Revisi bukan sekadar menulis ulang. Ia harus berulang kali bertemu dengan dosen pembimbing, mendengarkan masukan tambahan, lalu kembali membenahi draft. Proses ini melatih kesabaran dan ketelitian---dua hal yang tidak bisa dipelajari hanya dari teori, melainkan dari pengalaman langsung.
Beberapa minggu kemudian, draf revisi selesai ia rampungkan. Saat menyerahkan kepada pembimbing, jantungnya berdebar. Dosen itu membaca sekilas, lalu tersenyum tipis:
"Sekarang sudah jauh lebih baik. Fokusmu jelas, teori lebih kuat, dan metodologimu sudah bisa dipertanggungjawabkan. Silakan lanjut ke tahap penelitian lapangan."
Ucapan itu seperti angin segar yang menyapu lelah. Fadlin tersenyum lega. Ia tahu, jalan masih panjang. Tetapi kini, langkahnya lebih mantap. Ia siap menapaki fase berikutnya: turun langsung ke lapangan, bertemu responden, dan menggali data yang akan menjadi jiwa penelitiannya.
Setelah proposal revisinya diterima, Fadlin memasuki tahap yang paling menantang: penelitian lapangan. Inilah saat di mana teori yang selama ini ia baca harus bertemu dengan kenyataan di luar kampus.
Dengan map berisi pedoman wawancara dan daftar pertanyaan, ia mendatangi beberapa mahasiswa pascasarjana UIN Jakarta yang menjadi responden penelitiannya. Awal langkah tidak mudah. Beberapa calon responden terlihat sibuk, ada pula yang kurang antusias saat diajak bicara tentang penelitian. Namun, Fadlin tidak menyerah. Ia belajar menyesuaikan pendekatan---kadang dengan obrolan ringan terlebih dahulu, baru kemudian masuk ke pertanyaan yang lebih serius.
Pengalaman wawancara pertama menjadi pelajaran berharga. Seorang mahasiswa berkata,
"Sejujurnya, media sosial itu memang memengaruhi cara kita belajar agama. Banyak ustaz digital, tapi kadang ilmunya bercampur dengan opini pribadi. Kalau tidak kritis, kita bisa salah paham."
Pernyataan sederhana itu membuka wawasan baru bagi Fadlin. Ia menyadari, digitalisasi bukan hanya fenomena teknis, tapi juga persoalan otoritas keilmuan dan kepercayaan publik.
Selain wawancara, ia juga melakukan observasi. Ia bergabung dalam beberapa forum diskusi daring mahasiswa, mengikuti bagaimana perdebatan tentang isu-isu keagamaan berlangsung di media sosial. Dari situ, ia melihat dengan jelas bagaimana informasi agama tersebar begitu cepat---kadang mencerahkan, kadang juga membingungkan.
Hari-hari Fadlin penuh dengan catatan lapangan. Ia menuliskan setiap kutipan penting, merekam percakapan (dengan izin responden), dan merapikan data secara sistematis. Meski melelahkan, ia merasakan energi baru. Ada kepuasan tersendiri saat melihat bahwa penelitiannya bukan hanya sekadar tulisan di kertas, melainkan refleksi nyata dari kehidupan mahasiswa.
Namun, di balik semangat itu, Fadlin juga menghadapi kendala. Beberapa responden sulit dijadwalkan, ada data yang kurang konsisten, bahkan kadang ia sendiri merasa ragu: "Apakah aku sudah cukup objektif? Apakah dataku valid?"
Di saat-saat seperti itu, ia kembali mengingat pesan dosen pembimbing:
"Penelitian bukan tentang sempurna, tapi tentang jujur dan sistematis. Kalau kamu konsisten, hasilnya akan terlihat."