Saya kira, tidak semua orang mengetahui, bahwa makna atas teks bisa berbeda-beda akibat terbagi dua lapisan, yaitu pasti dan tersembunyi.
Teror tidak muncul dari kondisi penderitaan dan kemiskinan, tetapi dalam kenikmatan dan kelimpahan.
Dalam kisah kehidupan yang fantastis dan ironis, komedi dan tragis penting dilihat seseorang secara menyeluruh melalui pemikiran radikal supaya terbebaskan dari perangkap fantasi atau kedalaman yang kosong dengan syarat mereka telah melihatnya sebagai dinamika, irama kehidupan, berseni, silih berganti, muncul, dan lenyap.
Dalam kehidupan silih berganti, jalin menjalin bahasa antara penderitaan dan kebahagian di bagian celah itulah mendapatkan satu kegilaan.
Mode pemikiran yang ditunjukkan “di luar” teror(is) tidak berakibat manusia terbunuh bahkan secara massal merupakan bentuk kegilaan.
Ketika seseorang merahi kedudukan tersendiri dalam kehidupan yang menyerempet berbahaya, ada sesuatu yang hilang. Salah satu diantaranya adalah sensasi kedamaian belum terpatri dalam dirinya.
Setiap kecenderungan untuk mencapai titik tolak dari batas-batas yang tidak terbatas ditandai dengan nilai kemanusiaan yang sekarat.
Ia hanyalah pemicu peristiwa tragis menyertai bahasa yang berakar dari pemikiran konservatif. Dari kejauhan, orang-orang nampak tidak akan melihat rupa dan penampilan atau identitasnya.
Mereka mencoba meagung-agungkannya, maka bahasa dan logika tidak lebih dari lingkaran teka-teki menyertai ekstriminitas dari ideologi.
Tetapi, perlukah kita berdiri tegak di atas pijakan ini mengambil cara berpikir analitis-kritis selama sebagian orang telah menafikannya dan sebagian lainnya berpikiran praktis?
Adakah dan berapa besar kekuatan sebuah fantasi atau titik kedalaman yang kosong diantara kegilaan untuk menentang teror(is)? Apa yang membuat kita tertawa terhadap kebenaran yang lancung?