Contohnya, acara seperti Last Week Tonight oleh John Oliver atau konten editorial ala New York Times bisa menyisipkan satire terhadap politik atau kebijakan negara. Mereka tidak meniru gaya siapa pun, tapi menyampaikan sindiran tajam lewat analisis lucu.
Jadi, sederhananya: parodi menertawakan bentuk, satire menertawakan isi.
Parodi bisa terasa ringan dan lucu, sementara satire cenderung menggigit dan membuat kita berpikir lebih dalam setelah tertawa.
Meski begitu, keduanya sering tumpang tindih. Sebuah parodi bisa mengandung satire jika plesetan itu menyentil ideologi, kebijakan, atau perilaku sosial tertentu.Â
Maka, banyak karya humor modern yang memainkan keduanya sekaligus---tertawa karena lucu, lalu diam karena merasa "tersindir."
Parodi di Dunia Modern
Di era digital, parodi berkembang pesat dalam berbagai bentuk:
Film & TV: Austin Powers, Spaceballs, dan Scary Movie adalah film-film yang memarodikan genre atau film terkenal.
YouTube & TikTok: Banyak konten kreator membuat parodi iklan, sinetron, film pendek, bahkan berita. Misalnya parodi sinetron "Azab" yang melebih-lebihkan adegan pamali jadi lelucon visual.
Media sosial: Meme yang memarodikan tokoh publik, gaya caption selebriti, atau pidato politikus viral adalah bagian dari humor parodik.
Di Indonesia, kita punya Warkop DKI, Project Pop, Majelis Lucu Indonesia, hingga akun seperti @ngakakkocak dan @awreceh.id yang rutin memproduksi konten parodi berbasis budaya pop lokal.
Tips Menulis Parodi yang Baik