Sekitar dua wujud sang pengubah, yaitu pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan media sosial.Â
Pemerintah melalui regulasi sebagai basis kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat dengan segala tahapan perubahannya.Â
Media sosial sebagai ruang baru atau ruang siber menggambarkan peristiwa mengenai jumlah pasien, sembuh, Â meninggal, wilayah sebaran hingga dampak-dampak pandemi dan kebijakan.
Sekiranya pembuat kebijakan menutup kuping dan matanya, bisa saja kartu vaksin berlaku untuk jamaah di rumah ibadah.
Tidak khayal lagi, orang akan berharap-harap cemas. Mengapa demikian?Â
Masyarakat tidak ingin lagi dibebani oleh sebuah mekanisme pengaturan secara individual yang ketat.
Suatu pengaturan yang ketat dengan titik permukaan tubuh yang ditandai.Â
Pokoknya, mulut, hidung, tangan, dari ujung rambut hingga ujung kaki harus bebas dari penularan virus.
Ditambah lagi, ada rasa cemas bercampur-aduk dengan harapan menyertai kebijakan berupa pengaturan ketat dan pelonggaran bagi rumah ibadah.
Kita bisa bayangkan, ketika kebijakan pembatasan ruang pergerakan beribadah dibuat secara gegabah, maka akan melahirkan efek pemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Rumah Ibadah sebagai Simbolisme Ketidaksadaran