Dimanakah jejak-jejak kehidupan damai yang dulu tidak lebih dari retorika menjadi hal yang diragukan sekaligus dipuja-puja?
Tatkala obyek pengetahuan adalah manusia yang berpikir bebas, bermain, berjuang, berbicara, dan bekerja untuk menjawab permasalahan di sekitarnya selalu pada titik rawan.
Tetapi, solidaritas tanpa jarak “ruang,” kecuali pertama-tama dihadapi tidak lain tanda menuju kematian.
Dalam keseluruhan wujudnya, dari mana kehidupan akan berakhir di situ pula kematian telah mencatat, merekam dan berbicara pada kita dalam teka-teki apakah kematian sunyi, instan, jelas, tersembunyi, indah ataukah murka dan tanpa perkabungan?
Keberadaannnya tidak juga ditemukan melalui orang lain, kecuali diri kita sendiri sebagaimana tanda-tanda kehidupan ada pada diri kita.
Kematian nilai dan makna kehidupan diuji dengan pengetahuan khas dan logikanya sendiri, yang tidak merepresentasikan kedamaian yang dirancang dengan krisis dan intoleran.
Kematian dalam maknanya luas tidak datang dari hasil penelitian dan pengalaman yang lazim ditemukan di luar.
Kematian makna bukan ruang kata-kata yang memunculkan dan melenyapkan makna dalam bahasa begitu beragam, dari ruang kosong diantara apa yang ingin dibicarakan dan dinarasikan secara tertulis oleh seseorang.
Ruang kosong juga bukanlah artikulasi ditempatkan begitu saja demi kehidupan bebas yang ingin diisi dan diluapi dengan kekerasan dan kebencian. Kematian adalah kematian itu sendiri.
Berkat rentetan keagungannya, kenikmatannya dan kerahasiannya, dimana logika kematian “bukanlah fase tanda yang luar biasa,” yang setiap orang akan mengarunginya. Jika bukan satu-satunya spesies yang berpikir dan “menjadi” manusia.
Ketika seseorang berusaha bukan merujuk pada pengetahuan kembali tentang kebenaran manusia yang menjadi ilusi.