan sukses. Dua istri selainku ada Mbak Ningrum dan Mbak Dewi. Mereka berdua selalu berebut merasa yang pertama dan kedua. Karena mereka dinikahi hanya berselang satu hari. Iya,
hanya satu hari. Sebenarnya Mas Adit memiliki satu istri lain. Mbak Kinasih. Beliau adalah istri pertama. Namun sayangnya setelah tujuh tahun menikah dengan Mas Adit, beliau meninggal, tepat sebulan setelah Mas Adit melamar Mbak Dewi. Yang kala itu akan dijadikan istri kedua olehnya. Sepeninggal Mbak Kinasih, keluarga Mbak Kinasih lantas menyodorkan Mbak Ningrum, yang merupakan adik terakhir dari Mbak Kinasih untuk menjadi istri Mas Adit. Sebagai pengganti Mbak Kinasih alasannya. Entah sungkan atau bagaimana, Mas Adit pun menyetujui sehingga Mbak Ningrum dikinahi sehari lebih cepat dari Mbak Dewi, padahal Mbak Dewi dilamar lebih dulu. Sedangkan aku, Mas Adit menikahiku setelah 5 tahun beristrikan Mbak Dewi dan Mbak Ningrum. Mas Adit mengenalku saat aku masih di bangku SMA. Saat itu aku kelas 3. Aku pun tahu tentangnya.

Siapa yang tidak mengenal seorang pengusaha meubel paling kaya di desa kami. Namun aku tidak tahu bahwa ia menyimpan rasa padaku sejak pertama mencicipi hasil masakanku yang ikut lomba 17 agustusan di sekolah. Saat itu Mas Adit diminta oleh pihak sekolah menjadi juri. Selepas aku lulus, ia meminta izin kepada kedua istrinya untuk berkenalan denganku. Dan sejak saat itu Mas Adit beberapa kali bertamu ke rumahku dan beberapa kali pula aku diajak ke rumahnya untuk bertemu kedua istrinya. Selang setahun berikutnya ia pun melamarku. 

Sulit menolak sosok seperti Mas Adit. Selain dari segi materi, ia pun memang berparas tampan. Tak terlihat bahwa usianya hampir 2x usiaku saat itu. Perawakannya yang jangkung dengan dada bidang.Rambutnya lurus dan tertata rapi. Jenggot tipis bersandar di janggutnya menambah kesan kelelakiannya. Ia suka berpakaian casual namun tetap terjaga rapi. Ia tidak suka awut-awutan tetapi juga bukan tipe yang suka dandan. Setiap keluar kota ia lebih suka bercelana jins dan berkaos polo. Sesekali saja ia menggunakan kemeja hanya untuk keperluarn presentasi pekerjaan. Meski berkemeja lengan panjang ia suka menggulung kemeja-kemeja mahal itu. Mbak Ningrum selalu protes untuk hal ini. 

Ia setia kepada istri-istrinya. Ia bercerita awalnya istri pertamanya, Mbak Kinasih lah yang memintanya untuk menikah lagi demi mendapatkan anak. Dan alasan itu pulalah yang juga dipakainya untuk menikahiku, karena ia ingin punya banyak anak. Terlepas dari niatan lain yang mungkin ada, namun mulai kenal hingga 2 tahun pernikahan kami, ia tidak berubah. Ia konsisten dengan setiap pilihannya. Termasuk pilihan untuk beristri tiga. 

Meskipun beristri tiga, tetapi Mas Adit tetap mesra kepada masing-masing kami. Semua istri ia panggil dengan sebutan mesra, sayang, cinta sweetheart atau apalah yang sering membuat kami tersipu. Ia selalu meluangkan waktu untuk pergi keluar bersama-sama atau berdua saja bergiliran antara kami bertiga. Ia pun tahu dengan kesukaan masing-masing dari kami.

Sehingga tidak jarang setelah bepergian keluar kota hadiah yang kami dapatkan berbeda. Sesuai dengan keinginan dan kesukaan kami. Kepada anak-anak ia sangat sayang. Ada satu hari dalam seminggu ia tidur bersama dengan anak-anak saja. Tanpa kami. Namun untuk satu ini, Bagas, anakku belum bisa bergabung karena ia masih minum ASI dariku. Terkadang ia juga bepergian dengan anak-anak dna baby sitternya tanpa kami. Sekedar ingin menghabiskan waktu bersama dengan mereka. Ia selalu mengatakan kepada anak-anak bahwa mereka sama. Harus rukun hingga kelak dewasa.

