Dosen ketiga lebih menekankan aspek teoritis:
"Kamu menggunakan kerangka pemikiran siapa? Pastikan ada landasan teori yang kuat, bukan sekadar pengamatan pribadi."
Hati Fadlin sempat ciut. Keringat dingin mengalir di dahinya. Tetapi ia menarik napas dalam-dalam, mengingat kembali doa yang ia panjatkan malam sebelumnya. Dengan suara yang lebih mantap, ia menjawab satu per satu pertanyaan. Tidak semua bisa ia jawab sempurna, namun ia berusaha jujur, sistematis, dan menunjukkan kesiapan untuk memperbaiki kekurangan.
Sidang berlangsung hampir satu jam. Setelah itu, Fadlin diminta keluar ruangan sementara para dosen berdiskusi. Waktu menunggu terasa seperti selamanya. Ia hanya bisa duduk di bangku koridor, berdoa dalam hati agar hasilnya baik.
Ketika dipanggil kembali, wajah dosen pembimbing tampak tenang. Ketua sidang menyampaikan keputusan:
"Proposalmu diterima dengan revisi. Ada banyak hal yang harus diperbaiki, tapi semangat dan arah penelitianmu sudah jelas. Perbaiki catatan yang kami berikan, dan lanjutkan."
Hati Fadlin langsung terasa lega. Senyum tipis terukir di wajahnya, meski ia tahu pekerjaan besar baru saja dimulai. Sidang proposal bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang penelitian tesis.
Bagi Fadlin, hari itu menjadi bukti nyata: keberanian untuk berdiri dan mempertahankan gagasan jauh lebih penting daripada kesempurnaan jawaban.
Keputusan sidang proposal yang "diterima dengan revisi" menjadi awal babak baru bagi Fadlin. Ia tahu, perjuangan belum selesai. Justru kini ia harus menyelam lebih dalam ke dunia literatur, metodologi, dan teori untuk memperbaiki kekurangan yang ditunjukkan para dosen penguji.
Beberapa hari setelah sidang, ia membuka kembali catatan revisi. Di sana ada coretan merah dari dosen: "Fokus penelitian masih terlalu luas", "Kerangka teori perlu diperjelas", "Metode pengumpulan data harus lebih detail."
Awalnya, Fadlin merasa lelah. Ia sempat bertanya dalam hati: "Apakah aku mampu menyempurnakan semua ini?" Namun, ia segera sadar bahwa setiap catatan bukanlah bentuk penolakan, melainkan arahan agar penelitiannya lebih kokoh.
Ia mulai dari yang paling mendasar: mempersempit fokus penelitian. Dari semula "digitalisasi dalam pemikiran Islam kontemporer", ia mempertegas menjadi "Pengaruh Media Sosial terhadap Pola Pemikiran Keagamaan Mahasiswa Pascasarjana". Dengan begitu, cakupannya lebih spesifik, datanya lebih mudah dikumpulkan, dan arah penelitian lebih jelas.
Setiap hari, Fadlin menenggelamkan diri dalam buku-buku teori komunikasi, sosiologi agama, serta literatur tentang digitalisasi. Ia menyalin kutipan penting, menambahkan catatan di margin, dan menuliskannya kembali dalam draft. Kadang, ia bekerja sampai larut malam dengan kopi yang mulai dingin di samping laptopnya.