Sebaliknya, hasrat untuk kuasa itulah, maka membolak-balikkan relasinya dengan kepentingan politik dari masing-masing individu dan institusi relatif bisa terlaksana.
Nah, frekuensi menurun dan meningkatnya secara kuantitas dari pilihan politik pendukung dan penentang tidak melucuti hasrat untuk kuasa. Dari titik ini, hasrat untuk kuasa mungkin bisa dimainkan oleh diskursus.
Hal lain, dimana kuantitas abstrak di balik hasrat untuk kuasa melalui biaya politik, yang merentangkan dirinya di tengah suhu politik kian "memanas." Tetapi, diskursus bukanlah oposisi dari perbedaan pilihan politik.
Pergerakan hasrat dalam relasi bolak-balik dengan pikiran, gestur, diskursus, dan tubuh akan mengakhiri pertentangan antara pendapat legal dan pendapat ahli, kuasa administratif-legal dan kuasa politik dengan satu syarat, yaitu kembali pada diskursus hukum.
Memang betul, diskursus kuasa negara tidak dapat dilepaskan dari diskursus hukum ditandai proses amandemen konstitusi.
Lagi pula, representasi hukum ditandai dengan representasi kuasa ditopang logikanya sendiri tidak akan terangsang dan terinteraksi. Dalam pembentukan diskursus yang rawan pertentangan antara kehidupan pribadi dan sosial, rakyat dan negara, di situlah mereka enggan melalui ingatan yang menenangkan pikiran, amarah, dan nyinyir. Diskursus kuasa merupakan energi hasrat yang terkendali.
Kuasa dan kerjanya memasuki relasi hasrat dan diskursus dalam keterbalikan. Apa-apa yang dinampakkan oleh keterbalikan peristiwa tidak masalah.
Apakah nampak suatu ‘hasrat sebagai energi asing terhadap kuasa’ atau ‘sebagai hasrat sebagai energi asing dan kuasa lebih dahulu ada dari hukum’ bergantung pada diskursus melalui proses legislasi di parlemen.
Kuasa menemukan tatanannya dalam kata-kata yang tertulis, hirarki, dan strategi. Setelah itu, ia menjadi perbincangan mengenai hukum. Begitulah, hasrat untuk kuasa nyata sebagaimana politik kuasa ada dalam rambu-rambu yang direpresentasi oleh hukum dalam diskursus.
Perbedaan sikap dari masing-masing partai politik atau fraksi terhadap diskursus kuasa atas Presiden dipilih oleh lembaga tinggi negara dan diskursus masa jabatan Presiden selama tiga periode boleh jadi menjadi bagian dari instrumen kuasa untuk mengidentifikasi mana pihak yang mendukung perubahan atau anti-status quo dan mana pihak yang mendukung status quo.
“Anda adalah sebagian mendukung diskursus tentang Presiden dipilih oleh lembaga tinggi negara dan diskursus masa jabatan Presiden selama tiga periode.”
“Kami adalah bagian dari representasi politik kuasa yang menentang sistem pemilihan tidak langsung.”
Ada aliran produksi hasrat lahir di antara fraksi tertentu lebih memilih untuk “melihat” dan “menunggu” perkembangan diskursus sambil melihat hasil kajian tentang usulan dari institusi politik.