Di mata masyarakat, Mas Adit juga sosok yang dapat menjadi panutan dalam hal sosialisasinya. Ia pandai bergaul. Ia ramah kepada semua warga desa. Termasuk orang tua dari masing-masing istrinya. Terlebih kepada Ibu dari Mbak Kinasih yang juga Ibu dari Mbak Ningrum. Ia tidak sungkan menolong tetangga. Ia juga suka kepada anak-anak. 

Bahkan tidak jarang ia mengadakan acara untuk anak-anak seperti lomba sepakbola, lomba atletik dan lainnya. Tidak jarang pula ia menjadi penyokong dana untuk acara-acara desa. Ia disegani oleh banyak warga. Dari pernikahan dengan istri pertama, Mas Adit tidak dikaruniani anak. Sedangkan dari Mbak Ningrum dan Mbak Dewi, masing-masing memberikan anak perempuan, Wulan, 4 tahun, anak dari Mbak Ningrum. Dan Aluna, 4 tahun, anak dari Mbak Dewi. Satu orang lagi anak Mas Adit, dariku, lelaki, Bagas Aditya yang baru berumur 11 bulan.

Kami semua tinggal serumah. Sebuah rumah yang besar dan mampu menampung beberapa anak lagi. Namun kami semua sepakat untuk meminta Mas Adit agar tidak menambah satu istri lagi. Karena secara jumlah istri Mas Adit sudah empat. Meskipun seorang lainnya sudah meninggal. Inilah alasan aku dipanggil istri bungsu. Sebagai harapan agar Mas Adit tidak menambah istri lagi. itulah mengapa aku dipanggil sebagai istri bungsu sebagai harapan agar tidak ada istri lain lagi.

Entah mengapa kami bertiga tidak rela jika ada satu lagi istri. Padahal jelas-jelas kami mampu menerima antara kami bertiga. Mbak Ningrum dan Mbak Dewi sudah seperti kakak-kakakku sendiri. Meski kadang kami berbeda pendapat tapi kami mampu menerima bahwa Mas Adit harus membagi
cintanya untuk kami bertiga. Bahkan tidak jarang kami bertiga marah bersama karena Mas Adit kurang perhatian dengan istri yang ini. Atau lupa hari lahir istri yang itu. 

Kami memiliki pos tugas rumah tangga masing-masing. Mbak Ningrum sebagai koordinator kebersihan rumah. Hal ini tidak lepas dari kebiasaannya yang suka kebersihan. Ia bahkan alergi debu. Membuatnya begitu perfeksionis dalam urusan kebersihan. Mbak Dewi yang kebetulan sekolahnya selalu mendapat prestasi, kebagian urusan pendidikan anak-anak. Ia yang paling getol membangunkan hingga mengantar jemput anak-anak sekolah. 

Dan aku yang katanya masakanku seistimewa restoran bintang 5, diberi tugas mengurus perut seluruh anggota keluarga. Kami semua diberikan asisten masing-masing yang berhubungan dengan pos tugas kami. Mas Adit memang begitu sayang sehingga tidak mau membebani kami dengan banyak tugas. 

Untuk urusan jatah kamar, Mas Adit juga berusaha untuk adil sama rata. Untuk urusan ini kadang menimbulkan rasa cemburu. Terlebih jika suatu ketika Mas Adit meminta jatah bukan pada jatahnya. Seperti waktu aku baru menikah dengannya. Ia begitu rajin ke kamarku. Tak jarang sampai
meninggalkan jatah istri lain. Sehingga di awal pernikahan dulu, aku dijauhi dan dibenci oleh kedua istri Mas Adit. Namun lama-lama aku meminta pengertian dari Mas Adit dan kedua istri lain. Dan setelah 6 bulan berlalu, dua istri Mas Adit mulai dapat menerimaku. Terlebih saat tahu bagaimana
hasil masakanku. Merekapun luluh seperti halnya Mas Adit.

***

“Lho Mas, kok kesini, kan hari ini jatahnya Mbak Ningrum.” kataku pada Mas Adit yang malam itu masuk ke kamarku. Padahal hari senin merupakan jatah kamar Mbak Ningrum.

“Ningrum udah bolehin kok, Sayang. Soalnya kan minggu lalu setelah Mas ke Surabaya 5 hari, kamu yang belum dapet kunjungan sama sekali. Lagian Mas kangennya sama kamu,hehe.” Katanya merayu.

“Dasar tukang rayu.” Selorohku masih menyambutnya dengan pelukan. Mas Adit pun lantas merebahkan diri di sebelahku. “Bagas ku pindah ke box dulu ya, Sayang..” kataku sembari mengecup pipi Mas Adit dan melepaskan pelukannya.

“Iya deh..  Bagas.. jangan ganggu Ayah sama Mama dulu ya. Bagas yang pinter bubuk di box dulu,hehe.” Canda Mas Adit kepada Bagas yang sudah terlelap.

“Apaan sih, Mas.” Cubitanku pun mendarat manja di perutnya.

Aku masih berusaha memindahkan Bagas ke box dengan hati-hati agar tidurnya tidak terganggu. Sembari itu ku ingatkan lagi Mas Adit tentang ulang tahun Mbak Dewi bulan depan. “Mas, bulan depan Mbak Dewi enaknya dikasih kado apa ya. Apa perlu dirayain gitu, Mas? Ngundang tetangga atau ibu-ibu wali murid Paud temannya anak-anak gitu?”

“Enaknya gimana lho, Sayang?” timpalnya malas.

“Apa ya Mas, Nam juga masih bingung. Apa jalan-jalan sekeluarga aja ya, Mas?” tandasku semangat.

“Boleh juga,” jawabnya masih malas.

“Ihh.. Mas Adit ditanya kok jawabnya males gitu sih,” rengekku sambil mendekatinya di ranjang.

“Ada hal lain yang lebih penting saat ini, Sayang,”

“Apa?”

“Sini.. Mas kasih tahu,” ia pun menarikku dan mulai menciumiku. Aku terkekeh menikmati gairahnya.

***

“Syukurlah kita sudah sampai di rumah kembali,” ucap Mbak Ningrum saat kami sekeluarga sampai di rumah.

Pagi hari setelah malamnya Mas Adit mengunjungiku, kami membicarakan lagi rencana perayaan ulang tahun Mbak Dewi. Semua anggota keluarga sepakat untuk jalan-jalan ke luar kota. Mbak Dewi yang memang hobi jalan-jalan langsung teriak kegirangan dan melompat memeluk Mas Adit. Aku dan Mbak Ningrum menertawakan aksi konyolnya saat itu. Lalu mulailah rencana kami bertiga dengan kebingungan memilih lokasi tujuan. Mbak Ningrum ingin ke Bali. Aku mengajukan Bandung. Tapi kami berdua lantas menghormati pilihan Mbak Dewi yang ingin jalan-jalan ke Lombok. Ia penasaran dengan Desa Sade Lombok yang terkenal dengan budayanya.

Lalu berangkatlah kami bertujuh ke Lombok. Meski tidak bertepatan dengan hari ulang tahun Mbak Dewi karena adanya pekerjaan di hari itu, tetapi Mas Adit menggantinya di minggu berikutnya. Selama 5 hari kami bepergian ke sana.

Menarik memang desa budaya tersebut. kami mengajarkan banyak hal kepada anak-anak. Bagas yang terbilang anggota termuda juga tidak banyak rewel di perjalanan. Wulan dan Aluna juga sangat menikmati perjalanan tersebut. kami pun juga. Terlebih karena Mas Adit juga mengatur waktu berdua untuk masing-masing dengan kami. Mas Adit memesan 2 kamar. 1 kamar suite untuk seluruh anggota keluarga. 1 lagi kamar deluxe untuk berdua. Dan ia memberi kami masing-masing 1 hari untuk berduaan. Sisanya kami habiskan waktu bersama. Bahkan aku yang membawa Bagas saat itu dipaksa oleh Mbak Dewi dan Mbak Ningrum untuk meninggalkan Bagas bersama mereka. Jika Bagas haus aku telah memompa ASI untuknya.

“Mbak Ning, ada yang kesenengan tuh Mbak. Ultahnya dirayain di Lombok. Cie..cie...” selorohku menggoda Mbak Dewi yang sejak pertama berangkat hingga pulang tidak pernah menampakkan wajah lelah.

“Sudah sudah.. itu anak-anak kayaknya kecapean deh Ning, kamu bawa dulu mereka ke kamarnya. Nam, Bagas juga ya. Besok kamu panggilkan tukang pijat langganannya. Kasian dia mungkin badannya kaku-kaku selama perjalanan,” perintah Mas Adit kepada kami.

“Iya Mas,” jawab kami bersahutan.

“Mas Adit.. makasih banyak ya.. Dewi Sayang KangMas,” rayu Mbak Dewi sambil bergelayut manja di pundak Mas Adit.

