Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Diskursus Kuasa

30 November 2022   22:13 Diperbarui: 4 Juli 2023   17:44 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Presiden Jokowi di salah satu acara (Sumber gambar: kompas.com)

Orang bilang, lihatlah jejak rekamnya atau tindak tanduknya dalam keseharian! Calon pemimpin perlu umpan-balik melalui diskursus kuasa. Paling tidak, karakter sosok calon pemimpin disebar melalui medsos.

Hasrat untuk kuasa tidaklah berarti juga menjadi kekuatan determinasi dalam kehidupan pribadi dan sosial menyebar lewat Facebook, TikTok, Instagram, dan medsos lainnya. Meskipun hasrat dan kuasa bisa dibentuk melalui medsos, tetapi berbeda atas penundaan makna (difference) ala Derrida. Kata "penundaan" menjadi makna lainnya penuh ketidakpastian, aporia, dan pertentangan.

Penundaan dan ketidaksaluran hasrat dibalik kuasa berlaku dalam logika hasrat itu sendiri, yang terbebas dari pelanggaran hukum. ‘Penundaan’ berarti perbedaan dan pembebasan diskursus teoritis dari inti permainan politik kuasa. Penundaan yang dimaksud bukan berarti penundaan pemilu.

Apa yang terjadi? “Fraksi Anda mengelak dirinya sebagai motor penggerak diskursus masa jabatan Presiden menjadi tiga periode.” “Anda menghendaki diskursus amandemen konstitusi secara menyeluruh, bukan sebagian atau terbatas.”

Artikulasi politik berhembus pelan rupanya ada institusi politik menunggu tanggapan dari masyarakat luas. “Kami menolak pemilihan secara tidak langsung, Anda belum mengambil pernyataan sikap atas diskursus.”

“Fraksi Anda bersama staf ahlinya berusaha melakukan kajian sebelum ancaman kuasa yang berbahaya menjadi nyata.” Secara tidak langsung, terjalin suatu pengetahuan disipliner: pendapat ahli dan pendapat politisi.

Adakah ancaman kuasa yang berbahaya akibat diskursus politik kuasa? Pergerakan dari satu diskursus ke diskursus lainnya setidak-tidaknya tiga hal, yaitu (a) kecenderungan pada kelahiran kembali kuasa otoriter; (b) kecenderungan atas munculnya kemerosotan demokrasi; dan (c) gejala pembentukan konsolidasi oligarki politik secara sistematis untuk membajak hak rakyat alias membajak demokrasi.

Adakah akibat dari ketiga hal tersebut muncul di tempat lain, sekalipun tanpa melalui diskursus? Bentuk permainan apa yang layak dimainkan untuk melakukan perubahan? 

Atas alasan apa teks politik dan hukum bisa mengungkapkan suatu hasrat? Teks politik dan hukum, akhirnya terjalin kelindang dalam proses legislasi dalam parlemen.

Pada satu sisi, pendapat ahli menengahi teks politik dan hukum, sisi lain, pendapat politik akan menumpang-tindihkan dan mengkonsolidasikan suatu permainan kata melalui teks politik dan hukum dalam memperjuangkan kepentingannyan.

Bukan permasalahan jika terjadi realisasi atau tidak terealisasi hasrat dan kuasa. Paling penting, teks politik dan hukum sebagai diskursus tidak mengungkapkan hasrat, dimana ia selanjutnya diungkapkan dalam tindakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun