Dari manakah kita memulai berpikir dan meletakkan bahasa yang layak bagi kehidupan?
Sepanjang orang-orang berusaha untuk membebaskan setiap pemikiran dari takhyul dan ilusi kebenaran, kegilaan tidak membutuhkan suatu pemujaan atas analitis dan praktis bagi pemikiran, karena kegilaanlah telah keluar melucuti pikiran sekaligus dari tubuhnya.
Sementara, orang gila atau yang neurosis tidak memiliki alasan untuk mengembalikan dan membebankan kesadaran terhadap tubuh dengan caranya sendiri.Â
Selama seseorang memiliki  kesempatan mencoba untuk mencubit kulit tangannya atau merabah wajahnya, seseorang tiba-tiba tidak terbangun dari tidurnya.Â
Kita berpikir tentang bahaya tidak dalam keadaan terjaga. Kita atau mereka tidak ada lagi dalam bayangan kelupaan akan sekitarnya.
Kenampakan bayangan teror dari manapun asalnya merupakan kekhasan penyimpangan dari kegilaan. Sedangkan, orang-orang gila bukan karena pikiran secara murni telah terbelah jiwanya sendiri.Â
Kegilaan ditandai dengan orang-orang yang tidak menyandang orang gila, skezoid atau neurosis. Selingan teror dibalik kenampakan wujud modern berada dalam ketidakhadiran lelucon dengan kematian dan pengorbanan lain, yang tidak terbeli dengan apapun.Â
Jangankan sesama keyakinan, sesama warga global pun menjadi tanggung jawab kita untuk memaafkan dan memedulikannya. Â
Dari titik tolak tersebut, maka bentuk kepedulian sesama atas tragedi yang merenggut nyawa adalah solidaritas untuk membantu korban pembunuhan massal, tanpa sedikitpun memandang latar belakang etnis, agama, ras, dan budayanya.Â
Disitulah titik ujian bagi kita dengan bahasa dan logika kemanusiaan menghilang dan datang kembali pada kita. Segera kita melupakan sejenak pada kegilaan di tengah hari-hari perkabungan untuk manusia.
Seperti baru saja kita mengusap mata, bukan karena keringat bercucuran, mengalir di sekitar dahi dan pelipis atau debu menempel di permukaan mata dan bahkan linangan air mata, tetapi menghidupkan tanda solidaritas.Â