Hari yang ditunggu akhirnya semakin dekat: sidang proposal. Bagi sebagian orang, ini hanyalah tahap formal sebelum memasuki penelitian yang sesungguhnya. Namun bagi Fadlin, sidang proposal adalah tonggak penting---momen di mana ia harus membuktikan keseriusan dan kelayakan penelitiannya.
Seminggu sebelum hari sidang, suasana hati Fadlin campur aduk. Setiap malam ia memperbaiki slide presentasi, menata kalimat agar jelas dan ringkas, serta berlatih menjawab kemungkinan pertanyaan yang akan muncul. Di hadapan cermin, ia mencoba berbicara dengan tegas, seakan-akan dosen penguji sudah ada di hadapannya.
Namun, rasa cemas tetap sulit dihindari. Pikiran buruk kadang datang: "Bagaimana kalau pertanyaanku tidak bisa terjawab?" atau "Bagaimana kalau proposal ini dianggap lemah?" Saat keraguan itu datang, Fadlin memilih menenangkan diri dengan berdoa. Ia yakin, usaha maksimal harus ditemani dengan tawakal penuh kepada Allah.
Beberapa hari menjelang sidang, ia semakin sering mengunjungi masjid kampus. Di sela-sela belajar, ia mengambil wudhu, duduk tenang di pojok masjid, lalu berbisik dalam hati: "Ya Allah, kuatkan langkahku. Jika ini jalan menuju kebaikan, mudahkanlah. Jika ada kekurangan, tunjukkanlah agar bisa aku perbaiki."
Dukungan dari teman-teman juga menjadi kekuatan tersendiri. Rahman sering menyemangati dengan candaan khas santri: "Tenang saja, kalau gugup, anggap saja dosen penguji itu jamaah pengajianmu." Laila mengingatkan untuk tidak terlalu perfeksionis: "Yang penting kamu paham isi penelitianmu. Jangan takut salah, justru di sinilah tempatnya diperbaiki."
Malam terakhir sebelum sidang, Fadlin hampir tidak tidur. Ia membuka kembali catatan metodologi, membaca ulang draft proposal, dan menyiapkan semua dokumen. Saat azan Subuh berkumandang, ia menutup buku, mengambil air wudhu, dan berserah penuh. Hatinya bergetar, bukan hanya karena akan menghadapi ujian akademik, tetapi juga karena ia sadar: perjalanan ini adalah bagian dari panggilan hidupnya.
Kini, hari itu pun tiba. Dengan setelan rapi dan map berisi proposal di tangan, Fadlin melangkah menuju ruang sidang. Jantungnya berdegup kencang, tapi di dalam dirinya ada keyakinan: apa pun yang terjadi, ia siap berjuang.
Ruang sidang itu terasa dingin meski pendingin ruangan bekerja biasa saja. Bagi Fadlin, setiap detik yang berlalu seakan berjalan lebih lambat. Di depan, tiga dosen penguji sudah duduk dengan ekspresi serius, sementara dosen pembimbing memberi isyarat halus agar ia tetap tenang.
Dengan suara bergetar namun penuh tekad, Fadlin membuka presentasinya. Slide demi slide ia jelaskan: latar belakang, rumusan masalah, metodologi, hingga manfaat penelitian. Sesekali ia menatap ke arah penguji, berusaha menjaga kontak mata agar terlihat percaya diri.
Namun, bagian paling menegangkan datang setelah presentasi selesai. Dosen pertama mengajukan pertanyaan tajam:
"Topikmu menarik, tapi bagaimana kamu memastikan data lapanganmu valid? Jangan hanya wawancara, kamu perlu triangulasi."
Belum sempat lega, dosen kedua menambahkan:
"Judulmu terlalu luas. Kalau bicara digitalisasi, cakupannya sangat besar. Apa fokus utamamu---media sosial, aplikasi, atau literatur digital? Jangan sampai penelitianmu kabur."