Teror, tragedi, dan bayang-bayang kekerasan ditandai dengan tubuh dikorbankan di bawah terik siang hari menyertainya dalam krisis pemikiran.
Semuanya berhenti memikirkan apa yang terjadi dari jauh-jauh hari sebelumnya, pada titik tolak kematian yang merancang alur kehidupan lain dihianatinya.
Tidak khayal lagi, teror selalu di luar representasi pikiran. Sebaliknya, setiap orang yang mengutuk, melawan, dan mensolidaritaskan dirinya terhadap korban teror(is) dan tragedi yang menumpahinya merupakan kegilaan yang boros tanpa orang gila.
Kegilaan adalah sarana pengesahan yang layak untuk membalaskan secara beradab terhadap setiap fantasi dan kedalaman yang kosong: kesadaran, hasrat, selera, moral, dan bahkan agama.
Sudut pandang lain dari kritisisme sejarah, bahwa teror(is) dalam pengertian murni memiliki hubungan dengan ketidakhadiran “wujud transendental” (dunia batin, nurani logis).
Seandainya pelaku pembunuhan memiliki “nurani,” mustahil ada kekejaman, yang mengakibatkan tewasnya sekian orang.
Dari orang-orang yang memercayainya tetap bersifat imanen sebagai akibat bentuk pemikiran dan penafsiran yang beragam tentangnya.
Hilangnya kata-kata yang direpresentasikan dalam bahasa meletakkan simbol suci atau teks sakral telah tidak ada lagi sebelum kekuatannya sirna dalam wilayah pemikiran.
Kegilaan juga menciptakan cara berpikir yang beragam. Bukan karena seseorang mengidap penyakit syaraf atau kehilangan ingatan.
Setiap teror(is) yang mengatasnamakan agama muncul karena mereka sendiri tidak membebaskan dirinya dari kerangkeng teks tentang “perang,” “musuh,” “juru selamat” atau “surga yang dijanjikan.”
Penafsiran atas teks setiap saat berganti, dari yang lama ke yang baru, dan bertopeng menurut kebenarannya sendiri, di balik zaman yang berubah.