Ada "alarm ancaman" melalui diskursus kuasa dibalik kenikmatan sebagai motif politik berakhir dalam dirinya sendiri. Jika bukan "ngeles," maka kenikmatan sebagai motif dari elite politik untuk mewacakan Pemilu 2024 ditunda. Sekali lagi, kenikmatan sebagai motif politik datang dari hasrat melalui tubuh.
Pergerakan politik kuasa datang dari hasrat dengan suatu mekanisme kuasa yang ditopang oleh rentetan permainan dalam kesenyapan (hari ini adalah y1, besok adalah y3, lusa adalah y2 terjalin acak, tanpa dialektika). “Anda bermain politik melalui hasrat diiringi teks dan tindakan untuk mencapai tujuan.” “Fraksi kami memiliki hasrat yang pada akhirnya ditandai oleh relasi bolak-balik dengan teks dan tindakan pendukung tanpa melawan sedikitpun terhadap fraksi penentang.”
Tidak ada alasan untuk mengatakan, bahwa hasrat, teks dan tindakan tidak saling menjalin, melainkan saling melengkapi, saling melebihi dan saling menutupi celah antara satu dengan lainnya setelah pernyataan atau pendapat dibentuk dan dihasilkan oleh suatu diskursus.
Tetapi, berkembang-biaknya diskursus tidak bergantung pada perkembangan pendapat dan usulan secara formal untuk dilakukan perubahan sistem kuasa.
Menyangkut titik tolak alasan dari pihak tertentu dengan mengatakan pertimbangan kewibawaan pemerintahan, biaya, kualitas pemimpin, dan keutuhan negara menjadi alasan terbentuknya dinamika politik.
Diskursus akan perlahan-lahan keluar dari analisis ahli menjadi pengetahuan disipliner, yang mencoba membuka kedok dan kelemahan praktik diskursus melalui ‘pengingatan kembali’ dan ‘pertukaran teks’ dan tindakan sebelumnya yang dihadapkan dalam kondisi kekinian.
“Anda telah mengambil langkah mundur akibat permainan diskursus sesudahnya.” Teks dan tindakan masa lalu yang mengalami pengulangan melalui pengingatan kembali atas peristiwa sebelumnya menjadi obyek hasrat.
Alasan demi alasan, mengapa terjadi perbedaan antara pendapat politisi keluar dari pendapat ahli dan sebagian besar orang menggelincirkan dirinya dalam hasrat.
Sebagai akibat dari analisis yang represi atas hasrat untuk mengatasi kebutuhan pemilihan tidak langsung dan masa jabatan Presiden berlangsung selama tiga periode, akhirnya berubah menjadi bentuk ‘kengototan logika politik’, sekalipun tanpa ada maksud berpura-pura dari kalangan ‘politisi pendukung’ untuk tidak mengetahui mengenai efek dari pelanggaran hukum dan pengingkaran atas perubahan tatanan.
Dari sebagian pihak menilai orang-orang yang berada dalam mekanisme kuasa akan diganti dengan mencari mekanisme lain akibat proses penyingkiran kepentingan politik keluar dari pusat panggung yang tidak terartikulasikan logika hasratnya.
Mereka mengambil langkah lain dengan mekanisme perlindungan diri dari celah hingga tipu muslihat dapat tertutup rapat melalui suatu kepentingan tertentu yang berlindung dibalik rezim diskursus.