Tulisan ini saya buat sebagai refleksi pribadi atas cerpen yang saya tulis sebelumnya— sebagai bagian dari proses belajar dan memahami kehidupan.
Setelah cerpen Di Balik Pagar Itu, Anakku Bertumbuh tayang di Kompasiana, aku duduk sejenak menatap layar. Bukan untuk mengamati jumlah pembaca, komentar, atau interaksi lainnya—meskipun itu tetap menarik—melainkan untuk kembali menyusuri ruang-ruang batin yang terbuka saat menulis kisah tersebut. Ada yang menggumpal di dada, seperti benang-benang emosi yang belum selesai dirajut.
Cerpen ini lahir dari rasa. Rasa yang nyaris tak bisa dijelaskan hanya dengan kata "rindu" atau "cinta." Ini tentang perasaan sebagai seorang ibu, ketika cinta tak cukup hanya dengan pelukan dan kata-kata lembut. Ada masa di mana cinta harus berani melepas, memberikan ruang pada anak untuk bertumbuh meski hati merindu karena jarak.
Aku membayangkan diri sendiri, atau siapa pun yang menjadi ibu, harus merelakan anak mengikuti program semacam Dodik (Depo Pendidikan) Bela Negara. Bukan karena anak itu nakal. Bukan pula karena menyerah. Justru karena percaya. Percaya bahwa ada pelajaran penting yang tak bisa dipelajari dari balik tembok rumah.
Cinta yang Belajar Menjaga Jarak
Sebagai ibu, melepas anak ke lingkungan yang baru dan penuh disiplin tentu bukan keputusan yang mudah. Dalam cerita, sang ibu berulang kali menegaskan bahwa keputusannya bukan karena menyerah, tetapi justru karena ingin memberi anak ruang untuk belajar sesuatu yang tidak bisa diajarkan dengan nasihat semata.
"Aku, sebagai ibunya, pun sedang belajar mencintainya bukan sebagai anak yang 'baik', tetapi sebagai manusia yang sedang bertumbuh— dengan luka, dengan bingung, dengan ledakan-ledakan emosi yang belum menemukan jalannya."
Pernyataan itu begitu dalam. Ada banyak ibu— dan ayah— di luar sana yang berpikir bahwa cinta artinya selalu berada di sisi anak. Padahal, dalam banyak kasus, justru dengan memberikan ruang dan kepercayaan, anak-anak belajar berdiri di atas kaki mereka sendiri. Cinta yang bijak tahu kapan hadir dan kapan memberi jarak. Dalam jarak, rindu tumbuh. Dalam kerinduan, muncul pemaknaan. Dalam pemaknaan, muncul kesadaran.
Mengapa Surat?
Format surat dalam cerpen ini kupilih bukan tanpa alasan. Surat membuka ruang kejujuran yang tak selalu bisa diungkapkan dalam dialog tatap muka. Dalam diam dan jarak, kata-kata bisa lebih jernih, emosi bisa lebih meresap. Niko, tokoh anak dalam cerita, menjadi medium untuk menyampaikan sisi lain dari kehidupan remaja---yang kerap terlihat "bermasalah" padahal hanya sedang kacau mencari arah.
Ketika surat itu sampai ke tangan ibunya— kita sebagai pembaca ikut menyelami perjalanan batin itu. Aku ingin pembaca ikut menangkap: bahwa perubahan tak selalu hadir dalam bentuk spektakuler. Terkadang, perubahan datang dari yang sederhana— sebuah kalimat permintaan maaf atau pengakuan lirih, "Aku kangen rumah."
Anak Bertumbuh, Orang Tua Pun Belajar