“Iya Bunda Sayang. Kalau kalian senang Mas juga senang,” jawab Mas Adit sambil mengecup pipi Mbak Dewi.

***

Siang itu Mas Adit mengumpulkan kami bertiga. Wulan dan Aluna belum pulang dari sekolahnya. Dan Bagas sedang tidur siang dijaga oleh baby sitternya.

“Ada yang mau Mas bicarakan dengan kalian bertiga,” nampak keseriusan dari nada bicara Mas Adit kepada kami.

“Wonten nopo, Mas?” jawab Mbak Ningrum.

“Kalian ingat waktu kita dari lombok 3 bulan yang lalu? Kita bertemu dengan teman Inam?” lanjut Mas Adit.

“Maksud Mas Adit, Rika? Teman SMK Inam itu?” tanyaku.

“Iya, Nam, Rika,”

“Ada apa Mas dengan Rika?” tanyaku penuh selidik. Aku memang tidak akrab dengan Rika semasa sekolah. Ia memang tidak sekelas denganku, tapi semua siswa tahu siapa Rika. Cewek centil yang suka gonta-ganti pacar. Yang pakaiannya selalu press body. Yang dandannya selalu menor. Disukai banyak cowok tapi banyak perempuan yang tidak suka. Lantaran kegemarannya menggoda pacar orang lain.

“Inget kan gimana kita ketemu dengannya waktu di loby hotel itu?” tanya Mas Adit lagi.

“Maksud Mas Adit apa. Langsung aja deh, Mas,” tanya Mbak Dewi tidak suka bertele-tele.

“Mas mau minta ijin untuk menikahinya,” jawab Mas Adit lantang.

Seolah gunung meletus. Seolah ombak berdebur kencang. Seolah hujan petir menyambar. Kami bertiga terdiam tidak tahu harus berkomentar apa. Sebenarnya aku sudah menaruh curiga saat kami bertemu dengan Rika di Lombok. Saat itu ia sedang bersama dengan suami (baru) nya. Ia memang beberapa kali menikah dan bercerai. Bahkan kami sesama alumni SMK dulu sering membicarakan tentang hobi kawin-cerai nya itu.

Ketika pertama bertemu kembali setelah sekian lama itu, Rika memang nampak melirik Mas Adit dengan penuh seringai. Seolah serigala mendapatkan mangsa baru. Terlebih saat ia menyapa Mas Adit. Aku yakin betul bahwa nada yang ia gunakan tidak berubah sejak dahulu, nada perempuan penggoda. Aku sudah muak meladeni gaya bicaranya saat itu. Tapi Mas Adit beberapa masih menimpalinya lantaran ia saat ini bekerja di salah satu swalayan meubel terkemuka di Indonesia. Mas Adit memang mengincar swalayan tersebut. Ia ingin menjual produknya di sana.

Nampaknya setelah dari Lombok itu Rika jadi rajin menghubungi Mas Adit. Dan ternyata mereka beberapa kali bertemu. Awalnya urusan pekerjaan, tetapi lama-lama Rika mulai sering menampakkan wajah sendunya. Ia bercerita bahwa hubungan rumah tangganya sudah tidak harmonis. Suaminya suka main kasar. Bahkan Mas Adit bercerita pernah Rika menemuia dengan mata sembab dan pipi memerah. Menurut Rika, itu bekas tamparan suaminya. Selama 3 bulan berlangsung nampaknya Mas Adit mulai menaruh rasa iba kepada Rika. Terlebih berkat Rika kini ia dapat mensupply beberapa meja-kursi di swalayan besar tersebut. Dan entah sejak kapan, Mas Adit mulai menaruh hati pada Rika. Hingga akhirnya hari ini ia meminta ijin kami untuk menikahinya. Rika berkata bahwa ia sudah akan bercerai dari suaminya sejak sebelum ke Lombok. Dan saat ini mereka sudah tidak tinggal seatap lagi.

“Aku ga setuju, Mas. Maafkan Inam,” jawabku lalu pergi meninggalkan ruangan.

***

1 bulan berikutnya Mas Adit sama sekali tidak menyinggung soal Rika. Mbak Ningrum dan Mbak Dewi juga memahami penolakanku dengan diam saja. Tapi aku masih merasa curiga kepada Mas Adit. Hingga malam itu saat Mas Adit mengunjungiku, dan setelah ia terlelap selepas bercinta hebat, aku yang masih terganggu perkara Rika, membuka HP Mas Adit tanpa ijinnya. Tidak biasanya aku berlaku seperti maling. Aku sembunyi-sembunyi membawa HP Mas Adit ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Aku membuka homescreennya. Nampak foto kami bertujuh tertawa bersama saat jalan-jalan ke Lombok. Lalu mulai ku baca satu persatu pesan di aplikasi chatting kepunyaan Mas Adit. Aku pun menemukan kontak Rika dengan nama yang tidak dirahasiakan.

