Malam itu, udara di luar terasa lebih sunyi dari biasanya. Di ruang tengah rumah yang sudah mulai temaram, aku duduk menatap layar ponsel yang menampilkan satu nama: Niko.Â
Anak lelaki semata wayangku yang oleh sekolahnya dikirim ke barak militer. Istilah tersebut, yang belakangan menjadi kontroversi, memang terkesan angker. Mengerikan. Bahkan menakutkan.
Aku lebih suka menyebut tempat itu dengan nama yang kutemukan belakangan: Dodik Bela Negara---Depo Pendidikan. Sebuah tempat untuk membentuk, bukan menghukum. Sebuah ruang jeda yang dirancang untuk menempa, bukan menindas.
Aku tahu, tak ada ibu yang benar-benar tega mengantar anaknya ke tempat itu. Namun, ada saatnya cinta butuh jeda, untuk belajar dari jarak. Kepalaku masih berat dengan segala kemungkinan buruk, tetapi ada satu kalimat yang menepuk lembut pikiranku, "Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"
Sebagai ibu, tentu tak mudah melepaskan anak remaja ke lingkungan baru yang penuh dengan aturan, kedisiplinan, dan kebiasaan keras yang tidak dia kenal sebelumnya. Akan tetapi aku tahu, anakku butuh ruang untuk menempa diri---bukan karena dia nakal, melainkan karena dia sedang perlu menemukan kembali dirinya.
"Tidak, dia bukan anak nakal." Kalimat itu yang selalu ingin kuucapkan setiap kali ada yang bertanya---atau bahkan hanya melirik dengan tatapan penuh tafsir. Mereka pikir, anakku dikirim ke tempat itu sebagai bentuk hukuman; sebagai ganjaran atas kenakalan yang tak tertangani. Padahal, tidak. Sama sekali tidak.
Dia hanya ... sedang kacau; sedang mencari arah, sedang memberontak terhadap hal-hal yang bahkan belum sepenuhnya dia pahami. Aku, sebagai ibunya, pun sedang belajar mencintainya bukan sebagai anak yang 'baik', tetapi sebagai manusia yang sedang bertumbuh---dengan luka, dengan bingung, dengan ledakan-ledakan emosi yang belum menemukan jalannya.
Ini bukan karena aku menyerah mendidiknya, justru sebaliknya. Aku percaya ada hal-hal yang hanya bisa dipelajari jauh dari rumah. Aku ingin dia belajar sesuatu yang barangkali tak sempat dia serap di rumah: disiplin, tanggung jawab, dan mengelola emosi.Â
Bukan dengan teriakan atau ancaman, tetapi dengan kesadaran yang tumbuh dari dalam dirinya sendiri---melalui ketegasan dan aturan yang tak bisa ditawar.
Aku bukan ibu yang sempurna. Aku pernah membentak, pernah kalah oleh lelah, tetapi aku juga tak ingin berpangku tangan melihat anakku tumbuh tanpa arah. Ketika dunia terlalu penuh godaan dan distraksi, mungkin dia butuh ruang yang lebih tegas. Bukan hanya dari kata-kataku yang sudah terlalu sering diabaikan, tetapi dari suasana yang memberi keteladanan dalam kedisiplinan.
Pada hari ketiga setelah dia berangkat, aku menerima surat darinya. Di era serba instan ini, dia memilih mengirim surat fisik yang kemudian dipindai oleh pembina di sana dan dikirim kepadaku. Tanganku bergetar ringan saat membuka lampiran dengan judul "Untuk Bunda".