Tetapi, berpikir mengenai keterbatasan pengetahuan dan diri manusia, yang bisa membuatnya bergairah kembali.
Dalam “kematian yang indah” tidak berbicara pada tubuh, tetapi melalui jejak-jejak atau catatan, arsip, pemikiran, hasrat, kenikmatan, dan mimpi tentang kehidupan masa depan telah diwariskan pada generasi berikutnya.
Haji Daud Nabi di hari berbahagia. Hari Jumat adalah satu-satunya hari dimana “kematian yang indah” (beautiful death) mengantarkan pada cemerlangnya tanda-tanda, yang nilainya sulit digambarkan dan memang selamanya demikian.
Sosok martir dan pengungsi muslim dari bangsa Afganistan (berusia 71 tahun), yang melindungi jamaah lain saat terjadi penembakan keji dan sangat biadab.
Kematian nilai dari pembunuh menandakan juga penghancuran atas simbol suci (di Masjid Selandia Baru) saat Jumatan hendak ditunaikan, 15 Maret 2019. Dia bersama sosok martir Naeem Rashid, guru warga Pakistan menjadi pahlawan dalam serangan teroris. (cnn.com, 2019/03/16)
Dalam “kematian yang indah,” apalah gunanya usia, profesi, dan bahkan simbol suci tatkala kita tidak berpikir apapun.
Baik kata-kata, tiruan hingga kemiripan, akhirnya redup dalam kecemerlangannya.
Setidaknya, kedua sosok tersebut menjadi kisah nyata sebuah tindakan epik yang tidak tertandingi yang telah tertoreh dalam pemikiran, dalam tulisan yang lugas, mengalir dan mengulang di setiap kisah sejati untuk menjadi dan menghilang dari kekuatan representasi bahasa.
Pemikiran akan memikirkan tatanan heroik dalam suatu pemikiran terus-menerus hidup menjadi jejak-jejak atau tanda kemanusiaan.
Begitulah, kematian yang indah diimpikan orang untuk memikirkan pada hari kita sekarang disamping menantikan saat pagi, siang, malam, dan seterusnya silih berganti akan menunggak utang kehidupan yang terakhir dari solidaritas.
Korban merindukan “kematian yang indah” betul-betul murni, bukan metafora atau semantik, tetapi hasrat untuk kematian. Akhirnya, siapapun orangnya, apapun agama, warna kulit, dan sukunya, marilah kita membangun solidaritas!