Mas.. maaf ya waktu itu terpaksa minta tolong lagi sama Mas. Wahyu semakin hari semakin kasar padaku..

Mas.. kalau nanti kita menikah gimana pendapat Mas? Seneng ga nikah sama aku? Aku siap kok jadi istri ke4.

Mas.. mungkin nanti Inam yang akan menolak hubungan kita. Dia memang dari dulu salah sangka padaku. Aku maklum kok Mas. Pelan-pelan aja gpp..

Mas.. Rika kangen. Makan siang bareng yuk

Serasa memakan duri, tenggorokannku tercekat membaca isi pesan-pesan tersebut. Jadi selama ini Rika masih saja menghubungi Mas Adit. Mas Adit pun juga sesekali membalasi pesan-pesan dari Rika dengan cukup antusias.

pesan-pesan manis dari rika seolah menjadi sekam dalam hubunganku dengan Mas Adit. Meskipun ku dapati balasan pesan dari Mas Adit tidak menampakkan kemesraan tapi tetap saja aku marah.

***

2 bulan berikutnya

"Aku ga sanggup, Mas.. Mas pilih dia atau pertahankan aku." ia pun tergagap seribu bahasa.

"Maafkan Mas, Nam. Rika banyak sekali menolong Mas. Mas akan tetap menikahinya." keputusan Mas Adit sudah bulat. jika ia memang bermaksud seperti itu maka tidak akan ada yang bisa merubahnya. "Rika butuh pertolongan Mas. Mas mohon kalian mengerti."

"Baiklah, ceraikan Nam. Nam akan pulang ke rumah Ibu." putusku saat itu.

Mbak Ningrum dan Mbak Dewi tidak dapat lagi melarang Mas Adit. seperti halnya mereka tidak dapat menghalagi niatku untuk bercerai.

"Maafkan Nam ya Mbak." satu per satu ku peluki Mbak Ningrum dan Mbak Dewi. mereka sesenggukan menahanku.

***

1 tahun kemudian.

"Nam, Mas mau bercerai dengan Rika. ternyata Mas yang salah. Mas ga mau percaya kamu."

aku hanya terdiam mendengar ucapannya saat itu. selepas bercerai, aku membuka usaha warung. modalnya aku dapatkan dari tabunganku selama ini. awalnya warung kecil-kecilan namun setelah 6 bulan berjalan alhamdulillah mendapat respon yang bagus. akhirnya aku memberanikan diri untuk mencari pinjaman modal dan membuka rumah makan cukup besar. dan alhamdulillah hingga saat ini rumah makan tersebut berjalan lancar.

mas adit memaksaku untuk menerima bantuan modal darinya. tapi aku menolak. aku katakan kepadanya bahwa aku benar-benar ingin mandiri tidka tergantung kepadanya. meski bagas masih menerima uang bulanan darinya, tapi aku tidak mau jika ia menambah untukku. aku hanya mau menerima jatah bulanan bagas saja. toh akhirnya aku pun tidak lagi tergantung kepadanya dan dapat membuka usaha sendiri dari hasil kerja kerasku.

"Nam, kita rujuk yuk Nam. Mas ga bisa ga ada kamu." pintanya.

aku cukup terkejut dengan ajakannya rujuk tersebut. apalagi setelah Mas Adit menikah dengan Rika, komunikasi kami hanya sebatas tentang Bagas. dan itupun hanya melalui telepon. ia mengaku bahwa Rika tidak memperbolehkannya menemuiku.

"Maaf Mas. nam sudah terlanjur terbiasa sama Bagas saja." jawabku

"Tolong pikirkan dulu Nam." sahutnya lagi.

aku hanya dapat terdiam. aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang tiba-tiba ini.

"Entah mengapa, istri-istri yang benar-benar Mas sayangi selalu meninggalkan Mas lebih dulu. setelah Kinasih, baru kamu yang bisa menyamai tempatnya di hati Mas." ia nampak begitu pilu saat mengatakannya. 

dan aku.. entahlah.. aku masih ingin menunjukkan, bahwa aku menikah dengan mas adit bukan hanya karena kemapanan.

***

13 Nov 17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun